Liputan6.com, Hong Kong - Para pengunjuk rasa anti-pemerintah di Hong Kong mengambil alih jalan-jalan utama pada Senin dini hari, sebelum apa yang diperkirakan akan menjadi demonstrasi besar-besaran pro-demokrasi pada peringatan 22 tahun penyerahan kota itu ke China.
Hong Kong telah diguncang oleh demonstrasi bersejarah dalam tiga pekan terakhir, ketika pengunjuk rasa menuntut penarikan RUU yang akan memungkinkan ekstradisi ke China daratan, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Senin (1/7/2019).
Ketegangan meningkat sekali lagi di Hong Kong menjelang Matahari terbit pada hari Senin, setelah kelompok-kelompok kecil --kebanyakan anak muda mengenakan masker pelindung-- menduduki tiga jalan utama, mengerahkan hambatan logam dan plastik untuk menghalangi jalan.
Baca Juga
Advertisement
Beberapa foto dari tempat kejadian menunjukkan para demonstran terlibat bentrok dengan polisi Hong Kong.
Barisan polisi anti huru hara dengan helm dan perisai menghadapi pengunjuk rasa di salah satu ruas jalan, tetapi tidak bergerak melawan barikade.
Ratusan pengunjuk rasa berteriak "cabut hukum kejahatan" yang merujuk pada RUU ekstradisi di tengah hujan lebat.
Menurut para pengamat, demonstrasi Senin dini hari adalah manifestasi terakhir dari kekhawatiran yang semakin meningkat, bahwa China sedang memberondong kebebasan dan budaya Hong Kong dengan bantuan para pemimpin setempat yang pro-Beijing.
Meskipun Hong Kong dikembalikan dari pemerintahan Inggris ke Tiongkok pada tanggal 1 Juli 1997, kota ini masih dikelola secara terpisah di bawah kebijakan yang dikenal sebagai "satu negara, dua sistem".
Kota ini menikmati hak dan kebebasan yang tidak ada di pemerintahan otokratis di China daratan. Meski begitu, banyak warga Hong Kong khawatir Beijing sudah mengingkari perjanjian itu.
Peringatan Setiap 1 Juli
Sementara para pejabat tinggi menghadiri upacara pada 1 Juli setiap tahun untuk menandai peringatan penyerahan kedaulatan Hong Kong dari Inggris ke China, protes besar anti-pemerintah juga terjadi pada hari yang sama, dengan pengunjuk rasa menyerukan kebebasan demokratis yang lebih besar, seperti salah satunya hak untuk memilih pemimpin kota.
Mereka telah mengumpulkan banyak orang dalam beberapa tahun terakhir --termasuk demonstrasi besar selama dua bulan pada 2014-- tetapi gagal memenangkan konsesi apa pun dari Beijing.
Jika kerumunan besar berkumpul hari ini, menurut pengamat, ini akan menjadi protes massa keempat Hong Kong dalam sebulan terhadap RUU ekstradisi yang kontroversial.
Unjuk rasa tahun ini datang dengan latar belakang protes anti-pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya selama tiga pekan terakhir, yang telah menarik jutaan dan kemarahan atas tindakan polisi menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan kerumunan.
Jutaan orang turun ke jalan untuk memprotes usulan undang-undang yang memungkinkan ekstradisi orang-orang untuk diadili di China daratan, di mana sistem pengadilan buram dikendalikan oleh partai Komunis.
Protes sepanjang Juni sebagian besar berlangsung damai, tetapi pada 12 Juni, pemandangan berubah menjadi kekerasan ketika polisi menggunakan peluru karet, gas air mata, semprotan merica dan pentungan untuk membubarkan kerumunan.
Sebaliknya, beberapa pengunjuk rasa melemparkan kembali benda-benda ke arah polisi.
Para pemrotes juga mengepung markas polisi dua kali dalam beberapa pekan terakhir dalam protes-protes keras dan emosional, di mana orang-orang muda menyemprotkan kata-kata kotor yang dilukis di dinding depan dan memblokade pintu masuknya.
Advertisement
Berubah Jadi Demo Anti-Pemerintah China
Sementara gelombang protes awalnya bertujuan mendesak kepala eksekutif Carrie Lam membatalkan RUU ekstradisi yang didukung Beijing, namun kini demonstrasi telah berubah menjadi gerakan yang lebih luas terhadap pemerintahan Lam dan China.
Lam --yang sempat menghilang dari pandangan publik sejak permohonan maaf terakhirnya-- diperkirakan akan menghadiri upacara pengibaran bendera pada Senin pagi, menandai 22 tahun kembalinya Hong Kong ke kepemilikan China.
Pada hari Senin, pemerintah Hong Kong mengumumkan bahwa upacara pengibaran bendera akan dipindahkan ke dalam, bukan di tepi kota, karena cuaca buruk.
Sam Mu, seorang seniman, bersama sekelompok kecil temannya mengibarkan bendera hitam pada Senin pagi di dekat tempat upacara itu akan berlangsung.
"Ini adalah simbol bagaimana kota telah jatuh," katanya kepada kantor berita AFP. "Kebebasan kota kami menyusut, menuju arah yang lebih otoriter."
Aktivis, yang sebagian besar adalah generasi muda, telah bersumpah untuk melanjutkan kampanye pembangkangan sipil mereka dalam beberapa pekan mendatang.
"Apa pun yang terjadi, kami tidak akan berkecil hati, itulah sebabnya kami akan terus turun ke jalan," kata Jason Chan (22), seorang akuntan menambahkan. "Perlawanan bukan masalah sehari atau sepekan, itu jangka panjang."