Cabai Merah dan Ikan Jadi Penyumbang Inflasi Terbesar pada Juni 2019

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Juni 2019 mencapai 0,55 persen.

oleh Septian Deny diperbarui 01 Jul 2019, 13:03 WIB
Permintaan yang banyak untuk cabai di awal ramadan membuat harga cabai mengalami kenaikan, Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, Jumat (19/6/2015). Harga Cabai Rawit naik dari harga Rp16 ribu menjadi Rp20 ribu/kg. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Juni 2019 mencapai 0,55 persen. Adapun komponen penyumbang inflasi terbesar yaitu bahan makan.

Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan, komponen bahan makanan mengalami inflasi sebesar 1,63 persen dengan andil terhadap inflasi secara keseluruhan sebesar 0,38 persen.

"Inflasi umum 0,55 persen, di situ kita mendeteksi inflasi tertinggi untuk bahan makanan karena masih ada dalam masa Lebaran, dengan inflasi 1,63 persen," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Senin (1/7/2019).

Dia menuturkan, dari komponen bahan makanan, penyumbang inflasi terbesar yaitu cabai merah sebesar 0,2 persen. Kemudian diikuti oleh ikan segar sebesar 0,05 persen dan aneka sayuran sebesar 0,1 persen.

"Kenaikan inflasi cabai merah 0,2 persen, kemudian ikan segar sebesar 0,05 persen. Selebihnya tomat sayur, cabai hijau 0,1 persen. Tapi di sisi lain ada bawang putih yang harganya sudah turun. Kemarin deflasi sebesar 0,06 persen dan daging serta telur ayam ras 0,02 persen," ujar dia.

Selain bahan makanan, komponen yang mengalami inflasi pada Juni 2019 yaitu komponen makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 0,59 persen dengan andil sebesar 0,1 persen. Komponen perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar sebesar 0,17 persen dengan andil sebesar 0,04 persen.

"Untuk perumahan inflasi 0,17 persen. Komoditas yang menyumbang inflasi adalah kenaikan upah asisten rumah tangga sebesar 0,01 persen," kata dia.

Kemudian, untuk komponen sandang mengalami inflasi 0,81 persen dengan andil sebesar 0,05 persen. Di komponen ini, inflasi disebabkan oleh kenaikan harga emas dan perhiasan. ‎

"Pada sandang yang dominan adalah kenaikan harga emas, perhiasan. Kita tahu harga emas naik signifikan. Ini terjadi di 76 kota yang kita pantau, tertinggi di serang 6 persen dan Tarakan Ternate naik 5 persen," ungkap dia.

Untuk komponen kesehatan dan pendidikan, lanjut Suhariyanto, pada Juni 2019 cenderung tidak mengalami inflasi. Untuk kesehatan mengalami inflasi 0,19 persen dengan andil 0,01 persen. Sedangkan pendidikan, rekreasi dan olahraga mengalami inflasi 0,07 persen dengan andil 0 persen.

"Kesehatan dan pendidikan dia akan muncul di Juli ketika anak-anak mulai sekolah," lanjut dia.

Sedangkan untuk komponen transportasi, komunikasi dan jasa keuangan justru mengalami deflasi 0,14 persen pada Juni 2019, dengan andil sebesar -0,03 persen. Hal ini sebabkan mulai turunnya sejumlah harga tiket pesawat.

‎"Jadi bahan makanan masih menjadi penyumbang inflasi terbesar di Juni 2019. Kenaikan terbesar dialami oleh cabai merah, ikan segar, beberapa sayuran, dan perhiasan permata. Penghambat inflasi, yaitu dengan turunya harga bawang putih, tiket pesawat, harga ayam dan telur ras," tandas dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Inflasi Juni 2019

Pedagang merapikan barang dagangannya di Tebet, Jakarta, Senin (3/10). Secara umum, bahan makanan deflasi tapi ada kenaikan cabai merah sehingga peranannya mengalami inflasi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Juni 2019 sebesar 0,55 persen. Inflasi ini didorong oleh kenaikan harga sejumlah komoditas. 

Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan, untuk inflasi tahun kalender yaitu Januari-Juni 2019 mencapai 2,05 persen, sedangkan inflasi tahun kalender sebesar  3,28 persen.

"Adanya kenaikan dari hasil pemantauan di 82 kota di bulan Juni 2019 terjadi inflasi 0,55 persen," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Senin, 1 Juli 2019.

Dia mengungkapkan, dari 82 kota IHK yang dilakukan pemantauan, sebanyak 76 kota mengalami inflasi. Sedangkan 6 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi dialami di Manado sebesar 3,60 persen, sedangkan terendah yaitu Singaraja sebesar 0,02 persen.

Sementara untuk deflasi tertinggi dialami Tanjung Pandan sebesar -0,41 persen dan deflasi terendah di Jayapura -0,08 persen.

"Dengan perhatikan inflasi ini masih berada di bawah target pemerintah. ini termasuk kendali karena berbagai program yang dilakukan pemerintah," pungkasnya

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memprediksi inflasi Juni 2019 akan berada di kisaran 0,45 persen. Prediksi ini berdasarkan survei pemantauan harga (SPH) yang dilakukan BI.

"Jadi SPH di Minggu terakhir, inflasi di 0,45 persen itu month to month. 3,21 persen year on year," kata Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo, di Gedung BI, Jakarta, Jumat, 28 Juni 2019.

Menurut dia, hal tersebut menunjukkan, kinerja inflasi masih terjaga rendah. Selain itu, juga menunjukkan bahwa daya beli masyarakat yang terjaga. "Artinya tetap terjaga daya beli masyarakat, inflasinya juga cukup rendah," urai dia.


BPS: Surplus Neraca Dagang Belum Ideal

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (25/10). Kebijakan ISRM diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan dan efektifitas pengawasan dalam proses ekspor-impor. (Liputan6.com/Immaniel Antonius)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2019 mengalami surplus sebesar USD 0,21 miliar. Realisasi ini membaik dari posisi neraca perdagangan April 2019 yang defisit sebesar USD 2,5 miliar atau terparah sepanjang sejarah.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, meski neraca perdagangan pada Mei mengalami surplus dan memberi sinyal positif terhadap kondisi perekonomian dalam negeri, namun ini belum cukup optimal. Sebab, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, kinerja ekspor Indonesia cenderung masih lebih rendah.

"Surplus ini harusnya dibicarakan posisi ideal bahwa untuk memperbaiki neraca perdaganganharus meningkatan ekspor dan mengendalikan impor. Harusnya kalau ideal ekspor naik impor turun," ujar Suhariyanto di Kantornya, Jakarta, Senin (24/6/2019).

Berdasarkan data BPS menunjukkan sepanjang Januari hingga Mei 2019 nilai ekspor Indonesia sebesar USD 68,46 miliar atau menurun 8,61 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Sementara untuk impor, secara kumulatif dari Januari hingga Mei 2019 tercatat sebesar USD 70,60 juta atau turun 9,23 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Suhariyanto menambahkan upaya pemerintah untuk menggenjot ekspor sendiri masih terganjal beberapa faktor eksternal seperti perang dagang serta harga komoditas yang fluktuatif dan cenderung menurun.

"Tadi seperti saya bilang upaya menggenjot ekspor tantangannya luar biasa. Jika negara-negara utama seperti China dan Singapura permintaan mereka lemah tentu berpengaruh (terhadap total nilai ekspor)," ujar Suhariyanto.

Sementara di satu sisi harga komoditas ekspor utama Indonesia seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan batu bara mengalami penurunan harga meski volume barang yang diekspor meningkat. Untuk minyak kelapa sawit, nilai total ekspor mengalami penurunan sebesar 17,87 persen selama periode Januari hingga Mei 2019.

Hal serupa terjadi juga untuk batu bara dengan volume ekspor yang meningkat namun harganya anjlok 21 persen sejak awal tahun. "Berbeda situasi dengan karet yang mengalami penurunan volume ekspor 11,17 persen sementara harganya naik 4,12 persen," katanya.

"Dengan adanya pergerakan ekspor dari 10 komoditas utama diharapkan bisa mendeteksi lebih baik barang atau komoditas utama mana yang perlu mendapat perhatian," kata Suhariyanto.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya