Tensi Perang Dagang Mereda Diharapkan Dorong IHSG Tembus 6.500

Tren meredanya perang dagang memang berdampak pada kenaikan transaksi perdagangan di pasar modal.

oleh Bawono Yadika diperbarui 02 Jul 2019, 09:30 WIB
Suasana di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (2/11/2015). Pelemahan indeks BEI ini seiring dengan melemahnya laju bursa saham di kawasan Asia serta laporan kinerja emiten triwulan III yang melambat. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta Meredanya tensi perang dagang antara 2 negara besar yakni Amerika Serikat (AS)-China diharapkan berdampak signifikan pada perdagangan global. Tak terkecuali, pada pasar saham Indonesia.

Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa PT BEI, Laksono Widodo menjelaskan, tren meredanya perang dagang memang berdampak pada kenaikan transaksi perdagangan di pasar modal.

Tetapi, menurut dia, kenaikan itu tidak terlampau signifikan jika dibandingkan dengan efeknya pada kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di pasar saham.

"Meredanya tensi dagang AS-China tentu berdampak bagus buat bursa kita. Tetapi kenaikanya lebih signifikan ke IHSG saja bukan ke perdagangan. Kita juga berharap perang dagang ini bisa segera berakhir, membawa kepastian," tuturnya kepada Liputan6.com, seperti dikutip Selasa (2/7/2019).

Laksono melanjutkan, tren penurunan tensi perang dagang antara AS-China juga diharapkan dapat mengkerek aliran dana asing (inflow) untuk masuk ke bursa saham dalam negeri.

Oleh sebab itu, pihaknya berharap IHSG dapat menunjukan tren penguatan yang signifikan dan dapat melesat tembus ke level 6.500. "Ya diharapkan sih bisa tembus ke level 6.500 ya untuk pekan ini," jelas dia.

Dia mengakui jika perang dagang pada dasarnya berdampak buruk pada bursa di dunia. Karenanya, sulit bagi negara-negara lain terutama Indonesia untuk mengambil untung dari adanya fenomena perang dagang di bursa saham.

"Menurut saya trade war lebih banyak negatif nya ke bursa-bursa di dunia daripada sebaliknya, terutama untuk negara pengekspor seperti Indonesia," tegas dia.

 


Ketegangan Perang Dagang Mereda, Defisit Dagang RI Bakal Tembus USD 10 Miliar

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (25/10). Kebijakan ISRM diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan dan efektifitas pengawasan dalam proses ekspor-impor. (Liputan6.com/Immaniel Antonius)

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menganggap, ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang mereda tak akan banyak berdampak bagi Indonesia.

Sebaliknya, defisit perdagangan Indonesia justru akan semakin melebar hingga USD 10 miliar.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira mengatakan, perang dagang AS-China masih berisiko mengalami eksalasi di tengah upaya Presiden Donald Trump memainkan strategi politiknya jelang Pilpres AS 2020. 

Posisi China yang masih bertahan juga disebutnya menyulitkan Negeri Paman Sam untuk menghasilkan kesepakatan yang win-win solution

"Dampaknya kinerja ekspor Indonesia masih akan tertekan sampai akhir tahun. Defisit perdagangan diperkirakan menembus USD 10 miliar. Lebih tinggi dari tahun 2018 lalu di USD 8,5 miliar," ungkap dia kepada Liputan6.com, Senin (1/7/2019).

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan RI pada Mei 2019 mengalami surplus hingga USD 210 juta. Akan tetapi, Bhima menuturkan pencapaian itu hanya bersifat temporer.

"Surplus kemarin cuma temporer, lebih disebabkan anjloknya impor bahan baku dan barang modal karena industri mengurangi kapasitas produksi. Jadi kecil kemungkinan akan surplus lagi," ujar dia.

Dia pun menuturkan, pokok masalah utama saat ini adalah bea tarif masuk. Dalam hal ini, Trump menyatakan masih ada potensi AS untuk tetap melanjutkan kenaikan bea masuk dan pajak yang jumlahnya mencapai USD 350 miliar. 

"Selama tarif bea masuk belum diturunkan signifikan, permintaan bahan baku dan komoditas dari Indonesia untuk manufaktur AS dan China akan menurun," tegas dia.

Menurut dia, kunci bertahan di era perang dagang adalah membuat insentif pajak dan non-pajak bagi industri yang mau lakukan relokasi atau peningkatan basis produksi di indonesia. 

"Contohnya ekspor tekstil dan pakaian jadi justru meningkat ordernya. Pemerintah tinggal melakukan pemetaan industri apa yang potensial dan jemput bola tawarkan insentif. Jangan terlambat karena Vietnam sudah gencar jemput bola ke perusahaan yang berbasis di China," imbuhnya.

"Bagi sektor yang terkena imbas negatif misalnya komoditas sawit, karet, batu bara, perlu didorong serapan domestiknya. Program B20 bisa dipercepat implementasinya dengan gandeng PLN untuk bahan bakar pembangkit tenaga diesel," dia menandaskan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya