Dilema Pelatih AS Bertemu Inggris di Semifinal Piala Dunia Wanita 2019

Nasionalisme Jill Ellis bakal berhadap-hadapan dengan profesionalismenya sebagai pelatih saat Timnas AS bertemu Inggris di semifinal Piala Dunia Wanita 2019.

oleh Marco Tampubolon diperbarui 02 Jul 2019, 16:30 WIB
Pelatih Timnas Amerika Serikat, Jill Ellis tengah berbincang dengan pemainnya (AFP/Frank Fife)

Liputan6.com, Jakarta Langkah Timnas Amerika Serikat di Piala Dunia Wanita 2019 belum terbendung. Sang juara bertahan selanjutnya akan bertemu Timnas Inggris di babak semifinal, Rabu (3/7/2019). 

Pertarungan berlangsung di Parc Olympique Lyonnais. Namun dilema justru dihadapi oleh pelatih Timans Amerika Serikat, Jill Ellis dan pelatih fisik Dawn Scott. Di satu sisi mereka harus berusaha mencari formula yang tepat untuk mengalahkan Inggris dan melaju ke final.

Namun di sisi lain, kemenangan justru membuat negara asalnya Inggris, tersingkir. Profesionalisme mereka kini harus berhadapan-hadapan dengan semangat nasionalismenya.

Seperti dilansir BBC, Ellis dan Scott sudah bekerja bersama dalam berbagai kapasitas selama sembilan tahun. Masa kecil yang tidak menjanjikan bagi pesepak bola wanita memaksa keduanya merantau dan mengembangkan bakat sepak bolanya di luar negara tercinta. 

Ellis, lahir dan tumbuh di Portsmouth, saat sepak bola wanita masih dilarang di Inggris. Situasi ini membuatnya sulit untuk mengembangkan olahraga yang dicintai itu. 

"Saya tumbuh dan bermain dengan lelaki di taman, dengan abangku di belakang rumah dan anak-anak cowok di lapangan sekolah. Saya sangat mencintai olahraga ini," kata Ellis. 

"Kalau saya bertahan di Inggris, saya tidak yakin bakal jadi pelatih," beber Ellis. 

Ellis lahir 6 September 1966. Pada tahun 1980, keluarganya pun pindah ke AS. Saat itu, Ellis juga belum ada gambaran kariernya bakal cemerlang di Negeri Paman Sam. Namun ini lebih baik karena dia sama sekali tidak bisa berkarier di sepak bola kalau bertahan di Inggris. 

"Saya beruntung bisa ke AS dan berkesempatan bermain sepak bola secara terorganisir seperti yang kami tahu," kata Ellis. "Apa yang diberikan Amerika kepada saya adalah mimpi, kesempatan dan kemampuan untuk mengikuti keinginan saya," beber Ellis menambahkan.  

 

 


Inggris Masih di Dada

Pelatih Timnas Amerika Serikat, Jill Ellis tengah memantau latihan pasukannya. (AFP/Frank Fife)

Selama di AS, Ellis bergabung dengan sejumlah klub. Mengawali karier sebagai asisten pelatih, wanita berusia 52 tahun itu pun resmi menangani timnas wanita AS sejak 2014. Setahun kemudian, Ellis membawa pasukannya menjuarai Piala Dunia Wanita 2015. Dia juga mempersembahkan dua gelar juara Concacaf dan terpilih sebagai pelatih terbaik FIFA 2015. 

Amerika Serikat telah memberikan segalanya bagi kesuksesan Ellis di sepak bola. Lingkungan yang memadai, dukungan federasi, dan teknologi super canggih, memberikan keleluasaan bagi Ellis dalam mengasah dan menata kekuatan pasukannya selama ini. 

Meski demikian, bukan berarti Inggris tidak menyumbang apapun bagi Ellis. Bahkan kecintaannya terhadap Manchester United (MU) sejak masih berusia tujuh tahun ikut membangun kecintaannya terhadap sepak bola hingga sebesar saat ini. 

"Apa yang diberikan Amerika kepada saya adalah lingkungan untuk kali pertama menempatkan seragam tim di sepak bola. Saya suka olahraga ini dan kemudian itu memberi saya kendaraan untuk mendapat pengalaman lebih banyak lagi," kata Ellis.  

"Tapi seluruh budaya Inggris yang saya alami ketika tumbuh masih bersama saya hingga kini. Saya sangat bersyukur untuk itu. Kalau saya tumbuh di negara lain, kecintaan saya terhadap sepak bola belum tentu bisa sebesar ini," ujar Sarjana Sastra Inggris tersebut. 

 


Dipuji Pelatih Lawan

Pelatih Timnas Inggris, Phil Neville, saat memimpin pasukannya berlatih (AFP/ Philippe Desmazes)

Sementara itu, ketegangan sempat mewarnai hari-hari jelang pertandingan AS vs Inggris di semifinal Piala Dunia Wanita 2019. Pelatih Timnas Inggris, Phil Neville, mempertanyakan etika AS yang menempatkan staf pelatihnya sebagai mata-mata di hotel mereka di Lyon.

Namun kejadian ini tidak melunturkan kekagumannya terhadap Ellis. "Saya sangat menghormatinya. Dia masih yang terbaik hingga saat ini," kata Neville. 

"Koneksi instan itu muncul mungkin karena kami sama-sama mendukung tim yang sama. Kami saling menghormati satu sama lain," beber mantan pemain MU tersebut.  

Saksikan juga video menarik di bawah ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya