Hawu Lalahe, Rokok Tradisional Gorontalo yang Menembus Zaman

Hawu lalahe, begitu orang Gorontalo menyebutnya. Rokok tradisional ini dipercaya punya banyak khasiat.

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 04 Jul 2019, 04:00 WIB
Foto: Arfandi Ibrahim/ Liputan6.com

Liputan6.com, Gorontalo - Hawu lalahe, begitu orang Gorontalo menyebutnya. Di tengah zaman yang terus bergerak, rokok tradisional itu masih bisa dinikmati sebagian orang. Terlebih mereka yang masih tinggal di pelosok desa Gorontalo.

Hawu lalahe secara etimologis berarti rokok kuning, yang dipercaya oleh orang Gorontalo sebagai rokok pusaka. Disebut pusaka lantaran rokok tradisional ini punya sejarah keberadaan yang panjang, dan punya tempat khusus di hati orang Gorontalo.

Dusun Waolo merupakan salah satu desa terpencil di Gorontalo yang warganya masih memproduksi hawu lalahe. Bukan tanpa sebab, dusun yang berada di Kabupaten Bone Bolango ini masih mudah dijumpai daun pohon aren, bahan baku utama pembuatan hawu lalahe.

Proses pembuatan rokok yang diyakini mampu menyembuhkan banyak penyakit ini pun sangat mudah. Daun aren yang sudah dipilih satu persatu diraut menggunakan pisau hingga tipis. Kemudian dijemur selama dua hari. Setelah kering, daun dipotong-potong layaknya kertas rokok dan diisi tembakau. 

 

 

 

Foto: Arfandi Ibrahim/ Liputan6.com

Rokok tradisional ini konon sudah ada sebelum penjajah masuk ke Indonesia. Rasa yang nikmat menjadi alasan mengapa rokok tradisional ini bisa menembus zaman dan bertahan hingga saat ini. 

"Ini merupakan tradisi leluhur kami, rokok ini memang dianggap pusaka karena merupakan warisan. Selain murah, bahan bakunya juga cepat ditemukan di sekitar rumah, kami tinggal menyediakan tembakau, dan rokok siap dinikmati," tutur Karisi, seorang warga setempat kepada Liputan6.com, Rabu (3/7/2019).

Sama seperti orang-orang tua zaman dulu, dirinya percaya huwa lalahe mampu menyembuhkan beragam penyakit, salah satunya obat flu dan penguat gigi. Selain berkhasiat, rokok ini juga sangat murah jika dibandingkan dengan rokok konvensional.

"Cuma sepuluh ribu itu bisa kami gunakan selama dua minggu. Sangat berkhasiat, bahanya juga alami tanpa kadar nikotin," ujarnya.

Karisi menuturkan, meski pengguna huwa lalahe masih ada, namun mereka kerap dilabeli stigma perokok kampung, lantaran rokok yang mereka hisap dianggap ketinggalan zaman. 

"Banyak orang yang mengaitkan rokok ini adalah norak, tradisi orang kampung," katanya menambahkan.

Simak juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya