16 Juli 2010, Viralnya Surat Pembaca Warga Cibubur untuk SBY

Surat pembaca berjudul "Trauma oleh Patwal Presiden" itu akhirnya sampai juga ke kuping SBY.

oleh Rinaldo diperbarui 16 Jul 2019, 07:33 WIB
Ilustrasi iring-iringan pengawalan presiden. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Harian Kompas edisi Jumat 16 Juli 2010 memuat surat pembaca dari Hendra NS. Pria yang mengaku warga Cibubur ini menceritakan pengalaman berkendara yang menimbulkan trauma untuk anaknya. Bukan pengalaman yang biasa karena kisah Hendra membawa-bawa nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dalam suratnya, Hendra menceritakan bagaimana dia dan anaknya yang masih kecil tengah berkendara di jalan tol dan bertemu dengan rombongan iring-iringan SBY yang menempuh jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Meski kerap bertemu rombongan presiden, pengalaman Hendra hari itu sungguh berbeda.

Ringkasnya, Hendra mengaku merasa diintimidasi dan tertekan oleh sikap dan tindakan anggota patroli pengawalan (patwal) yang ikut dalam iring-iringan Presiden SBY pagi itu. Tak butuh waktu lama, cerita Hendra pun jadi viral di media sosial.

Dukungan untuk Hendra pun mengalir dari warganet. Sebagian di antara mereka menyarankan sebaiknya Presiden SBY menetap di Istana Kepresidenan agar tak terlalu sering bolak-balik ke Cikeas, yang membuat pengguna lalu lintas lain terhambat.

Surat pembaca berjudul "Trauma oleh Patwal Presiden" itu akhirnya sampai juga ke kuping SBY. Presiden ke-6 RI bahkan mengucapkan terima kasih atas adanya surat pembaca tersebut dan segara memerintahkan penyelidikan terkait kejadian yang diceritakan Hendra.

"Presiden mengucapkan terima kasih atas surat pembaca Saudara Hendra NS," kata Staf Khusus Presiden bidang Hukum, Denny Indrayana, pada hari yang sama saat surat pembaca itu terbit.

"Presiden langsung memerintahkan diadakan investigasi atas kebenaran surat pembaca tersebut," lanjut dia.

Denny menjelaskan, Presiden juga telah membaca surat pembaca yang dimuat di harian Kompas itu. Presiden tidak tinggal diam, melainkan memberi perhatian serius dan akan ditindaklanjuti dengan akan adanya perbaikan dalam sistem pengawalan presiden.

Denny menjelaskan, sebenarnya dalam perjalanan pulang ke rumah Cibubur-Cikeas, SBY mengerti bahwa jalannya memang padat sehingga presiden selalu memerintahkan agar jalan tidak ditutup penuh. Walaupun standar dalam pengamanan VVIP itu sebenarnya mensyaratkan penutupan jalan.

"Mengalir saja. Meskipun sebenarnya standar pengamanan VVIP yang berlaku universal, mensyaratkan penutupan," tutup Denny.

Protes Hendra akhirnya berhasil. Senin 19 Juli 2019 atau awal pekan setelah surat pembaca itu menjadi perhatian publik, Presiden SBY berangkat lebih pagi dari kediamannya di Cikeas, Bogor, menuju Istana di Jakarta.

SBY yang biasanya berangkat pukul 06.00 WIB, Senin pagi itu berangkat lebih cepat yakni pukul 04.30 WIB untuk menghindari kemacetan yang dikeluhkan warga dan pengguna jalan di kawasan Cibubur.

Juru Bicara Kepresidenan kala itu, Julian Aldrin Pasha mengatakan, SBY berharap patwal (patroli pengawal) rombongan presiden tidak menimbulkan kemacetan di jalan-jalan yang dilintasi.

Julian juga mengatakan, Presiden SBY mempertimbangkan semua masukan masyarakat terkait iring-iringan patwal presiden yang kerap dinilai mengganggu kelancaran lalu lintas. SBY, misalnya, meminta patwal tidak menutup penuh jalan ketika iring-iringan mobil presiden melintas.

"Tidak boleh ditutup penuh, cukup satu ruas untuk (iring-iringan) Presiden," kata Julian.

Dia mengatakan, pihak Istana juga telah membentuk rapat gabungan untuk merumuskan kembali protap (prosedur tetap) pengawalan pesiden. Rapat ini terdiri para pihak yang bertanggung jawab terhadap pengamanan Presiden, seperti Sekretaris Militer, TNI, dan kepolisian.

"Nanti hasilnya akan menjadi kebijakan bagi pengamanan Presiden ke depan," kata Julian.

Ketika ditanya mengenai hasil investigasi terhadap petugas patwal yang dilaporkan melakukan kekerasan verbal terhadap Hendra NS, Julian mengaku belum mengetahuinya.

"Itu internal. Saya belum mengetahui sampai mana, tapi yang pasti kan sudah ada tindak lanjut terhadap laporan itu," kata Julian.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Surat Pembaca Hendra

Sumber: http://paspampres.mil.id/profil/vvip

Berikut versi lengkap surat pembaca Hendra NS yang dimuat di Harian Kompas, Jumat 16 Juli 2010.

Trauma oleh Patwal Presiden

Sebagai tetangga dekat Pak SBY, hampir saban hari saya menyaksikan arogansi Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden di jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Karena itu, saya --juga mayoritas pengguna jalan itu-- memilih menghindar dan menjauh bila terdengar sirene Patwal.

Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 WIB di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya. Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar suara sirene dan hardikan lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, Pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman.

Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setir ke kiri.

Namun, muncul perintah lain lewat pelantang suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantang membentak ke kanan. Bingung dan panik, saya pun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan.

Patwal di depan turun dan menghajar kap mesin mobil saya dan memukul spion kanan sampai terlipat. Dari mulutnya terdengar ancaman, "Apa mau Anda saya bedil?"

Setelah menepi di sisi paling kiri, polisi itu menghampiri saya. Makian dan umpatan meluncur tanpa memberi saya kesempatan bicara. Melihat putri saya ketakutan, saya akhirnya mendebatnya. Saya jelaskan situasi tadi. Amarahnya tak mereda, malah terucap alasan konyol tak masuk akal seperti "dari mana sumber suara speaker?", atau "mestinya kamu ikuti saya saja", atau "tangan saya sudah mau patah gara-gara memberi tanda ke kiri".

Permintaan saya dipertemukan dengan oknum pemberi perintah dari pelantang tak digubris. Intimidasi hampir 10 menit yang berlangsung tepat di depan Kantor Jasa Marga itu tak mengetuk satu pun dari anggota Patwal lain yang menyaksikan kejadian itu. Paling tidak, menunjukkan diri sebagai pelayan pelindung masyarakat.

Karena dialog tak kondusif, saya buka identitas saya sebagai wartawan untuk mencegah oknum melakukan tindak kekerasan. Ia malah melecehkan profesi wartawan dan tak mengakui perbuatannya merusak mobil saya. Identitasnya tertutup rompi. Oknum ini malah mengeluarkan ocehan, "Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?"

Saat rombongan SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan saya dan putri saya yang terbengong-bengong.

Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga.

HENDRA NS

Cibubur

Hingga era Presiden SBY, hanya Soekarno (alm) dan Abdurrahman Wahid (alm) yang tinggal di Istana Kepresidenan. Sementara Presiden Soeharto (alm), Megawati Soekarnoputri, dan BJ Habibie, juga tinggal di luar Istana. Namun, kediaman ketiganya berada di dalam kota. Soeharto dan Megawati di kawasan Menteng, sedangkan Habibie di kawasan Kuningan.

Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan, pengamanan pengawalan presiden di jalan raya telah diusahakan semaksimal mungkin sesuai prosedur standar yang tidak banyak menggangu masyarakat. Presiden telah meminta pengosongan jalan dipersingkat waktunya menjadi kurang dari lima menit sebelum dilintasi mobil presiden.

Selain itu, jumlah rangkaian juga diusahakan untuk dikurangi. Selama ini, untuk sekali jalan, setidaknya butuh 10 mobil yang masuk dalam rangkaian jalan raya. Yakni, satu mobil pemecah sinyal elektronik, 2 mobil jip terbuka untuk Polisi Militer, 1 mobil presiden, 1 mobil cadangan presiden, 2 mobil jip tertutup untuk Paspampres, dan 2 mobil VW Caravelle.

"Ini semua sekali lagi, ditujukan untuk menghindarkan bila mana rangkaian kendaraan yang membawa RI 1 dan RI 2 tidak menimbulkan masalah baru di dalam kemacetan di jalan raya, khususnya di Jakarta dan sekitarnya," kata Julian.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya