Liputan6.com, Jakarta Kolesterol jahat atau LDL (Low-Density Lipoprotein), selama ini dianggap berbahaya apabila berada di tingkat yang tinggi. Namun, studi terbaru menyatakan bahwa jika kadar kolesterol terlalu rendah, tubuh juga terancam bahaya.
Apabila kolesterol jahat yang terlalu tinggi meningkatkan risiko serangan jantung dan kematian akibat masalah kardiovaskular, LDL yang terlalu rendah berisiko meningkatkan risiko stroke hemorafik atau pendarahan.
Advertisement
Dikutip dari Medical News Today pada Jumat (5/7/2019), penelitian yang dimuat di jurnal Neurology ini melakukan penelitian terhadap 96.043 peserta yang tidak memiliki riwayat stroke, serangan jantung, serta kanker.
Selama 9 tahun, para ilmuwan mengukur kadar kolesterol LDL di awal dan penghujung tahun. Mereka juga memasukkan faktor lain seperti usia, jenis kelamin, tekanan darah, serta obat-obatan. Selama masa studi, ditemukan 753 kasus stroke hemoragik.
Mengutip Live Science, para peneliti menemukan bahwa orang dengan kadar kolesterol LDL di bawah 70 mg/dL, 65 persen lebih berisiko terkena stroke hemoragik selama periode penelitian. Sementara, peserta dengan kadar LDL di bawah 50 mg/dL, risiko meningkat hingga dua kali lipat.
Simak juga Video Menarik Berikut Ini
Tidak Boleh Terlalu Tinggi atau Rendah
Xiang Gao, kepala dari Nutritional Epidemiology Lab di Pennsylvania State University, Amerika Serikat mengatakan, temuan ini menunjukkan pentingnya keseimbangan kolesterol.
"Seperti halnya dengan banyak hal terkait nutrisi, moderasi dan keseimbangan adalah kunci untuk menentukan target tingkat kolesterol LDL yang optimal," kata Gao.
"Anda tidak boleh ekstrem, terlalu tinggi atau terlalu rendah," kata Gao.
Selain itu, dia juga memperingatkan bagi orang-orang yang memiliki risiko stroke hemoragik karena riwayat keluarga, serta faktor risiko lain seperti tekanan darah tinggi dan konsumsi alkohol. Gao juga mengatakan, temuan ini mungkin berguna untuk target pengobatan di masa depan.
Namun, penulis juga mengatakan bahwa temuan kasus stroke terjadi pada kurang dari 1 persen peserta. Mereka juga menambahkan, penerapan tersebut terdengar sulit karena setiap negara memiliki keadaan yang berbeda.
Kekurangan lain dari studi ini adalah tidak adanya perhitungan dari kebiasaan pola makan para peserta yang bisa dipertimbangkan untuk studi di masa depan.
Advertisement