Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril terkait kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram itu tetap harus menjalani hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan sesuai putusan kasasi MA.
Advertisement
Sebelum adanya keputusan ini, Baiq Nuril melewati proses hukum yang cukup panjang. Pada Rabu, 26 Juli 2017, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) sempat membebaskan Baiq Nuril dari seluruh dakwaan penuntut umum.
Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Singkat cerita pada 26 September 2018 lalu, MA pun memutus Baiq Nuril bersalah. Ia kemudian mengajukan Peninjauan Kembali atau PK kepada MA terhadap kasusnya.
Kasus Ibu Nuril bermula pada Agustus 2002 silam. Ketika itu Nuril ditelepon oleh HM, Kepala Sekolah (Kepsek) SMAN 7 Mataram saat itu. Dalam percakapan melalui telepon, sang kepsek bercerita tentang pengalaman pribadinya pada Nuril.
Percakapan yang diduga sangat bermuatan unsur pelecehan seksual tersebut kemudian direkam Nuril. Hingga pada Desember 2014, seorang rekannya meminjam telepon seluler atau ponsel milik Nuril. Selanjutnya, ia mengambil rekaman percakapan antara kepsek dan Nuril. Rekaman itu pun bocor dan HM melaporkan Baiq Nuril ke polisi.
Berikut perjalanan kasus Baiq Nuril hingga akhirnya permohonan PK ditolak dihimpun Liputan6.com:
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Awal Mula Kejadian
Kasus Baiq Nuril Maknun atau Ibu Nuril bermula pada Agustus 2002 silam. Ketika itu Nuril ditelepon oleh HM, Kepala Sekolah (Kepsek) SMAN 7 Mataram saat itu.
Dalam percakapan melalui telepon, sang kepsek HM bercerita tentang pengalaman pribadinya pada Nuril. Percakapan yang diduga sangat bermuatan unsur pelecehan seksual tersebut kemudian direkam Nuril.
HM juga diketahui sering membicarakan soal seks melalui telepon tersebut namun tidak direkam. Karena takut akan fitnah, Nuril kemudian merekam salah satu pembicaraan telepon keduanya pada 2002 tersebut untuk membuktikan kepada orang-orang terdekatnya bahwa Nuril tidak ada hubungan spesial dengan HM.
Hingga pada Desember 2014, seorang rekannya meminjam telepon seluler atau ponsel milik Nuril. Selanjutnya, ia mengambil rekaman percakapan antara kepsek dan Nuril.
Rekaman tersebut bocor, sehingga sang kepsek yang membeberkan aib dirinya sendiri pada Nuril malu atas beredarnya rekaman mesum itu.
HM kemudian melaporkan Nuril atas tuduhan mentransmisikan rekaman elektronik, meski rekaman itu mengandung unsur pelecehan seksual terhadap Nuril.
Advertisement
Sempat Dinyatakan Bebas
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram membebaskan Baiq Nuril dari seluruh dakwaan penuntut umum. Ibu Nuril adalah terdakwa dalam kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
"Karena kesalahan terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka majelis hakim telah cukup alasan dan membebaskan terdakwa dari dakwaan penuntut umum," ucap Ketua Majelis Hakim Albertus Husada dalam sidang terbuka di Pengadilan Negeri Mataram, Rabu, 26 Juli 2017, dilansir Antara.
Karena itu, Baiq Nuril Maknun dalam putusan itu dinyatakan tidak bersalah melanggar dakwaan Pasal 27 ayat 1 juncto Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kala itu, Nuril tidak lupa berterima kasih kepada seluruh masyarakat yang selama ini sudah banyak memberikan dukungan.
"Saya sangat berterima kasih kepada seluruh pihak yang sudah mendukung saya, mungkin hanya Allah SWT yang bisa memberikan balasannya," tutur Ibu Nuril.
Kalah di Mahkamah Agung
Mahkamah Agung melalui Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni pada 26 September 2018, menjatuhkan vonis hukuman kepada Baiq Nuril selama enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Dalam putusannya, Majelis Kasasi Mahkamah Agung menganulir putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakan Baiq Nuril bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 Juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pengadilan Negeri Mataram melalui Majelis Hakim yang dipimpin Albertus Husada pada 26 Juli 2017, dalam putusannya menyatakan bahwa hasil rekaman pembicaraan Baiq Nuril dengan H Muslim, mantan Kepala SMAN 7 Mataram yang diduga mengandung unsur asusila dinilai tidak memenuhi pidana pelanggaran Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam salinan putusan Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 tertanggal 26 September 2018 yang diperoleh Liputan6.com, ada 3 pertimbangan hakim menyatakan Baiq Nuril bersalah.
Pertama, hakim menilai cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi Penuntut Umum dan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Mataram, yang sebelumnya membebaskan Baiq.
Kedua, penjatuhan pidana diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi terdakwa, khususnya maupun masyarakat Indonesia pada umumnya agar berhati-hati dalam menggunakan media elektronik.
Ketiga, amar putusan dinilai cukup adil, dengan menetapkan lamanya masa penahanan yang telah dijalani Baiq Nuril.
Putusan itu diketok Ketua Majelis Sri Murhayuni serta dua hakim anggota, Maruap Dohmatiga Pasaribu dan Edy Army. Terkait hal meringan dan memberatkan, berikut hal dibeberkan MA, lewat surat putusannya:
"Hal memberatkan, perbuatan terdakwa membuat karir saksi Haji Muslim sebagai Kepala Sekolah terhenti, malu karena kehormatan dilanggar. Keadaan meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa memiliki tiga orang anak yang masih membutuhkan kasih sayang terdakwa," salinan putusan tersebut.
Advertisement
Kirim Surat dan Jadi Perhatian Jokowi
Baiq Nuril mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk meminta keadilan. Anaknya yang bermama Rafi juga mengirimkan surat serupa.
Rupanya, Nuril tak bertepuk sebelah tangan. Pernyataan Presiden Joko Widodo soal dukungannya kepada Nuril untuk mencari keadilan membawa angin segar.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menjanjikan grasi kepada ibu 3 anak itu jika upaya terakhir di jalur hukum kandas. Jokowi ingin, agar Baiq Nuril berjuang hingga akhir, yaitu dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas putusan kasasi yang memperberat hukumannya.
"Kita berharap MA memberikan keputusan yang seadil-adilnya," kata Jokowi di Pasar Induk Sidoharjo, Lamongan, Jawa Timur, Senin, 19 November 2018.
Jokowi mengaku menghormati proses hukum yang saat ini sedang berjalan. Dia pun tak bisa mengintervensi perkara yang menjerat Nuril.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini pun membuka ruang bagi Nuril untuk memberikan pengampunan, bila hasil putusan PK di MA tak memuaskan.
"Seandainya PK belum dapat keadilan, bisa ajukan grasi ke presiden. Kalau sudah grasi itu bagian saya," ucap Jokowi.
Ajukan PK dan Ditolak
Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril terkait kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Nuril tetap harus menjalani hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan sesuai putusan Kasasi MA.
"Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjaun Kembali (PK) Pemohon/Terpidana Baiq Nuril yang mengajukan PK ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019. Dengan ditolaknya permohonan PK Pemohon/Terpidana tersebut maka putusan kasasi MA yang menghukum dirinya dinyatakan tetap berlaku," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dalam keterangannya, Jumat (5/7/2019).
Sidang PK itu diketuai hakim Suhadi dengan anggota Margono dan Desnayeti. Majelis hakim menilai, alasan permohonan PK Baiq Nurilyang mendalilkan ada kekhilafan hakim dalam putusan tingkat kasasi, tidak dapat dibenarkan.
"Karena putusan judex yuris tersebut sudah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya," kata Andi.
Majelis hakim berpendapat perbuatan Baiq Nuril merekam pembicaraan lewat handphone antaranya dan Kepsek sekitar satu tahun lalu dan menyimpan hasil rekamannya dan diserahkan kepada saksi Imam Mudawin mengandung unsur pidana. Terlebih setelah saksi Imam Mudawi memindahkan ke laptopnya hingga rekaman percakapan itu tersebar luas.
"Bahwa terdakwa yang menyerahkan handphone miliknya kepada orang lain kemudian dapat didistribusikan dan dapat diakses informasi atau dokumen eletronik yang berisi pembicaraan yang bermuatan tindak kesusilaan tidak dapat dibenarkan. Atas alasan tersebut permohonan PK pemohon atau terdakwa ditolak," kata Andi.
Advertisement