Liputan6.com, Jakarta Sunat perempuan (Female Genital Mutilation/FGM) di benak Bishara Sheikh Hamo menjadi kenangan paling traumatis sepanjang hidupnya. Wanita yang merupakan anggota Borana Community asal Kenya Isiolo County mengalami gangguan kesehatan setelah dirinya disunat pada usia 11 tahun. Mau tak mau, ia harus menjalani sunat dengan alasan mengikuti tradisi turun temurun.
“Aku menjalani FGM ketika berusia 11 tahun," tutur Bishara, sesuai dikutip dari BBC, Minggu (7/7/2019).
"Aku diberitahu oleh nenek bahwa FGM adalah persyaratan mutlak bagi setiap gadis. Dengan disunat membuat kami (menjadi) suci."
Baca Juga
Advertisement
Pada saat itu, Bishara tidak tahu dampak buruk sunat perempuan bagi hidupnya rupanya membahayakan kesehatannya. Selepas disunat, Bishara mengalami menstruasi yang tidak teratur, gangguan kandung kemih, dan infeksi berulang. Masa remaja yang seharusnya menyenangkan berganti suram.
"(Saat disunat) Aku ditutup matanya. Kemudian tanganku diikat di belakang punggung sendiri. Lalu beberapa menit kemudian, aku merasakan sakit yang begitu tajam. Aku menjerit, berteriak, tetapi (seakan) tidak ada yang mendengarnya. Aku mencoba untuk menendang, berusaha melepaskan diri. Tapi cengkeraman yang kuat memegang kakiku,” ungkap Bishara.
Sungguh pengalaman yang sangat menyedihkan, lanjut Bishara. Sunat perempuan yang dilakukan di tempat tinggalnya bisa dibilang salah satu jenis prosedur medis yang paling parah dan sangat tidak higienis. Petugas menggunakan alat pemotong kelamin yang sama pada seluruh anak perempuan.
“Satu-satunya penghilang rasa sakit setelah sunat yang tersedia adalah obat tradisional. Selesai aku menjalani proses itu, mereka (petugas) langsung memanggil anak perempuan lain yang sudah mengantre. ‘Gadis berikutnya, gadis selanjutnya…,” ujarnya.
Saksikan Video Menarik Berikut Ini:
Gangguan Kesehatan Reproduksi
Sunat perempuan, yang dalam istilah medis Female Genital Mutilation (FGM) menyebabkan gangguan kesehatan fisik dan mental pada perempuan selama hidup. Bahkan Bishara tidak hanya mengalami gangguan kesehatan saja, ia pun hanya bisa melahirkan anaknya melalui operasi caesar.
Secara medis, sunat perempuan akan berdampak buruk bagi kualitas hidup wanita kelak. Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang, Catharine M Sambo menekankan, sunat perempuan dilihat dari kacamata medis tidak bermanfaat.
“Dari sisi medis, sebenarnya sunat perempuan tidak ada manfaatnya. Berbeda dengan laki-laki, yang mana alasan disunat itu untuk higienitas (kebersihan penis) dan mencegah kanker penis. Kalau pada wanita kan enggak ada kanker klitoris,” jelas Christine saat ditemui di Jakarta.
Apalagi sunat perempuan dilakukan dalam prosedur salah seperti di negara Bishara serta negara-negara Afrika lain menimbulkan masalah kesehatan. Perempuan akan merasa tidak nyaman selama hidup.
“Problem (masalah) kesehatannya banyak. Bisa trauma perdarahan, infertilitas (tidak subur), infeksi, dan kesehatan reproduksi terganggu. Ada juga permasalahan, kalau bagian (klitoris) lebih banyak terbuang semua, lantas dijahit kan jadi tertutup semua. Ini jadi problem kalau anak usia menstruasi,” tegas Christine yang berpraktik di RS Pondok Indah – Pondok Indah.
Praktik sunat perempuan masih rutin dilakukan di beberapa negara Afrika, Asia, dan Timur Tengah. Walaupun praktik sunat perempuan dilakukan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengimbau, para profesional kesehatan untuk tidak melakukan prosedur tersebut.
Berdasarkan laporan WHO berjudul Female genital mutilation yang dipublikasikan pada 31 Januari 2018, FGM diakui secara internasional sebagai pelanggaran terhadap hak asasi perempuan dan anak perempuan. Praktik itu mencerminkan ketidaksetaraan dan bentuk diskriminasi ekstrem terhadap perempuan.
“FGM hampir selalu dilakukan pada anak perempuan di bawah umur (balita) dan ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Praktik ini juga melanggar hak seseorang untuk mendapatkan kesehatan, keamanan dan integritas fisik, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang kejam, serta hak untuk hidup, yang mana FGM bisa berujung kematian,” tulis WHO.
Advertisement
Praktik di Indonesia
Di Indonesia, pernah ada peraturan resmi sunat perempuan, yakni Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 1636/MENKES/PER/2010 tentang Sunat Perempuan. Dalam Permenkes berisi cara melindungi perempuan dari praktik sunat yang tidak sehat. Dikutip dari laman Kementerian Kesehatan, kalau tidak diatur, dikhawatirkan sunat perempuan yang sudah menjadi tradisi sebagian masyarakat secara turun temurun akan membahayakan kesehatan perempuan.
Permenkes mengatur agar sunat dilakukan dengan benar dan hanya oleh tenaga kesehatan tertentu untuk menjamin keamanan dan keselamatan perempuan sesuai ketentuan agama,standar pelayanan dan standar profesi. Permenkes tidak mengharuskan sunat bagi perempuan. Sunat perempuan dapat dilakukan hanya atas permintaan dan atau persetujuan dari orangtua anak perempuan atau wali.
Artinya, Permenkes tersebut tidak mengharuskan perempuan disunat, tetapi apabila ada perempuan yang ingin disunat Permenkes itu digunakan sebagai standar operating precedure (SOP) atau acuan oleh tenaga kesehatan tertentu.
Sunat perempuan berupa tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Prosedur hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu, yaitu dokter, bidan dan perawat yang telah memiliki ijin praktik, atau surat izin kerja dan diutamakan yang berjenis kelamin perempuan.
Seiring berkembangnya medis, sunat perempuan diketahui menimbulkan bahaya kesehatan. Permenkes tahun 2010 ini ditentang dunia kedokteran Indonesia. Adanya pertentangan atas permenkes berujung dikeluarkannya permenkes baru pada tahun 2014, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No. 6 Tahun 2014.
Permenkes ini dikeluarkan untuk mencabut dan tidak berlaku lagi Permenkes No. 1636/Menkes/PER/XI/2010. Permenkes baru tahun 2014 menyatakan, “sunat perempuan hingga saat ini bukan merupakan tindakan kedokteran karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan.”
“Dulu pernah ada (aturan) soal sunat perempuan di Indonesia. Tapi itu tidak lagi berlaku. Dari literatur yang saya baca, praktik sunat perempuan lebih banyak karena alasan culture (budaya) and religius (agama). Tapi secara medis enggak ada manfaatnya. Sebaiknya, sunat perempuan sih enggak perlu,” tegas Christine yang juga anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Komplikasi Setelah Sunat
Dokter Spesialis Konsultan Anak Rosalina Dewi Roeslani pernah menulis WHO dan Persatuan Dokter Obstetri dan Ginekologi Dunia (The International Federation of Gynecology and Obstetrics) menolak seluruh jenis FMG dan menyebut tindakan tersebut sebagai “praktik medis yang tidak diperlukan, yang memiliki risiko komplikasi serius dan mengancam nyawa.”
FMG dianggap mengancam nyawa karena risiko perdarahan yang hebat. Ini dipengaruhi banyak pembuluh darah di daerah kemaluan perempuan.
“Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) tidak merekomendasikan sunat perempuan dalam arti pemotongan klitoris. Hanya saja, pada kondisi tertentu seperti ada selaput di klitoris, dapat dilakukan pembukaan selaput tersebut,” tulis Rosalina dalam laman IDAI.
Adapun komplikasi kesehatan yang terjadi setelah sunat perempuan, menurut WHO sebagai berikut:
Komplikasi sesaat setelah disunat:
- sakit parah
- perdarahan yang berlebihan
- pembengkakan jaringan genital
- demam
- infeksi (tetanus)
- gangguan kemih
- pemulihan luka terganggu
- cedera pada jaringan genital di sekitarnya
- syok
- kematian.
Dampak buruk jangka panjang:
- masalah kemih (buang air kecil yang menyakitkan, infeksi saluran kemih)
- gangguan pada vagina (keputihan, gatal, vaginosis bakteri dan infeksi lainnya)
- masalah menstruasi (menstruasi yang menyakitkan, darah menstruasi sulit keluar)
- timbul jaringan parut dan keloid
- masalah seksual (nyeri selama hubungan intim, penurunan kepuasan)
- peningkatan risiko komplikasi persalinan (persalinan sulit, perdarahan berlebihan, operasi caesar) dan kematian bayi baru lahir.
Advertisement
200 Juta Anak Perempuan
Data UNICEF pada Februari 2018 menyebut, setidaknya 200 juta anak perempuan dan wanita yang hidup hari ini dan tinggal di 30 negara punya pengalaman menjalani sunat. Namun, sebagian besar anak perempuan dan wanita berpikir bahwa FGM harus berakhir dan ada penurunan prevalensi praktik secara keseluruhan selama tiga dekade terakhir.
Sayangnya, tidak semua negara setuju. Laju penurunan praktik sunat perempuan tidak merata. Data dari survei representatif skala besar menunjukkan, praktik FGM sangat terkonsentrasi di negara-negara dari pantai Atlantik ke Afrika, negara-negara wilayah Timur Tengah (Irak dan Yaman) dan Asia.
Praktik ini nyaris seluruhnya dilakukan di Somalia, Guinea, dan Djibouti dengan tingkat sekitar 90 persen, sebagaimana dilansir dari laman UNICEF. Di Mali, Sierra Leone, Guinea, Gambia, Somalia, dan Mesir, lebih dari setengah populasi wanita berpikir, praktik sunat perempuan harus dilanjutkan.
Di sisi lain, WHO mengklasifikasikan FGM menjadi empat kategori besar pada tahun 1995 dan diperbarui pada tahun 2007:
Tipe 1: Penghilangan sebagian atau total klitoris dan/atau preputium.
Tipe 2: Penghilangan sebagian atau total klitoris dan labia minora dengan atau tanpa eksisi labia majora.
Tipe 3: Mempersempit lubang vagina dengan memotong dan menyatukan labia minora dan/atau labia majora. Dalam kebanyakan kasus, tepi potong labia dijahit menjadi satu, yang disebut sebagai 'infibulasi'.
Tipe 4: Semua prosedur berbahaya pada alat kelamin wanita untuk tujuan non-medis, seperti menusuk dan mengikis klitoris.
Secara keseluruhan, praktik FGM telah menurun selama tiga dekade terakhir. Di 30 negara dilihat dari data prevalensi, sekitar 1 dari 3 anak perempuan berusia 15 hingga 19 tahun hari ini telah menjalani praktik sunat.
Hal tersebut menurut Laporan yang dihimpun UNICEF pada tahun 2017. Survei ini dilakukan dari 2004-2016 juga terdapat penurunan dibanding pada pertengahan 1980-an, yang mana 1 dari 2 anak perempuan pernah disunat.