Usai Penolakan PK Baiq Nuril, Korban Kekerasan Seksual Dinilai Akan Takut Melapor

Bestha mengatakan putusan PK Baiq Nuril mencerminkan bahwa aturan perlindungan terhadap perempuan di Indonesia terbilang masih minim.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Jul 2019, 03:05 WIB
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pontianak dan Jurnalis Perempuan Khatulistiwa menggalang aksi penolakan putusan MA terhadap kasus Baiq Nuril. (Liputan6.com/ Raden AMP)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menolak pengajuan Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril. Putusan itu menuai protes.

Bestha Inatsan, peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menilai putusan tersebut hanya menutup akses bagi korban kekerasan seksual untuk melapor.

"Ini membuat korban pelecehan seksual takut untuk melapor," kata Bestha yang tergabung dalam 'Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril', Jakarta, Jumat (5/7/2019).

Bestha mengatakan putusan PK Baiq Nuril mencerminkan bahwa aturan perlindungan terhadap perempuan di Indonesia terbilang masih minim.

Sebab, kata Bestha, bentuk dan jenis kekerasan terus bertambah. Tidak hanya kekerasan seksual fisik berupa pencabulan atau perkosaan.

"Memang itu (pelecehan seksual) diatur dalam KUHP tapi itu sangat sedikit, misal hanya pencabulan, tidak komprehensif semua jenis pencabulan misal pelecehan seksual verbal," ujar Bestha menjelaskan.

Secara terpisah, Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan, Sri Nurherwati mengatakan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi bisa menggunakan amnesti untuk mengeluarkan Baiq dari jeratan hukum.

"Amnesti dapat saja dilakukan, mengingat sistem hukum belum melindungi perempuan korban kekerasan seksual," ucap Sri.

Dia menuturkan, pihaknya juga akan mendukung kepada Baiq Nuril jika hendak mengajukannya. "Komnas Perempuan akan memberikan dukungan bila BN (Baiq Nuril) hendak ajukan amnesti kepada Presiden," pungkasnya.

Diketahui, dengan ditolaknya PK tersebut, maka mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram itu tetap menjalani hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan sesuai putusan Kasasi MA.

"Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjaun Kembali (PK) Pemohon/Terpidana Baiq Nuril yang mengajukan PK ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019. Dengan ditolaknya permohonan PK Pemohon/Terpidana tersebut maka putusan kasasi MA yang menghukum dirinya dinyatakan tetap berlaku," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dalam keterangannya.

Sidang PK itu diketuai hakim Suhadi dengan anggota Margono dan Desnayeti. Majelis hakim menilai alasan permohonan PK pemohon yang mendalilkan bahwa dalam putusan tingkat kasasi mengandung muatan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata tidak dapat dibenarkan.

"Karena putusan judex yuris tersebut sudah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya," kata Andi.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Tak Dijadikan Referensi Hakim

Koalisi masyarakat sipil Save Ibu Nuril mendesak agar putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap penolakan Peninjauan Kembali (PK) Baiq Nuril, terpidana pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak dijadikan sebagai referensi oleh para hakim. Hal itu dikarenakan agar peradilan tidak menutup ruang bagi perempuan korban kekerasan seksual.

"Koalisi masyarakat sipil Save Ibu Nuril meminta agar putusan ini tidak dijadikan sebagai preseden dalam penanganan perkara perempuan yang mengalami kekerasan seksual," ujar kuasa hukum Nuril, Aziz Fauzi, Jakarta, Jumat (5/7/2019).

Bukan tidak mungkin, kata Aziz, masih banyak perempuan yang ingin melaporkan adanya kekerasan seksual namun urung dilakukan melihat putusan MA tersebut.

Sementara itu, Aziz bersama koalisi masyarakat sipil Save Ibu Nuril sepakat bahwa delik pidana terhadap mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram itu tidak terpenuhi.

Hal itu dibuktikan dengan putusan tingkat pertama yang menyatakan Nuril tidak memenuhi unsur Pasal 27 Ayat 1 Jo Pasal 45 Ayat 1 Tahun 2008 Undang-Undang ITE.

Namun di tingkat kasasi, MA memutuskan vonis terhadap Nuril seama enam bulan penjara, denda Rp 500 juta atau subsider tiga bulan kurungan. Putusan itu diperkuat dengan putusan PK yang dikeluarkan MA.

"Mahkamah Agung seharusnya lebih cermat dan perspektif dalam menilai kasus ini. Mengingat, MA telah mengeluarkan PerMA nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum," ujarnya.

Reporter: Yunita Amalia

Sumber: Merdeka

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya