Liputan6.com, Jakarta - Baiq Nuril Maknun sangat kecewa terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus yang menjeratnya. Dengan begitu, Baiq Nuril tetap dinyatakan bersalah dan harus dihukum.
Kendati, bukan berarti tidak ada harapan sama sekali bagi Nuril terlepas dari jeratan hukum. Masih ada asa yang tersisa untuk mantan guru honorer SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.
Advertisement
Adalah amnesti, sisa asa yang dimiliki Nuril. Amnesti atau pengampunan merupakan salah satu hak yang dimiliki presiden di bidang yudikatif.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah memberikan angin segar untuk Nuril. Tim hukum Nuril pun diminta secepatnya mengajukan amnesti.
"Secepatnya (ajukan amnesti)," ucap Jokowi di Bandara Sam Ratulangi Manado, sebelum bertolak kembali menuju Jakarta, Jumat 5 Juli 2019.
Jokowi menegaskan, dirinya tetap memberi perhatian penuh atas jalannya kasus ini sejak awal bergulir dan akan terus memantau perkembangannya.
"Perhatian saya sejak awal kasus ini tidak berkurang. Tapi sekali lagi, kita harus menghormati putusan yang sudah dilakukan oleh mahkamah," ujar dia.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu enggan berkomentar lebih banyak terkait hal tersebut. Sebab, dia menilai putusan terhadap Baiq Nuril merupakan wilayah kerja lembaga yudikatif.
"Nanti kalau sudah masuk ke saya, menjadi wilayah kewenangan saya, ya akan saya gunakan kewenangan yang saya miliki," tutur dia.
Jokowi berjanji akan menggunakan kewenangannya apabila Baiq Nuril mengajukan amnesti. Amnesti merupakan salah satu hak Presiden di bidang yudikatif.
"Saya akan bicarakan dulu dengan Menteri Hukum dan HAM, biasanya (juga) dengan Jaksa Agung dan Menko Polhukam, untuk menentukan apakah amnesti apakah yang lainnya," jelas Jokowi.
Tim hukum Nuril tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Salah satu pengacara Baiq Nuril, Joko Jumadi mengatakan, pihaknya tengah mempersiapkan pengajuan amnesti ke presiden. Rencananya, permohonan resmi akan disampaikan pekan depan.
"Minggu depan, rencanannya pengajuan resmi amnesti minggu depan. Perkiraan Kamis (11 Juli 2019) atau Jumat (12 Juli 2019)," ujar Joko saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (6/7/2019).
Dia mengaku kecewa atas putusan MA yang menolak permohonan PK Baiq Nuril. Namun begitu, pihaknya harus menghormati putusan itu dan akan menempuh jalan lain sesuai ketentuan yang berlaku, yaitu amnesti.
"Kita upayakan bagaimana kita minta presiden beri amnesti. Kalau upaya hukum sudah selesai. (Amnesti) Sudah dijanjikan presiden beberapa waktu sesuai kewenangannya," kata dia.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Surat untuk Jokowi
Baiq Nuril memang menaruh harapan besar kepada Presiden Jokowi untuk mendapatkan keadilan. Karena hanya amnesti dari presiden satu-satunya harapan tersisa yang bisa melepaskan jeratan hukum dirinya.
Lewat selembar kertas, Nuril menuliskan surat untuk orang nomor satu di Indonesia itu. Dia menagih janji Jokowi untuk mengeluarkan kewenangannya.
“Salam hormat untuk Bapak Presiden. Bapak Presiden PK saya ditolak. Saya memohon dan menagih janji bapak untuk memberikan amnesti, karena hanya jalan ini satu-satunya harapan terakhir saya. Hormat saya, B. Nuril Maknun,” tulis Baiq Nuril pada sebuah kertas dilansir Jawapos.com, Sabtu (6/7/2019).
Saat dikonfirmasi, kuasa hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi membenarkan itu adalah surat yang ditulis oleh kliennya. Baiq berharap Presiden Jokowi bisa membebaskannya dari jeratan hukum atas kasus pelanggaran UU ITE ini.
“Memang dia yang menulis. Itu harapan dari Ibu Nuril untuk Pak Jokowi bisa memberikan amnesti,” katanya.
Menurutnya, Baiq Nuril sangat kecewa dengan putusan MA yang menolak permohonan Peninjauan Kembali atas kasusnya tersebut. Pasalnya, sejak 2012 kasus ini berproses, namun sampai dengan saat ini Baiq Nuril masih belum bisa bernapas lega.
“Iya kecewa, masih waswas, deg-degan dan klimaksnya kemarin ketika harus menerima fakta MA bergeming sedikitpun saat meminta keadilan,” tuturnya.
Joko menambahkan, pihaknya akan terbang ke Jakarta dan mengajukan amnesti kepada Presiden Jokowi pekan depan. Pihaknya juga akan berkunjung ke DPR untuk berkonsultasi dan meminta dukungan terhadap masalah hukum yang dihadapi Nuril.
“Jadi, mudah-mudahan DPR mendukung langkah amnesti ini,” ungkapnya.
Joko menegaskan, amnesti adalah jalan satu-satunya yang mereka harapkan. Dia memastikan tidak akan mengajukan grasi kepada presiden.
Sebab, menurut dia, meminta grasi ke presiden sama artinya dengan mengakui bahwa Baiq Nuril bersalah. Sementara dirinya yakin, Baiq Nuril tidak bersalah.
"Kita tidak ingin orang yang menurut kami merasa benar malah seolah-olah bersalah meminta grasi," kata Joko seperti dilansir Antara, Sabtu (6/7/2019).
Dia juga menilai bahwa grasi yang merupakan hak presiden memberikan pengurangan hukuman tidak bisa diterima Baiq Nuril. Mengingat, ancaman hukuman dalam putusan kasasinya di Mahkamah Agung di bawah dua tahun, tepatnya enam bulan penjara.
Apalagi Baiq Nuril sudah menjalani separuh masa hukuman pidana penjaranya yakni dua bulan, ketika proses hukumnya sedang berjalan.
"Jadi saat ini Baiq Nuril tinggal menjalani sisa masa hukumannya," kata Joko.
Advertisement
Perjalanan Palu Hakim
Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril terkait kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dia pun tetap harus menjalani hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan sesuai putusan Kasasi MA.
"Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjaun Kembali (PK) Pemohon/Terpidana Baiq Nuril yang mengajukan PK ke MA dengan Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019. Dengan ditolaknya permohonan PK Pemohon/Terpidana tersebut maka putusan kasasi MA yang menghukum dirinya dinyatakan tetap berlaku," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dalam keterangannya, Jumat 5 Juli 2019.
Sidang PK itu diketuai hakim Suhadi dengan anggota Margono dan Desnayeti. Majelis hakim menilai, alasan permohonan PK Baiq Nuril yang mendalilkan ada kekhilafan hakim dalam putusan tingkat kasasi, tidak dapat dibenarkan.
"Karena putusan judex yuris tersebut sudah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya," kata Andi.
Majelis hakim berpendapat, perbuatan Baiq Nuril merekam pembicaraan lewat ponsel antara dirinya dan kepsek dan menyimpan hasil rekamannya untuk diserahkan kepada saksi Imam Mudawin mengandung unsur pidana. Terlebih setelah saksi Imam Mudawin memindahkan ke laptopnya hingga rekaman percakapan itu tersebar luas.
"Bahwa terdakwa yang menyerahkan handphone miliknya kepada orang lain kemudian dapat didistribusikan dan dapat diakses informasi atau dokumen eletronik yang berisi pembicaraan yang bermuatan tindak kesusilaan tidak dapat dibenarkan. Atas alasan tersebut permohonan PK pemohon atau terdakwa ditolak," kata Andi.
Penolakan PK itu pun menguatkan putusan kasasi MA pada 26 September 2018 lalu. Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni menjatuhkan vonis hukuman kepada Baiq Nuril selama enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Dalam putusannya, Majelis Kasasi Mahkamah Agung menganulir putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakan Baiq Nuril bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 Juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pengadilan Negeri Mataram melalui Majelis Hakim yang dipimpin Albertus Husada pada 26 Juli 2017, dalam putusannya menyatakan bahwa hasil rekaman pembicaraan Baiq Nuril dengan H Muslim, mantan Kepala SMAN 7 Mataram yang diduga mengandung unsur asusila dinilai tidak memenuhi pidana pelanggaran Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dari fakta persidangan di pengadilan tingkat pertama, Majelis Hakim menyatakan bahwa tidak ada ditemukan data terkait dengan dugaan kesengajaan dan tanpa hak mendistribusikan informasi yang bermuatan asusila. Melainkan yang mendistribusikan hasil rekaman tersebut adalah Imam Mudawin, rekan kerja Baiq Nuril Maknun saat masih menjadi tenaga honorer di SMAN 7 Mataram.
Hal itu disampaikan Majelis Hakim berdasarkan penilaian hasil pemeriksaan Tim Digital Forensik Subdit IT Cyber Crime Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Tipideksus) Bareskrim Polri terhadap barang bukti digital yang disita tim penyidik kepolisian.
Karena itu, barang bukti digital yang salah satunya adalah hasil rekaman pembicaraan Baiq Nuril Maknun dengan H Muslim, dinilai tidak dapat dijadikan dasar bagi penuntut umum dalam menyusun surat dakwaannya.