Liputan6.com, Jakarta Nasib pilu melanda RG (4) yang mengidap cerebral palsy (CP) atau istilah awamnya lumpuh otak. Bocah berkebutuhan khusus itu tidak hanya lumpuh otak, melainkan sekujur tubuhnya penuh lebam. Kini, bocah tersebut tengah terkapar tak berdaya dengan alat bantu pernapasan.
Kisah tersebut disampaikan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Kesehatan dan NAPZA, Sitti Hikmawatty. Kondisi RG yang kritis sedang dirawat di Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Baca Juga
Advertisement
Cerita bermula saat bocah pengidap lumpuh otak ini dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSCM pada pertengahan Juni 2019 lalu. Ia mengalami gangguan sesak napas. Dokter memberi pertolongan keluhannya tersebut. Dokter juga mengobati bengkak dan peradangan yang terjadi pada lengan kanan RG.
“Peradangan itu dari hasil rontgen memperlihatkan, terjadi karena tulang lengan RG mengalami fraktur (patah) sehingga perlu ditangani khusus. Sayangnya, karena pertimbangan tertentu dari keluarga. Setelah menjalani perawatan selama lima hari, ananda RG dibawa pulang dengan melepas tanggung jawab medisnya (pulang paksa),” tutur Sitti dalam keterangan rilis kepada Health Liputan6.com, ditulis Senin (8/7/2019).
RG yang mengidap lumpuh otak pun mengalami gangguan tumbuh kembang, baik secara fisik maupun psikis. Jika kondisi tersebut tidak ditangani dengan baik, maka penderita umumnya hanya bisa terbaring lemah.
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Perdarahan di Otak
Di akhir Juni 2019, Selang beberapa hari sejak pulang dari RSCM, RG kembali dilarikan ke IGD RSCM karena kondisinya lebih parah. Ia sudah dibawa dalam keadaan tidak sadar.
Sekujur tubuh penuh lebam juga luka-luka. Pemeriksaan secara mendalam dilakukan. Para dokter bertindak sigap, DPJP (Dokter Penanggungjawab Pasien) melakukan perawatan gabungan secara kompherhensif, terutama ada luka yang mencurigakan di bagian paha.
Hasil rontgen memperlihatkan luka terjadi karena tulang yang patah. Tim bedah saraf mencurigai adanya perdarahan di bagian kepala sehingga dokter bagian forensik anak ikut mendeteksi prediksi penyebab luka.
Dokter mulai menyelidiki tentang (dugaan) penganiayaan anak (child abuse) yang kemungkinan dialami RG. Pihak forensik RSCM pun mengundang penyidik dari kepolisian untuk mulai melakukan penyelidikan juga pada motif yang mungkin terjadi.
"Penyebab luka yang mungkin terjadi bukan sebuah kewajaran. Kami dihubungi oleh bagian anak RSCM, terkait dugaan penganiayaan anak atas nama anak RG (4) ini," lanjut Sitti.
Untuk menyelamatkan RG, perlu tindakan operasi akibat perdarahan di otak. Sayangnya, pihak keluarga tidak menyetujui. Padahal, tindakan operasi pada otak perlu ada penandatangan persetujuan tindakan (inform concern).
Dokter tidak bisa melakukan tindakan operasi jika keluarga tidak menyetujui, Bahkan saat dikabari RG hendak dioperasi, keluarga malah berniat membawa pulang RG dengan mencabut peralatan penunjang kehidupan, seperti alat bantu napas (ventilator), yang saat itu masih terpasang.
Advertisement
Kematian Otak
Kondisi kesehatan RG juga terus memburuk. Saat KPAI menengok bocah tersebut, tingkat kesadaran RG sudah pada standar angka 3 (tiga). Hingga kini RG hanya terbaring.
Dokter yang menangani RG menyampaikan, dalam waktu dekat tidak menutup kemungkinan akan segera terjadi kematian otak (brain death), yang berarti secara teknis RG bisa dikategorikan meninggal.
“Kami sering menangis, kami (para dokter) yang seharusnya bisa membantu, malah tidak bisa berbuat apa-apa karena masih terganjal dengan kewenangan yang terbatasi aturan ini (pihak keluarga RG tidak menyetujui operasi). Padahal, keselamatan bahkan kehidupan seorang anak bisa kami bantu atasi,” ujar seorang dokter senior--yang tak disebut namanya.
KPAI mendorong segera diberlakukannya penyidikan terkait kemungkinan penganiayaan yang dialami RG. Jika itu dilakukan oleh orang terdekat, maka perlu diberikan hukuman perberatan atasnya.