Liputan6.com, Jakarta Musim kemarau tahun ini diperkirakan lebih lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sehingga meningkatkan resiko kekeringan dan kebarakan lahan, serta kegagalan panen. Hal ini ditandai dengan majunya awal musim kemarau di bulan April di beberapa daerah di Indonesia.
Hasil pantauan dari BMKG bahwa wilayah yang telah memasuki musim kemarau meliput Aceh (pesisir utara dan timur), Sumatera Utara bagian utara, Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan bagian tenggara, pesisir barat Sulawesi Selatan, pesisir utara Sulawesi Utara, pesisir dalam perairan Sulawesi Tengah, sebagian Maluku dan Papua bagian selatan.
Advertisement
Kejadian perubahan iklim global saat ini menunjukkan kondisi El-Nino Lemah, yang mana anomali SST di wilayah Samudera Pasifik dan Hindia lebih positif dan membawa udara hangat ke wilayah Indonesia. Kondisi ini diperkirakan akan berlangsung setidaknya hingga Januari 2020.
Kementerian Pertanian (Kementan) pun telah melakukan berbagai upaya antisipasi. Salah satunya telah memprediksi dan menginformasikan potensi kekeringan yang akan melanda di sebagian besar daerah di Indonesia saat ini melalui aplikasi Si-Perditan dan telah merencanakan upaya penanggulangannya.
"Puncak musim kemarau diperkirakan akan terjadi pada bulan Agustus - September dan berlanjut sampai bulan Oktober. Sementara itu musim hujan diperkirakan akan terjadi pada pertengahan bulan November 2019. Jadi ada pergeseran musim hujan 1-2 bulan yang biasanya terjadi musim hujan di bulan Oktober," papar Kepala Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementan) Ketut Karyasa, Senin (8/7).
Berpijak pada pengalaman saat menghadapi dan mengantisipasi kegagalan panen akibat kekeringan tahun 2015 (El-Nino kuat), beberapa langkah operasional yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah Daerah (Dinas Pertanian Provinsi, Kabupaten/Kota).
Pertama, merencanakan jadwal tanam dan pemilihan komoditas tanaman yang tahan kekeringan. Seperti tanaman jagung, ubi kayu dan lainnya di bulan Agustus dan September karena merupakan puncak bulan kekeringan. Kedua, pengaturan dan penjadwalan buka tutup pintu-pintu air di waduk/bendungan dengan memanfaatkan informasi tinggi muka air (TMA) yang ada di aplikasi Si-Perditan.
Ketiga, optimalisasi penggunaan pompa-pompa air pada sumber-sumber air seperti dam-parit atau sumur dangkal dan dalam oleh Brigade Tanam. Dan keempqt, penerapan sistem pembibitan kering dan dapog (tray) serta pengolahan tanah awal, agar begitu hujan turun bibit dapat langsung ditanam karena kemunduran awal musim hujan (MH) selama 1-2 bulan yakni bulan Oktober dan November.
"Melalui upaya-upaya tersebut kegagalan panen akibat kekeringan dapat diminimalisir kerugiannya," ujarnya.
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Sarwo Edhy mengatakan, pihaknya melakukan optimalisasi pompanisasi di sejumlah wilayah terdampak.
"Sudah kita instruksikan kepada petani dan kelompok tani untuk mengoptimalisasi pompa yang kami beri. Kita instruksikan mereka memompa air dari sungai terdekat,” kata Sarwo Edhy.
Sedangkan untuk lahan kering yang berlokasi jauh dari sungai, kata dia, petani dapat memanfaatkan sumber air permukaan. Berdasarkan data Kementan, per Juli 2019 terdapat 112.526 hektare terkena puso seluruh Propinsi di Indonesia.
"Data per Juli yang terkena seluas 112.526 hektare. Ini lebih kecil dibanding periode sama 2018 seluas 117.616 hektare," sebut Sarwo Edhy.
Untuk mengantisipasi dampak kekeringan terhadap stabilisasi pasokan dan harga pangan, khususnya beras, Kementan juga sudah menurunkan tim pada 1-4 Juli 2019 di beberapa daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Hasil pantauan tim, kondisi pertanaman padi di beberapa lokasi di Kabupaten Sleman, Kulon Progo dan Gunung Kidul menunjukkan masih tumbuh dengan baik. Karena air irigasi masih tercukupi walaupun ada pengaturan atau pergiliran jadwal pengairan.
Hal ini dibuktikan dengan hasil pemantauan terhadap kondisi tinggi muka air (TMA) yang ada di Waduk/Bendungan Sermo yang berlokasi di Kabupaten Kulon Progo. Yang mana kondisi masih normal dengan elevasi TMA pemantauan 131,49 meter dan elevasi TMA rencana 121,68 meter (per tanggal 1 Juli 2019).
Secara umum fase pertanaman padi (standing crop) di beberapa kecamatan di Kabupaten Sleman, Kulon Progo dan Gunung Kidul sangat bervariasi. Yakni vegetatif-1 umur tanaman 16-30 hari setelah tanam (HST) sampai dengan generatif-1 atau mau panen.
"Kondisi pertanaman padi yang bervariasi ini menggambarkan bahwa panen padi 1-2 bulan ke depan di Provinsi Yogyakarta masih aman sehingga pasokan beras masih cukup," jelas Karyasa.
Sementara itu, hasil pantaun pasokan dan harga beras di pedagang grosir dan eceran di Kabupaten Gunung Kidul, Bantul, Sleman, Kulon Progo dan Kota Yogyakarta, menunjukkan pasokan pangan khususnya beras masih aman sampai 1-2 bulan ke depan dan harga masih stabil.
Pasokan beras di beberapa pedagang eceran di Kabupaten Gunung Kidul, Bantul, Sleman, Kulon Progo dan Kota Yogyakarta sebesar 1-3 ton per minggu dan untuk pasokan beras di beberapa pedagang grosir dan eceran sebesar 5-35 ton per minggu, dan harga beras berkisar Rp. 8.500 - 9.500 per kg.
Menurut Pak Ismanto (Toko Etik) salah satu pedagang beras grosir dan eceran di Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, saat musim kemarau tahun ini harga beli beras per kg berkisar Rp 8.500 – Rp 9.000 dan akan di jual kembali sebesar Rp 9.000 – Rp 9.500. Sehingga ada margin keuntungan sebesar Rp 500.
Sementara itu harga jual beras di Kabupaten Bantul lebih rendah berkisar Rp 8.500 – Rp 9.000. menurut Bu Warjilah pemilik UD Tani Rahayu salah satu pedagang beras di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul mengambil keuntungan sebesar Rp 500 dari harga beli dengan beras saat ini sebagian besar masih berasal dari Kabupaten Bantul sendiri.
Untuk pasokan beras yang di perdagangkan di Kabupaten Gunung Kidul sebagian berasal dari Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Seperti Kabupaten Purworejo, Klaten, Sukoharjo, Sragen dan Pati. Sementara itu, sebagian besar kebutuhan beras rumah tangga tani di Kabupaten Gunung Kidul berasal dari hasil panen padi sendiri, mereka umumnya tidak menjual panennya tetapi disimpan untuk di konsumsi sendiri.