Liputan6.com, Manila - Pemerintah dan polisi Filipina disebut melakukan pembunuhan yang luas dengan dalih "perang melawan narkoba", menurut laporan baru Amnesty International.
Organisasi hak asasi manusia itu meminta PBB untuk menyelidiki kemungkinan adanya tindak "kejahatan terhadap kemanusiaan" akibat kebijakan anti-Narkoba di Filipina.
Baca Juga
Advertisement
Melansir VOA Indonesia, Selasa (9/7/2019), dalam laporan berjudul "They Just Kill" atau Mereka Hanya Membunuh itu menuduh polisi Filipina kerap membuat-buat alasan untuk membunuh orang yang diduga terlibat narkoba. Menurut laporan itu, petugas kerap membenarkan tindakan dengan alasan "operasi sergap", menembak dalam razia.
Seringkali, warga masyarakat tidak memiliki senjata api --untuk membela diri-- atau terlalu miskin untuk membelinya, kata laporan itu.
Amnesty International juga menyatakan, daftar yang digunakan untuk mengidentifikasi orang-orang yang terkait perdagangan narkoba, "tidak bisa diandalkan, tidak sah, dan tidak bisa dibenarkan."
Laporan juga menuduh eksekusi sebagai kebijakan yang lebih luas menargetkan kaum miskin di Filipina, di mana petugas didorong untuk menggunakan tindak mematikan.
Menanggapi temuannya, organisasi HAM itu menyerukan PBB agar membuka penyelidikan.
Telah Membunuh Lebih dari 5.000 Orang?
Laporan resmi tentang jumlah korban tewas dalam perang keras Rodrigo Duterte terhadap narkoba di Filipina, telah meningkat di atas 5.000 orang, demikian menurut pihak berwenang.
Derrick Carreon, seorang juru bicara untuk lembaga penindak narkoba Filipina (PDEA) mengatakan, jumlah resmi antara Juli 2016 dan akhir November 2018, sebanyak 5.050 nyawa hilang, sebagian besar di tangan polisi.
Sejak mengambil alih kekuasaan Filipina pada Juli 2016, Duterte telah menjadikan tindakan kerasnya terhadap pengguna dan pengedar narkoba sebagai titik fokus pemerintahannya.
Hal itu, sebagaimana dikutip dari The Guardian, melanjutkan operasi brutal serupa yang Duterte lakukan saat menjabat sebagai wali kota Davao.
Namun, jumlah korban resmi tersebut jauh di bawah perkiraan yang disampaikan oleh kelompok-kelompok pemerhati hak asasi manusia, yang bervariasi dari 12.000 hingga 20.000 jiwa. Mereka meyakini bahwa banyak penindakan dilakukan tanpa dokumen resmi.
Advertisement
Bahkan Bisa Mencapai 27.000
Sementara itu, Chito Gascon ketua komisi hak asasi manusia Filipina mengatakan, jumlah korban meninggal bisa mencapai 27.000 jiwa, meskipun ia menekankan bahwa menyelidiki kematian itu rumit karena polisi menahan catatan operasi anti-narkoba.
Meskipun pada awalnya adalah kebijakan yang populer, perang Duterte terhadap narkoba belakangan dikritik karena banyaknya pembunuhan oleh polisi, yang telah diberi kekuatan tidak terkendali untuk menindak isu terkait.
Derrick Carreon membela peningkatan jumlah korban tewas, dan mengatakan bahwa kehidupan polisi yang melakukan penggerebekan narkoba sering terancam, dan bahwa "secara alami, kekuatan sepadan harus dilaksanakan untuk mengusir ancaman".
"Setiap kematian memicu kekhawatiran," kata Carreon. "Tapi operasi anti-narkoba membawa kemungkinan paling tinggi pada tindak kekerasan, terutama jika tersangka bersenjata dan di bawah pengaruh obat-obatan terlarang."