Liputan6.com, Jakarta Suasana di Lapangan Banteng, Gambir, pada Sabtu malam, 6 Juli 2019 tampak meriah. Tidak sedikit warga Jakarta yang menghabiskan waktu di arena terbuka seluas 5,2 hektare yang terletak di Jakarta Pusat itu.
Dari bagian depan Istana Daendels yang menjadi pintu masuk saya menuju Lapangan Banteng, tampak anak-anak kecil bergembira menaiki odong-odong. Kendaraan bermotor yang dimodifikasi hingga memuat banyak orang itu juga memiliki lampu yang menarik perhatian dan tampak kontras dengan malam yang gelap dan lampu jalanan yang alakadarnya.
Advertisement
Para pengunjung yang datang ke Lapangan Banteng tidak hanya keluarga. Banyak pula kawan sebaya ataupun pasangan yang berminat menikmati suasana lain di tengah Kota Jakarta. Tujuan sebagian besar dari mereka adalah pertunjukan “Air Mancur Menari” yang pada akhir pekan ini dipertontonkan oleh pihak pengelola sebanyak tiga kali, yakni pada pukul 18.30 WIB, 19.30 WIB, dan 20.15 WIB.
Mungkin karena bertepatan dengan libur sekolah, suasana Lapangan Banteng pada malam itu sangat ramai. Anak-anak kecil berlarian gembira di ruang terbuka. Rumput pun jadi sasaran kaki kecil mereka. Memang di Jakarta, lahan bermain adalah hal langka jarang mereka dapatkan di sekitar rumah.
Suasana gembira memenuhi udara. Sebagian anak-anak itu bermain lempar karet menyala, sebagian meniup balon busa, sementara sebagian lagi mengambil pose berfoto dengan latar belakang patung pembebasan Irian Barat.
Lapangan Banteng memang terus berbenah. Sejak dibuka kembali setelah revitalisasi pada 25 Juli 2018, tempat yang awalnya bernama Waterlooplein ini segera menjadi tempat favorit bagi warga DKI Jakarta.
Di tengah-tengah lapangan berdiri dengan megah patung pembebasan Irian Barat karya pematung Eddy Gunarso. Monumen ini dibangun pada 1962. Saat itu, bangsa Indonesia tengah berjuang membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda. Ide awal pembuatan patung pertama-tama datang dari Presiden Sukarno, yang kemudian diterjemahkan Henk Ngantung dalam bentuk sketsa. Barulah setahun kemudian patung ini terwujud.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Meriah
Menjelang pukul 20.05 WIB, terdengar pemberitahuan bergema lewat pengeras suara, menginfokan bahwa sepuluh menit lagi pertunjukan air terjun menari segera dimulai. Berbondong-bondong pengunjung yang masih berada di lokasi yang agak jauh dengan amphiteater datang mendekat. Mereka yang sudah duduk menggeser tempat untuk yang baru datang. Namun, ada pula yang memilih berdiri atau berada di depan taman air mancur.
Tepat pukul 20.15, lampu penerang di atas tempat duduk dimatikan dan intro musik pembuka terdengar memecah suasana. Lagu-lagu instrumentalia bertemakan perjuangan mengalun, mengiringi air mancur yang melontar keluar dari sumbernya. Berselang-seling, air mancur meluncur dan menjulang dengan ketinggian berbeda-beda. Lampu sorot beraneka warna memancar dan menambah indah kesan yang muncul. Secara keseluruhan, gerak serasi antara air mancur dan lampu sorot memberi kesan seperti sedang sebuah pertunjukan tari.
Penonton berteriak riuh setiap kali alunan musik dari lagu baru dimulai dan air mancur kembali membius dengan pesonanya. Total 15 menit pertunjukan itu kami nikmati. Banyak yang merekam dengan gawainya untuk mengabadikan momen. Ada pula yang berpose dengan latar belakang air mancur berwarna-warni. Dari sudut yang tepat, jika beruntung, Monumen Nasional pun bisa terlihat dalam potret.
Begitu pertunjukan selesai, saya mendesah tak puas. Rasanya 15 menit kurang, sehingga saya ingin menikmati keindahan taman air mancur menari lebih lama. Di Jakarta, bisa dibilang ini satu-satunya. Untuk menikmati pertunjukan semacam ini, salah satunya kita bisa dapatkan di Taman Sri Baduga, Purwakarta.
Advertisement
Pengelolaan kurang apik
Lapangan Banteng kini jadi lokasi favorit untuk sekadar berlari atau menghirup udara segar. Ada lintasan lari di tempat yang dulu pernah jadi terminal bus ini, ada pula taman dengan pepohonan rindang yang bisa jadi sasaran mereka yang hobi fotografi. Selain itu, terdapat taman bermain anak dengan ayunan, perosotan, dan pasir. Konsepnya meniru taman bermain yang ada di luar negeri.
Meski demikian, pengelola tampaknya kewalahan menampung animo masyarakat yang begitu besar terhadap Lapangan Banteng. Berkali-kali melalui pengeras suara, terdengar imbauan agar pengunjung tak meninggalkan sampah di arena sekitar. Meski demikian, seruan itu tampaknya tak mendapat angin.
Sebenarnya tempat sampah cukup tersedia dan mudah ditemukan. Tapi sepertinya orang Indonesia memang belum memiliki kesadaran yang cukup untuk tertib. Dengan gampangnya, bungkus bekas Pop Mi dan minuman lain bertebaran. Belum lagi sampah plastik dan sedotan yang cukup mengotori pemandangan.
Jika tidak ingin ada sampah, seharusnya pedagang asongan tak diperboleh masuk ke lokasi. Memang pedagang asongan hanya terlokalisasi di bagian depan dan taman bermain anak, tapi itu membuat taman wisata yang seharusnya tampak indah menjadi terkesan kumuh. Hal itu pun tidak sesuai dengan semboyan Wajah Baru Jakarta yang diusung Gubernur Anies Baswedan.
Jika ingin sesuai dengan milenial tourism yang digadang-gadang Kementerian Pariwisata, Lapangan Banteng harus berbenah dan menambah sarana. Secara konsep Lapangan Banteng sangat Instagramable (laik Instagram), sehingga orang-orang akan berburu spot-spot menarik untuk berfoto. Ditambah lagi promosi melalui akun Instagram lapangan_banteng cukup memancing rasa penasaran generasi kiwari terhadap tempat wisata ini.
Cukup dengan hastag #lapangan banteng dan gamit (mention) @lapangan_banteng, maka posting-an di Instagram Anda saat berkunjung ke tempat ini pun langsung di-repost. Ini merupakan cara promosi yang efektif dan murah.
Tempat interaksi warga
Meski demikian, harus ada tempat khusus untuk para pedagang menjajakan makanannya agar tak menganggu kenyamanan pengunjung. Malah, kalau perlu, kedai kopi ber-wifi bisa menggoda pengunjung agar betah berlama-lama di Lapangan Banteng. Dengan konsep seperti Lenggang Jakarta di Lapangan IRTI Monas, pengujung bisa bersantai dan makan tanpa pengelola khawatir dengan sampah yang berserakan.
Selain itu, perlu ada tambahan informasi agar Lapangan Banteng bisa menjadi layaknya gudang informasi mengenai sejarah Indonesia di masa lampau. Memang sudah ada monumen dan plakat yang tertempel di dinding, tapi itu kurang memberikan informasi yang memadai kepada para pengunjung. Jika ingin menyasar milenial, perlu ada ruang pamer yang atraktif dengan ruang audio visual dan pemandu wisata.
Di lain pihak, sejarah Lapangan Banteng juga menarik sebagai informasi bagi para penjelajah wisata Kota Tua. Jika disandingkan dengan wisata kawasan Gambir dan Sawah Besar, seperti Istana Daendels, Gereja Katedral, Masjid Istiqlal dan Petojo tentu akan menjadi tur wisata kota pilihan bagi para milenial.
Jika itu dilakukan, Lapangan Banteng akan semakin atraktif dan menarik. Bahkan, amphiteater juga bisa menjadi lokasi pertunjukan kesenian dan budaya. Festival-festival kreatif pun harus punya kesempatan tampil di sini. Dengan demikian, kesan kota yang hidup dan diidam-idamakan sebagai tempat warga berinteraksi pun akan terwujud.
Advertisement