Liputan6.com, Port Moresby - Setidaknya 24 orang tewas, termasuk anak-anak dan perempuan hamil, dalam konflik antar suku di Provinsi Hela, dataran tinggi Papua Nugini.
Jumlah korban diperkirakan masih jauh lebih banyak, kata pejabat lokal. Mengingat, kekerasan brutal itu dilaporkan telah terjadi sejak beberapa hari.
Konflik itu juga disebut sebagai salah satu kekerasan antar-suku terparah di Papua Nugini selama beberapa tahun terakhir.
Baca Juga
Advertisement
Perdana Menteri James Marape, menyebut tragedi itu sebagai "salah satu hari paling menyedihkan dalam hidup saya," demikian seperti dilansir BBC, Rabu (10/9/2019).
Marape juga berjanji untuk menangkap dan menghukum seluruh tersangka, di mana ia menuduh suku Hagui, Okiru, dan Liwi sebagai dalang.
"Kalian para kriminal bersenjata," kata PM Marape, "Waktu kalian sudah habis."
Motif konfik antar-suku itu belum diketahui. Namun, rekam jejak kekerasan di kawasan dataran tinggi Provinsi Hela bisa dilacak hingga lebih dari 20 tahun silam.
Minimnya sumber daya manusia menjadi alasan bagi pemerintah lokal untuk mengentas akar kekerasan, kata PM Marape.
"Bagaimana bisa, sebuah provinsi berpenduduk 40.000 jiwa diawasi oleh hanya kurang dari 60 orang aparat penegak hukum dan beberapa lainnya yang bertugas paruh waktu, serta hanya melakukan pengamanan 'tambal-sulam'," kata sang perdana menteri Papua Nugini.
Pejabat Provinsi Hela, William Bando mengatakan bahwa pihaknya kini telah meminta tambahan 100 orang aparat keamanan pasca-konfik.
'Pembantaian' Sejak Minggu 7 Juli
Kantor berita lokal EMTV melaporkan setidaknya dua insiden kekerasan terjadi di desa-desa kecil di distrik Tari-Pori, Provinsi Hela.
Pada Minggu 7 Juli, tujuh orang --empat pria dan tiga perempuan-- tewas di desa Munima.
Kemudian pada Senin 8 Jui, 16 perempuan dan anak-anak dibacok hingga tewas di desa Karida, kata EMTV. Dua perempuan itu diketahui tengah mengandung.
Seorang pejabat kesehatan di Provinsi Hela, Pills Pimua Kolo, mengunggah foto di Facebook tentang apa yang dideskripsikannya sebagai "pembantaian di desa Karida."
Gambar menunjukkan sebaris jasad dibungkus kain dan diikat ke tiang panjang. Beberapa, kata Kolo, terlihat sudah terpotonng-potong dan sulit untuk diidentifikasi secara visual.
Advertisement
Kekerasan yang Mengakar Sejak Lama
Provinsi di kawasan dataran tinggi Papua Nugini sangat terpencil. Masyarakat masih berbasis di sekitar tradisi suku dan banyak desa kecil tidak pernah memiliki koneksi jalan.
Pada tahun 2018, gempa bumi menghancurkan beberapa daerah terpencil.
Bentrokan suku adalah hal lumrah, dengan persaingan yang sering terjadi karena pemerkosaan atau pencurian, atau perselisihan tentang batas-batas wilayah.
Tetapi sementara klan telah bertarung satu sama lain selama beberapa dekade atau abad, keparahan kekerasan telah mengejutkan Papua Nugini.
Selama beberapa tahun terakhir, masuknya senjata otomatis telah membuat bentrokan bersifat lebih mematikan dan meningkatkan siklus kekerasan.
Papua Nugini adalah salah satu negara termiskin di Asia dengan sekitar 40 persen populasi hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1 sehari, menurut PBB.