Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Jokowi-JK tengah menyiapkan langkah antisipasi untuk menghadapi musim kemarau panjang. Salah satunya adalah dengan menata kembali ekosistem agar lebih baik lagi.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto mengatakan, dalam menata eksosistem pemerintah tidak hanya berfokus terhadap produksinya saja. Akan tetapi membuka jalur distribusi pangan agar lebih efisien.
Di samping itu, untuk meghadapi perosalan kemarau panjang juga dibutuhkan penyediaan gudang baru. Fungsi gudang ini nantinya akan digunakan untuk menaruh beberapa komiditas yang mudah membusuk.
Baca Juga
Advertisement
"Hal-hal seperti itu yang perlu dipersiapkan lebih matang. Pada dasarnya oke semua. Nanti kita siapkan rakornas inflasi 25 juli mendatang," katanya saat ditemui di Kementerian Perekonomian, Jakarta, Rabu (10/7).
Di sisi lain, pria yang kerap disapa Kecuk ini mengaku khawatir kelompok pangan bergejolak seperti cabai masih akan tetap menyumbang inflasi akibat musim kemarau panjang. Sebab, berkaca pada bulan Juni inflasi masih terjadi akibat komoditas cabai.
"Kalau dilihat dari kemarin, hanya itu saja. cabe merah cabe rawit. kalau beras aman, tidak menimbulkan (inflasi)," katanya.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Juni 2019 sebesar 0,55 persen. Inflasi ini didorong oleh kenaikan harga sejumlah komoditas. Adapun untuk infalsi tahun kalender yaitu Januari-Juni 2019 mencapai 2,05 persen, sedangkan inflasi tahun kalender sebesar 3,28 persen.
"Adanya kenaikan dari hasil pemantauan di 82 kota di bulan Juni 2019 terjadi inflasi 0,55 persen," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kementan Siapkan Strategi Hadapi Musim Kemarau
Kementerian Pertanian (Kementan) telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menghadapi dan memitigasi dampak musim kemarau tahun ini. Salah satunya lewat varietas tanaman pangan tahan kering.
Sebagaimana diketahui, informasi peringatan dini BMKG menyatakan tahun ini berpotensi kemarau ekstrem sampai dengan bulan September, dan puncaknya terjadi pada bulan Agustus. Wilayah yang terancam terdampak kekeringan terutama di Pulau Jawa, Bali, NTB dan NTT.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun) Kementan, Fadjry Djufry mengatakan, beberapa bibit tanaman tahan kering yang sudah dihasil Kementan meliputi varietas beras, kedelai dan jagung.
"Kita menyiapkan varietas unggul baru. Kita sudah punya padi inpara, inbrida padi lahan rawa, untuk lahan-lahan rawa," kata dia, di Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (8/7).
Varietas-varietas padi ini, jelas dia, sudah berkembang di beberapa lokasi, seperti Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan. "Inpara 2, 3, 4, dan 5. Kita punya inpago, inbrida padi gogo untuk lahan-lahan padi gogo. Semua lahan-lahan kering 2 minggu padi bisa adaptasi," jelasnya.
"Kita sudah petakan wilayah mana saja yg dapat ditanami padi gogo, termasuk daerah-daerah yang ketersediaan airnya cukup dan bisa dioptimalkan," kata dia.
Sementara untuk wilayah Pantai Utara (Pantura), Kementan akan mendorong penanaman varietas kedelai dan jagung tahan kering.
"Kita punya varietas dering, kedelai tahan kering. Kita juga punya jagung tahan kering. Tentunya kita bisa perkenalkan ke petani. Kita tanam padi gogo, jagung tahan kering, dan kedelai tahan kering," ungkapnya.
"Harapan kita semua lahan yang potensi airnya masih cukup akan kita tanami. Asumsi petani air melimpah tanam padi. Sekarang yang penting cukup untuk kebutuhan air untuk kedelai dan jagung. Selama masih ada air bisa kita tanami," tandasnya.
Advertisement
Waspadai Perubahan Iklim, Kementan Terapkan TOT untuk Petugas dan Petani
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) mewaspadai Perubahan Iklim. Maka dari itu perlu kemampuan adaptasi dan pengelolaan dari pelaku utama (petani) yang semakin meningkat.
Karenanya, Direktorat Irigasi Pertanian, Ditjen PSP Kementan melakukan Training of Trainer (TOT) Peningkatan Kapasitas Petugas dan Petani dalam Adaptasi Perubahan Iklim di Tingkat Usahatani. Kegiatan digelar di Balai Besar Pelatihan Pertanian, Lembang, 24-28 Juni 2019.
Kegiatan tersebut diikuti oleh peserta berjumlah 58 orang berasal dari 8 Provinsi dan 25 Kabupaten. Dengan narasumber berjumlah 6(enam) orang berasal dari Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian, hingga Field Indonesia.
"Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan petani tentang perubahan iklim serta meningkatkan pemanfaatan dibangunnya embung pertanian dalam hal ini dapat berupa embung/dam parit/ long storage dalam upaya adaptasi dan antisipasi perubahan iklim di tingkat usaha tani pada saat musim kemarau," beber Direktur Irigasi Pertanian, Rahmanto.
Menurut Rahmanto, perubahan iklim secara langsung akan berpengaruh terhadap capaian ketahanan pangan nasional.
"Pengaruh yang sangat dirasakan mulai dari infrastruktur pendukung pertanian seperti pada sumber daya lahan dan air, infrastruktur jaringan irigasi, hingga sistem produksi melalui produktifitas, luas tanam dan panen," tuturnya.
Kemarau Ekstrem, 9.940 Hektare Sawah di Pulau Jawa Gagal Panen
Informasi peringatan dini BMKG menyatakan tahun ini berpotensi kemarau ekstrem sampai dengan bulan September, dan puncaknya terjadi pada bulan Agustus. Wilayah yang terancam terdampak kekeringan terutama di Pulau Jawa, Bali, NTB dan NTT.
Menurut petugas Pengamat OPT di lapangan, secara umum kemarau ekstrem ini akan berdampak kepada varietas yang tidak toleran terhadap kekeringan seperti Ciherang, IR 64 dan Mekongga. Sementara untuk varietas seperti Situbagendit relatif aman dari dampak kekeringan.
Minimnya penampung air di sekitar lahan pertanaman juga menyebabkan air tidak tertampung optimal pada saat curah hujan tinggi sehingga tidak dapat dimanfaatkan saat musim kemarau.
Merespons hal tersebut, Kementerian Pertanian (Kementan) melaksanakan rapat koordinasi lintas sektoral dengan Dinas Pertanian Kabupaten, Dinas PU Kabupaten serta Kodim di wilayah terdampak kekeringan guna melakukan mitigasi dan adaptasi kekeringan.
Direktur Jenderal (Dirjen) Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Sumardjo Gatot Irianto mengatakan, berbeda dari waktu sebelumnya, kali ini pihaknya tidak saja memerhatikan daerah yang mengalami kekeringan, melainkan juga daerah yang berpotensi terdampak kekeringan.
"Kalau selama ini kekeringan ini yang dipelototi hanya daerah kekeringan saja kali ini ada dua kata kunci yang kita perkenalkan yang namanya mitigasi, artinya mengurangi risiko daerah yang terdampak kekeringan terutama yang curah hujannya kurang," kata dia, di Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (8/7/2019).
"Tapi ada juga adaptasi kekeringan jadi di daerah rawa yang airnya justru surut ini untuk membuat surplusnya makin besar," imbuhnya.
Dia pun berharap tiap-tiap daerah menentukan Rencana aksi setiap kabupaten/kecamatan sehingga semua unsur terkait bisa langsung aksi operasional di lapangan untuk penanganan pertanaman terdampak kekeringan baik yang sudah puso dan yang belum puso maupun pengamanan standing crop.
"Jadi siang ini kami harapkan workshop per kabupaten, sudah keluar Rencana tindak lanjut jadi bukan seperti pasar malam, pertemuan, arahan langsung pulang. kami ingin membuat rencana tindak lanjut mitigasi kekeringan di tiap kabupaten dengan point of action-nya," tegas dia.
Advertisement