DPR Peringatkan Pemerintah Soal Penggunaan Dana Perkebunan Sawit

DPR khawatir penggunaan dana perkebunan kelapa sawit untuk mensubidi penggunaan biodiesel akan menjadi masalah dikemudian hari

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 11 Jul 2019, 15:01 WIB
Sampel biodiesel B0, B20, B30, dan B100 dipamerkan saat uji jalan Penggunaan Bahan Bakar B30 untuk kendaraan bermesin diesel di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (13/6). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta DPR khawatir penggunaan dana perkebunan kelapa sawit untuk mensubidi penggunaan biodiesel akan menjadi masalah dikemudian hari. Sebab tidak ada dasar Undang-Undang yang mengarahkan dana tersebut untuk sektor energi.

Wakil Ketua Komisi II Herman ‎Khaeron mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 309 Tahun 2014 tentang perkebunan, menyebutkan penggunaan dana perkebunan hanya untuk meningkatkan produktifitas perkebunan, bukan untuk pengembangan energi.

"Karena dalam Undang-Undang perkebunan untuk meningkatkan produktifitas perkebunan‎," kata Herman, dalam sebuah diskusi, di Kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (11/7/2019).

Herman menyambut baik program pemerintah, mengenai penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) dalam campuran ‎ Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebab dapat mengurangi impor minyak yang saat ini menjadi beban pemerintah.

Namun menurutnya, perlu adanya payung hukum berupa Undang-Undang yang mengatur, yaitu Undang-Undang EBT.

Oleh sebab itu, dia mengusulkan, dalam Undang-Undang EBT‎ dapat dimasukan klausul penggunaan dana perkebunan untuk pengembangan EBT, melalui pencampuran BBN dengan BBM.

"Kalau ini disinergikan dengan METI dan entitas sawit rasanya sederhana, tapi nyatanya tidak sederhana juga karena EBT belum memiliki payung hukum yang memadai, karena ini bergantung pada peraturan perundangan, " tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Wujudkan Ketahanan Energi Nasional, Biodiesel B100 Bisa Jadi Andalan

Peluncuran perluasan penerapan Biodiesel 20 persen (Foto:Liputan6.com/Ilyas I)

Salah satu alasan pemanfaatan olahan sawit sebagai pengganti bahan bakar fosil yang kian menipis cadangannya, dengan penggunaan bahan bakar terbarukan berbahan Crude Palm Oil (CPO). Bahan bakar tersebut melimpah dan berpotensi mewujudkan ketahanan energi nasional.

Ketua Umum Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia (PERTETA) yang juga Dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, Desrial mengatakan, saat ini Kementerian Pertanian memiliki teknologi yang bisa memproduksi biodiesel 100 persen dari CPO (Biodiesel B100). Teknologi ini menurut Desrial menjadi jawaban atas semakin menipisnya cadangan bahan bakar fosil.

"Sejak 2004 kecenderungan bahan bakan fosil makin menipis, harganya makin mahal. Saat ini, antara produksi bahan bakar fosil kita dengan impor rasionya makin tipis. Ini menjadi sesuatu yang mengerikan bagi masa depan Indonesia jika terus bergantung di dalamnya," ucap salah satu peneliti biofuel di Kementerian Pertanian ini pada Forum Tematik Bakohumas di kawasan Lido, Bogor, Kamis (4/7).

Berdasarkan data yang dimiliki, Desrial menjelaskan, luasan lahan perkebunan sawit di Indonesia mencapai 14,03 juta ha dengan produksi mencapai 41,67 juta ton. Sementara konsumsi solar dalam negeri mencapai 25 ribu ton, setengahnya dipenuhi dari impor.

Jika menerapkan penggunaan B100 sebagai pengganti solar, hanya membutuhkan 15 persen dari ketersediaan CPO.

"Dari sisi sustainability-nya tidak bermasalah. Meski tidak ada penambahanl luas lahan sawit, ketersedian bahan bakunya 20 sampai 30 tahun lagi masih cukup. Paling hanya mengurangi kuota ekspor, dari 75 persen menjadi sekitar 60 persen," imbuhnya.

 


Memicu Kenaikan Harga CPO

Pemerintah ingin menegakkan peraturan lebih ketat agar industri melaksanakan amanat tersebut.

Penurunan volume ekspor juga berpeluang untuk menaikkan harga CPO di pasar dunia. Di sisi lain, penyerapan sawit dalam negeri juga berdampak langsung pada peningkatan pendapatan petani sawit.

Sebagai contoh, tambah Desrial, kebijakan Public Service Obligation (PSO) yang mewajibkan Pertamina menggunakan campuran 20 persen minyak nabati pada solar atau B20, terjadi peningkatan serapan dan harga sawit di tingkat petani. Harga Tandan Buah Segar (TDS) meningkat dari Rp850/kg menjadi Rp1.850/kg.

Di sisi pengguna, pemanfaatan Biodiesel B100 juga bisa meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar. Berdasarkan ujicoba pada kendaraan dinas di Kementan, 1 liter B100 bisa menempuh jarak hingga 13,1 km, lebih efisien dibanding penggunan solar yang hanya bisa mencapai jarak 9 km.

Selain itu, B100 yang memiliki kualitas setara dengan Perta dex ini bisa dijual dengan harga lebih murah. "Harganya bisa dihitung dari harga CPO ditambah 100 US dollar/ton plus biaya transportasi. Harga jualnya kalau dihitung-hitung sekitar 7-8 ribu," ucapnya di hadapan lebih dari 100 peserta Forum Tematik Bakohumas dari 48 Kementerian dan lembaga.

Teknologi Biodiesel B100 yang dihasilkan Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) Badan Litbang Kementan ini menjadi tema utama bahasan kegiatan Bakohumas yang diselenggarakan Biro Humas dan Informasi Publik Kementan. Selain berdiskusi dengan para peneliti, para peserta juga mengunjungi fasilitas penelitian Biodiesel B100 di Sukabumi, Jawa Barat.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya