Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan mengakui, saat ini sulit untuk membangun mal di Jakarta. Sebab ada sejumlah tantangan yang dihadapi pelaku usaha.
Tantangan pertama berasal dari sisi peraturan. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Perpasaran Swasta di DKI Jakarta, diakui Ridwan merupakan tantangan bagi dunia usaha.
"Buat Jakarta agak berat kita bangun. Karena ada Perda nomor 2. Iya yang 20 persen. Jadi mal itu sudah impossible lah dibangun di Jakarta. (Di Jakarta?) Sementara ini begitu," kata dia, saat ditemui, di sela-sela peluncuran Indonesia Great Sale, di Jakarta, Kamis (11/7).
Baca Juga
Advertisement
Sebagai informasi, peraturan itu menyatakan mal harus memberikan ruang sebesar 20 persen untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan PKL.
"Sebab terlalu banyak, pajak udah bayar, pajak ini, ini, terus apalagi ada kewajiban itu. Kita lagi negosiasi lah bagaimana baiknya supaya bisa berkembang. Kalau tidak kan mati semua. Persyaratan kan berat banget," ungkapnya.
"Perda No 2 kan 20 persen untuk UMKM kan. Kan itu enggak semua cocok kan. Bagaimana satu mesti bayar, satu gratis," jelas dia.
Saat ini, pihaknya tengah membahas peraturan tersebut dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta. "Jadi dalam rundingan. Kita support UMKM 100 persen, tapi caranya tolong dong, kita kerja sama," ujarnya.
Selain itu, tantangan yang lain terkait dengan biaya pembangunan yang tinggi dengan jangka waktu balik modal yang cukup lama. Guna menghadapi tantangan ini, pengembangan tidak lagi membangun mal sebagai fasilitas yang berdiri sendiri.
"Mal tetap dibutuhkan. Bahkan Jakarta kan perlu. Kalau mal berdiri sendiri udah nggak akan ada yang mau. Pasti dia ada apartemen ada hotelnya," ujar dia.
"Kenapa? Karena break even pointnya panjang banget. itu 12-an tahun kalau terlalu banyak makanan lebih panjang lagi bisa 15 tahun. Sebab biaya pembangunan jadi lebih besar butuh ex-house nya, AC mesti lebih besar," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Daya Beli Masyarakat Tak Turun, Hanya Mulai Pilih-Pilih
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan membantah pernyataan yang menyebut adanya penurunan daya beli masyarakat. Disebut-sebut, menurunnya daya beli tersebut kemudian berdampak pada turunnya bisnis pusat perbelanjaan.
"Saya kira daya beli masyarakat tidak turun. Kalau kita bilang turun, misalnya toko-toko jual kaos aja Rp 4 juta, masih laku kok dia," ujar dia saat ditemui di Jakarta, Kamis (11/7/2019).
Menurut dia, yang saat ini terjadi adalah masyarakat semakin teliti dalam menghabiskan uangnya. Mereka membeli barang-barang yang betul-betul sesuai dengan keinginan.
"Sebenarnya sekarang bukannya (daya beli masyarakat) turun. Dia milih. Lebih bijak menggunakan uangnya. Dia mau pilih apa sih yang dia perlu banget. Apa yang menarik," ungkapnya.
Advertisement
Dituntut Berinovasi
Karena itu, kata dia, setiap pelaku bisnis harus cerdas-cerdas dalam mengembangkan produk dan mendesain gerainya. Sebab, jika tidak, ia akan kehilangan pembeli.
"Toko fashion yang biasa-biasa saja penampilannya itu enggak mungkin laku. Misalnya busana muslim. Sekarang lagi naik, kan? Hijab juga naik. Pertanyaannya apakah semua beli hijab tertentu. Tidak, kan. Makin lama hijab makin bagus, desainnya makin unik. Ujung-ujungnya orang akan pilih yang unik banget," kata dia.
"Kalau orang bisa ikuti tren pasti dia laku. Kalau fashion dari zaman dia sukses banget di tahun 2.000-an tidak berubah sampai sekarang, siap-siap tutup," ujar Ridwan.