Patimban Harus Libatkan BUMN untuk Jamin Konektivitas 

Sejumlah pihak menanggapi wacana tentang tertutupnya pintu bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengajukan diri sebagai operator Pelabuhan Patimban.

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 11 Jul 2019, 18:00 WIB
Sumber Foto: Merdeka.com/arie basuki

Liputan6.com, Surabaya Sejumlah pihak menanggapi wacana tentang tertutupnya pintu bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengajukan diri sebagai operator Pelabuhan Patimban. Salah satunya datang dari akademisi pasca-sarjana Departemen Teknik Sistem Perkapalan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS Surabaya), Raja Oloan Saut Gurning.

“Saya rasa ada yang perlu diluruskan (terkait kabar tersebut), tentunya Pemerintah sudah paham dan tidak mungkin mengabaikan potensi besar BUMN untuk turut berkontribusi di Pelabuhan Patimban. Terutama jaringan bisnis nasional dan internasional BUMN-BUMN yang berpotensi menjadi sumber inputan kargo sekaligus pengguna jasa. Atau menjadi sumber dan garansi jejaring kargo serta layanan bagi Pelabuhan Patimban ke depan,” ujarnya dari Surabaya, Senin (8/7). 

Ia melanjutkan, bila pun operator pelabuhan akan dijalankan sepenuhnya oleh swasta nasional maupun asing, hal tersebut diperkirakan hanya sebatas kepemilikan pengelolaan operasional pelabuhannya saja. Namun dari sisi bisnis, tentunya siapa pun operatornya tidak akan membatasi pasar, baik oleh swasta ataupun BUMN.

Jaringan BUMN beserta anak usaha, afiliasi, serta mitra-mitra bisnisnya merupakan pasar yang besar dan mapan yang berada di sekitar Pelabuhan Patimban. Mereka sudah lama menjalankan operasi bisnisnya di pelabuhan- pelabuhan di sekitarnya. Jadi potensi kerja sama dengan operator atau entitas kepelabuhanan yang berafiliasi dengan BUMN juga perlu dibuka guna memberikan kepastian usaha dari operator swasta Patimban mendatang. 

“Jadi justru dengan menjalankan bisnis yang terbuka dan melakukan kolaborasi operasional, maka garansi kargo akan menjadi faktor penting dalam pengembangan Pelabuhan Patimban ke depannya. Karena bisnis pelabuhan selalu tergantung jaminan kuantitas serta kelancaran arus barang. Bahkan di era modern seperti sekarang ini adalah eranya sinergi untuk value creation dan berbagi data untuk pertumbuhan bersama,” ungkapnya. 

Lebih lanjut lulusan World Maritime University, Swedia, tersebut menjelaskan bahwa pelabuhan sebesar Patimban sebaiknya mengembangkan berbagai skenario model bisnis yang melakukan integrasi operasional, komersial dan layanannya. Kepemilikan konsesi mungkin preferensi ke swasta, karena orientasi utamanya terkait kepemilikan. Namun, dalam konteks bisnis jasa seharusnya tidak tertutup hanya untuk swasta. Namun terbuka untuk berbagai pihak. Termasuk pada usaha membangun jaringan rantai pasok dengan simpul-simpul logistik di baik untuk hinterland (kawasan di sekitarnya) dan foreland (wilayah antar-pulau) lewat berbagai rute pelayaran kapal yang mendukung aliran domestik dan internasional dari Patimban di periode mendatang. 

“Intinya konektivitas. Patimban bisa difungsikan sebagai pelabuhan pengumpul yang mengonsolidasikan pelabuhan-pelabuhan di sekitarnya. Selain itu Patimban juga bisa dikoneksikan dengan jejaring terminal sekitarnya, misalnya berbagai terminal di Jawa Tengah atau Terminal Manyar yang menjadi pelabuhan terintegrasi kawasan industri, JIIPE. JIIPE di Jawa Timur memiliki kawasan industri seluas dua ribuan hektar. Patimban direncanakan juga akan terintegrasi dengan kawasan industri seluas dua ribuan hektar di Subang dan Majalengka,” ujarnya. 

“Keduanya akan memegang fungsi logistik penting sebagai jembatan logistik antara Indonesia dengan rute pelayaran internasional, serta antara integrasi logistik antara kawasan barat dan timur Indonesia. Semoga dengan kerja sama yang baik antara keduanya dan pelabuhan-pelabuhan lain di Indonesia, biaya logistik nasional dapat semakin efisien dan daya saing produk nasional juga dapat meningkat di pasar internasional,” pungkasnya. 

 

(*)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya