8 Kepala Daerah di Riau yang Terjerat Rayuan Setan Korupsi

Gubernur Kepuluan Riau Nurdin Basirun karena diduga terima gratifikasi. Tertangkapnya kepala daerah tetangga dari Provinsi Riau itu mengingatkan hattrick KPK terhadap sejumlah gubernur di Riau.

oleh M Syukur diperbarui 13 Jul 2019, 15:00 WIB
Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun digiring petugas setelah aksi tangkap tangan KPK. (Liputan6.com)

Liputan6.com, Riau - Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun ditetapkan tersangka oleh KPK setelah tertangkap tangan menerima gratifikasi. Dugaan suap itu terkait izin prinsip dan lokasi pemanfaatan laut, proyek reklamasi di wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil di provinsi tetangga Riau itu.

Terjeratnya Nurdin Basirun menambah daftar panjang kepala daerah di daratan dan kepulauan Melayu terjerat pusaran korupsi. Riau dan Kepulauan Riau masih satu rumpun karena medio 2000 keduanya masih bersatu sebelum adanya pemekeran yang diatur Undang-Undang Otonomi Daerah.

Jauh sebelum Kepuluan Riau masuk bidikan KPK, sang kakak (Riau) terlebih dahulu menjadi sorotan dan masuk lima besar daerah supervisi lembaga anti rasuah itu hingga kini.

Status ini wajar karena KPK pernah hattrick menahan Gubernur Riau, mulai dari Saleh Yazid, Rusli Zainal dan Annas Maamun. Beruntung setelah itu, penerus berikutnya (Arsyadjuliandi Rachman dan Syamsuar) mulai berhati-hati meskipun tudingan korupsi selalu dihembuskan pihak lain.

Belakangan, Riau kembali disorot karena dua bupati, Zulkifli AS dan Amril Mukminin, ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi. Nama pertama merupakan Wali Kota Dumai dan nama kedua adalah Bupati Bengkalis. Keduanya masih menjabat hingga kini meski bolak-balik ke Jakarta diperiksa KPK.

Sebelum Zulkifli dan Amril, sejumlah nama bupati di Riau sudah masuk daftar pasien KPK dan sudah divonis bersalah. Mereka adalah Tengku Azmun Ja'far (Pelalawan), Arwin AS (Siak), Burhanuddin (Kampar) dan Suparman (Rokan Hulu).

Selain KPK, juga ada beberapa bupati di Riau tersangkut hukum karena korupsi yang ditangani kejaksaan ataupun kepolisan. Di antaranya, Ramlan Zas (Rokan Hulu), Herliyan Saleh (Bengkalis) dan Thamsir Rachman (Indragiri Hulu).

Riau pernah berkomitmen bebas dari korupsi dan mendirikan sebuah tugu di Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tunjuk Ajar, Jalan Ahmad Yani. Hanya saja, pembangunan tugu serta RTH itu berujung di meja hijau karena sarat korupsi.

Berikut kasus korupsi yang menjerat kepada daerah di Riau berikut nama-namanya:


1. Saleh Djasit Terjerat Kasus Korupsi Damkar

Gubernur Riau pertama berurusan dengan KPK adalah Saleh Djasit. Gubernur periode 1999-2003 itu ditahan KPK karena terlibat kasus alat pemadam kebakaran (damkar) senilai Rp 15,2 miliar.

Dalam kasus itu, Saleh divonis 4 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta, subsider 6 bulan penjara.

Pria kelahiran Pujud, 13 November 1943 itu terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP.

Dalam putusan hakim disebutkan bahwa Saleh terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang bertujuan untuk menguntungkan pihak lain, yaitu PT Istana Saranaraya dan sejumlah orang.

Majelis hakim juga menuturkan tidak adanya rasa bersalah setelah melakukan korupsi merupakan hal yang memberatkan bagi Saleh.


2. Rusli Zainal Terjerat Korupsi PON dan Kehutanan

Gubernur Riau Rusli Zainal ketika jalani sidang korupsi di Pengadilan Negeri Pekanbaru. (Liputan6.com/M Syukur)

Sesudah Saleh, Gubernur Riau 2 periode (2003-2008 dan 2008-2013) Rusli Zainal juga berurusan dengan KPK. Ia tersangkut dugaan korupsi PON dan izin kehutanan di Pelalawan, Riau.

Dalam kasus ini, Rusli divonis 14 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Sewaktu banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru, hukumannya dikurangi 2 tahun.

Rusli dinilai secara sah dan meyakinkan oleh majelis hakim melanggar 3 dakwaan KPK. Dalam kasus kehutanan, Rusli dinilai terbukti melanggar Pasal 2 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP juncto Pasal 56 ayat 1 KUHP.

Rusli diinilai melanggar hukum karena mengesahkan BKT-UPHHKHT. Pengesahan itu menyebabkan penebangan hutan alam dan merugikan negara senilai Rp265 miliar.

Dalam kasus suap PON, Rusli Zainal dinilai terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Rusli juga terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Menurut hakim saat itu, Bachtiar, Rusli terbukti memerintah pemberian suap ke anggota pansus Lapangan Menembak PON Riau senilai Rp900 juta. Ia juga dinilai memerintahkan suap Rp9 miliar ke Kahar Muzakkir dan Setya Novanto, anggota DPR RI.

Perintah penyuapan itu dipercayakan Rusli ke mantan Kadispora Riau Lukman Abbas.

Terakhir, Rusli dinilai terbukti menerima uang Rp500 juta dari PT Adhi Karya, sebagai pemulus penambahan anggaran PON dari pusat senilai Rp290 miliar.


3. Annas Maamun Tersangkut Kasus Alih Fungsi Lahan

Berakhirnya masa jabatan Rusli dan diselenggarakannya Pilkada sempat membuat harapan terpilihnya pemimpin baru yang bebas korupsi. Annas Maamun kemudian terpilih setelah melepas jabatannya sebagai Bupati Rokan Hilir.

Hanya saja setelah beberapa bulan dilantik, Annas, ditangkap KPK di kawasan Cibubur karena menerima sejumlah uang dari pengusaha terkait alih fungsi lahan.

Kasus ini kemudian mengungkap korupsi lainnya yang dilakukan pria dipanggil Atuk itu.

Adalah Riki Hariansyah, anggota DPRD Riau 2009-2014 datang ke KPK dan menceritakan sejumlah rekannya di dewan telah menerima janji Rp1,2 miliar dari Annas untuk membahas RAPBD-Perubahan 2014 dan RAPBD murni 2015.

Hingga kini, Annas masih berada di penjara Sukamiskin karena sudah divonis bersalah. Kondisi fisik yang sudah 70 tahun lebih membuatnya tak bisa dipindahkan ke Lapas di Riau karena selalu jatuh sakit ketika mendengar akan dibawa ke Pekanbaru.


4. Azmun Jaafar Terjerat Korupsi Izin Penggunaan Hutan

Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar. (Liputan6.com/M Syukur)

Tengku Azmun Jaafar dijerat KPK karena mengeluarkan izin penggarapan hutan ke sejumlah perusahaan kayu di Riau. Akibat izinya ini, pemegang izin dengan bebas membabat hutan dan diambil kayunya dengan alasa untuk pembersihan sebelum dibangun hutan tanaman industri.

Dalam kasus ini, Azmun Jaafar divonis 11 tahun penjara di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 16 September 2008. Ia dinilai bersalah menerbitkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman atau IUPHHK-HT, berakibat kerusakan hutan di Pelalawan.

Selain memvonis 11 tahun penjara, majelis hakim juga memerintahkan Azmun membayar denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp 12,367 miliar.

Setelah bebas dari penjara, Azmun kembali berurusan dengan hukum karena diduga terlibat korupsi pengadaan lahan untuk Perkantoran Bakti Praja. Hanya saja dalam kasus ini, Azmun divonis bebas oleh hakim.

Bebasnya Azmun tak tercapai setelah jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Diapun divonis bersalah dan sudah dieksekusi kejaksaan negeri setempat.


5. Arwin AS Terlibat Kasus Izin Usaha Penggunaan Hutan

Bupati Siak Arwin AS.

Hampir sama dengan Azmun, Arwin AS (Bupati Siak) diseret KPK karena juga mengeluarkan izin pengelolaan hutan alam untuk dijadikan hutan tanaman industri.

Arwin AS divonis pada Kamis, 22 Desember 2011, dengan hukuman 4 tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider 6 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru.

Selain itu, Arwin juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 800 juta lebih dan 2.000 Dolar AS. Uang pengganti paling lambat dibayar dalam rentang waktu satu bulan, bila tidak dibayar harta benda terdakwa disita untuk negara. Kalau tidak mencukupi terdakwa dihukum 10 bulan penjara.


6. Burhanudin Husin Korupsi Izin Usaha Penggunaan Hutan

Sementara Bupati Kampar periode 2005-2011, Burhanudin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus kehutanan saat dilakukan pengembangan untuk tersangka lainnya, Bupati Pelalawan, Tengku Azmun Jaafar dan Bupati Siak, Arwin AS.

Burhanuddin ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di sejumlah perusahaan, di Kabupaten Pelalawan dan Siak.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru, menjatuhkan vonis Burhanuddin Husein selama 2 tahun 6 bulan penjara dengan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan penjara.

Tak hanya tiga bupati tersebut yang berusuan dengan KPK. Masih ada Suparman (Bupati Rokan Hulu) yang saat ini menjalani sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru. Dia didakwa sebagai penerima suap atau janji dari kasus yang menjerat Annas Maamun.

Selain ketiga, masih ada beberapa bupati di Riau yang berurusan dengan penegak hukum lainnya‎ seperti kejaksaan dan kepolisian. Misalnya Ramlan Zas (Rohul) karena terlibat korupsi pengadaan genset Rp7,9 miliar, Herliyan Saleh (Bengkalis) karena terlibat Bansos Rp230 miliar dan penyertaan modal Rp300 miliar dan terakhir Raja Tamsir Rachman (Indragiri Hulu) karena terlibat korupsi APBD senilai Rp116 miliar.


7. Suparman Terlibat Gratifikasi APBD Riau

Bupati Rokan Hulu Suparman (kanan) ketika disidang di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. (Liputan6.com/M Syukur)

Suparman merupakan politisi Golkar dan pernah menjadi anggota DPRD Riau pada periode 2009-2014. Diapun terjerat korupsi setelah KPK mengendus adanya suap dalam pembahasan APBD Riau saat itu dengan gubernurnya Annas Maamun.

Dalam kasus ini, Suparman sempat bebas di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru. Keputusan ini baru pertama kali KPK kalah di pengadilan Riau.

Pria yang juga aktif di Perbakin ini sebelumnya dituntut 4 tahun penjara itu dinilai majelis hakim Rinaldi Trihandoko, tak terbukti menerima janji ataupun janji suap.

Adapun janji itu bernilai Rp1,2 miliar dari mantan Gubernur Riau Annas Maamun ketika Suparman masih menjadi anggota DPRD Riau periode 2009-2014.

"Membebaskan terdakwa (Suparman) dari segala tuntutan JPU dan dipulihkan haknya serta membebankan biaya perkara pada negara," tegas Rinaldi disertai ketukan palu, Pekanbaru, Kamis 23 Februari 2017.

Mendengar ini, Suparman terlihat meneteskan air mata. Sejurus kemudian bersujud syukur disaksikan JPU KPK Tri Anggoro Mukti, majelis hakim dan ratusan pendukungnya.

Ratusan pendukungnya yang merupakan warga Kabupaten Rokan Hulu ini berteriak histeris. Sebagian menangis haru, adapula yang meneriakkan takbir.

Vonis ini membuat Suparman kembali aktif menjadi bupati. Hanya saja, dia terpaksa mengundurkan diri setelah Mahkamah Agung memvonisnya bersalah.


8. Zulkifli AS Tersangka Suap DAK

Wali Kota Dumai Zulkifli AS. (Liputan6.com/M Syukur)

KPK menetapkan Wali Kota Dumai Zulkifli Adnan Singkah sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Kota Dumai, tahun anggaran 2018.

Selain dijerat dalam pasal suap, Zulkifli AS juga ditetapkan sebagai tersangka penerimaan gratifikasi.

"KPK menetapkan ZAS (Zulkifli Adnan Singkah, Wali Kota Dumai periode 2016-2021 ) sebagai tersangka pada dua perkara," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat siang, 3 Mei 2019.

Dalam kasus suap pengurusan DAK Dumai, Zulkifli diduga memberikan suap Rp550 juta kepada pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yaya Purnomo. Yaya telah divonis 6 tahun 6 bulan penjara dalam kasus pengurusan DAK ini.

Sedangkan terkait kasus gratifikasi, Zulkifli diduga menerima uang Rp50 juta dan fasilitas kamar hotel di Jakarta. KPK menduga penerimaan tersebut berkaitan dengan jabatan Zulkifli dan tidak dilaporkan oleh yang bersangkutan.

Pada kasus suap, Zulkifli disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Untuk perkara kedua, Zulkifli dijerat Pasal 12 B atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hingga kini Zulkifli belum ditahan.


9. Amril Mukminin Jadi Tersangka Suap Proyek Multiyears

Bupati Bengkalis Amril Mukminin usai diperiksa penyidik KPK di Pekanbaru. (Liputan6.com/M Syukur)

KPK menetapkan Bupati Bengkalis Amril Mukminin sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek multi years pembangunan jalan Duri-Sei Pakning, Kabupaten Bengkalis.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif kala itu menyampaikan, Amril diduga menerima suap dan gratifikasi proyek multiyears.

"Tersangka AMU, sebagai Bupati Bengkalis diduga menerima suap atau gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan terkait proyek tahun jamak Jalan Duri-Sei Pakning," tutur Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 16 Mei 2019.

Menurut Syarif, Amril Mukminin diduga menerima sekitar Rp2,5 miliar sebelum menjabat sebagai Bupati Bengkalis. Uang itu disinyalir untuk pelicin anggaran proyek peningkatan jalan Duri-Sei Pakning multi years tahun 2017-2019.

Amril kemudian kembali menerima Dollar Singapura dari PT CGA senilai Rp3,1 miliar saat telah menjabat sebagai Bupati Bengkalis. Uang tersebut diberikan sekitar Juni dan Juli 2017.

Totalnya, Amril Mukminin diduga telah menerima Rp5,6 miliar. Proyek pembangunan Jalan Duri-Sei Pakning sendiri merupakan bagian dari enam paket pekerjaan jalan di Kabupaten Bengkalis tahun 2012 dengan nilai anggaran Rp537,33 miliar.

Dalam perjalanannya, proyek pembangunan jalan itu sempat dimenangkan oleh PT Citra Gading Asritama (CGA)‎. Namun oleh Dinas PU Bengkalis dibatalkan karena PT CGA diisukan masuk dalam daftar hitam Bank Dunia.

PT CGA lantas menempuh jalur hukum ke Mahkamah Agung (MA) dan gugatan itu dikabulkan. Artinya, PT CGA kembali berhak melanjutkan proyek tersebut.

Atas perbuatannya, Amril disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau huruf b dan Pasal 12 B atau Pasal 11 atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya