Liputan6.com, Jakarta - Setahun pasca dikeluarkannya kebijakan penetapan tarif cukai pada produk tembakau alternatif yaitu rokok elektrik, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) memberikan apresiasi atas dukungan yang berkelanjutan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Ketua APVI, Aryo Andrianto, mengatakan DJBC telah menjalankan kebijakan dengan sangat baik sehingga berdampak positif pada pertumbuhan bisnis industri Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).
Baca Juga
Advertisement
Aryo juga menyatakan DJBC hingga saat ini konsisten memberantas peredaran rokok elektrikyang ilegal, terutama rokok elektrik. Konsistensi tersebut menciptakan iklim bisnis yang kondusif sehingga mendorong perkembangan industri.
“Kami optimis DJBC akan terus mempertahankan kinerja positif ini. Kami, pelaku usaha yang legal, siap mendukung DJBC demi mendorong pertumbuhan industri HPTL dan perekonomian negara,” ujar dia di Jakarta, Sabtu (13/7/2019).
Pada Juli 2018, penerapan cukai HPTL efektif berlaku mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam beleid tersebut, produk HPTL dikenakan tarif cukai sebesar 57 persen.
Dia menjelaskan, pada 2018, industri rokok elektrik mampu menyumbang cukai Rp 105,6 miliar. Untuk tahun ini, DJBC menargetkan penerimaan Rp 2 triliun.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Penurunan Tarif Cukai
Meskipun demikian, Aryo berharap pemerintah menurunkan tarif cukai HPTL karena tarif cukai saat ini dinilai terlalu tinggi. Hal ini dikhawatirkan bakal mengancam kelangsungan industri.
“Di kategori rokok saja, merek rokok baru dari perusahaan baru bisa dikenakan tarif yang lebih rendah. Karena itu, kami mohon pada pemerintah untuk memikirkan kembali besaran tarif cukai HPTL bagi industri baru ini, yang hampir 90 persen pelaku usahanya berasal dari UMKM,” kata Aryo.
Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga dinilai perlu mengubah sistem tarif cukai HPTL menjadi sistem nominal. Sistem tersebut akan memberikan kemudahan dari sisi administrasi, baik untuk pemerintah maupun pelaku usaha. Dengan sistem tarif cukai prosentase yang diterapkan saat ini, pemerintah akan kesulitan dalam pengawasan dan penghitungan cukai produk HPTL.
“Sistem nominal diberlakukan untuk menghindari adanya kecurangan atau penghindaran cukai. Melalui sistem cukai nominal, produk HPTL ilegal atau yang tidak membayar cukai juga bisa ditekan. Sebaiknya, perubahan sistem cukai justru diikuti dengan penurunan beban cukai agar industri baru ini mendapat kesempatan untuk bertumbuh,” tandas dia.
Advertisement
Industri Pengolahan Tembakau Alternatif Buka Peluang Ekonomi Baru
Keberadaan industri pengolahan tembakau bisa menjadi peluang ekonomi baru. Seperti pada industri produk tembakau alternatif di Bali. Salah satu jenis produk tembakau alternatif yang mengalami peningkatan pesat di Pulau Dewata adalah rokok elektrik atau vape.
Tingginya jumlah pengguna produk tembakau alternatif juga sejalan dengan perkembangan jumlah toko yang menjual rokok elektrik.
Wakil Sekretaris Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bali, IGN Indra Andhika mengaku mendukung keberadaan pelaku usaha produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan. Menurut dia, produk tembakau alternatif memiliki prospek yang besar.
"Sektor inovatif ini akan menjadi peluang usaha yang besar ke depan mengingat posisi Bali yang sangat strategis di industri pariwisata nasional," katanya seperti dikutip Antara.
Menurut data Asosiasi Vaporizer Bali (AVB), Denpasar merupakan kota dengan jumlah toko rokok elektrik terbanyak yang disusul Kabupaten Badung, Tabanan, Gianyar, Karangasem, Negara, dan Buleleng.
Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta turut mengapresiasi perkembangan industri produk tembakau alternatif. Menurut dia, dengan berkembangnya produk tembakau alternatif dapat terus berkembang serta membuka lapangan pekerjaan baru.
Industri produk tembakau alternatif juga mendorong peningkatan sektor pariwisata di Bali, khususnya di Badung, Bali.
Hal ini tidak terlepas karena ketertarikan wisatawan mancanegara dalam mengonsumsi produk tembakau alternatif, seperti rokok elektrik yang diproduksi oleh pengusaha lokal. Saat ini, jumlah penggunanya mencapai sekitar 60 ribu orang.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan telah menetapkan tarif cukai hasil tembakau untuk produk tembakau alternatif atau Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/PMK.010/2017. Peraturan tersebut telah ditetapkan dari 1 Juli 2018.
Tren Vape Dinilai Tak Pengaruhi Industri Rokok Tradisional
Direktur Utama PT Indonesian Tobacco Djonny Saksono mengatakan, perkembangan rokok elektrik (vape) yang saat ini tengah digandrungi anak muda tidak akan mempengaruhi bisnis rokok tradisional.
Dia menjelaskan, pertumbuhan industri vape didalam negeri hanya merupakan tren sesaat (jangka pendek). Sedangkan untuk jangka panjang, vape dinilai belum dapat menggantikan bisnis industri rokok linting di dalam negeri.
"Saya pribadi merasa kurang yakin kalau ini (vape) jadi tren jangka panjang. Misalnya kita dibilang jangan makan nasi banyak-banyak, kan kalau nggak makan nasi nggak kenyang. Mencari pengganti rokok tidak semudah itu," tuturnya di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
"Sekarang kandungan parfume vape belum banyak yang tahu bahayanya sampai dimana, karena itukan kimia. Untuk long term (bisnis) tidak berpengaruh," tambah dia.
Dijelaskannya, fokus Perseroan saat ini ialah melakukan penetrasi penjualan untuk produk Manna yakni produk andalan Perusahaan secara nasional.
"Kehadiran Manna berfungsi untuk merambah ke masyarakat yang memiliki selera berbeda. Jadi Perseroan akan memiliki berbagai varian yang dipasarkan untuk jangkau berbagai segmen pasar," kata dia.
Adapun Produk Manna hadir sejak tahun 2016 dan dipasarkan pertama kali di wilayah Pontianak, Manado, dan Gorontalo.
Advertisement