Liputan6.com, Hong Kong - Bentrokan kembali terjadi dalam lanjutan aksi unjuk rasa menolak RUU Ekstradisi di Hong Kong pada Minggu 14 Juli.
Kali ini, polisi anti huru hara terlibat bentrok dengan pengunjuk rasa di sebuah pusat perbelanjaan terkemuka di Hong Kong.
Dikutip dari Channel News Asia pada Senin (15/7/2019), polisi menggunakan semprotan merica dan pentungan untuk membubarkan kelompok-kelompok kecil pengunjuk rasa, yang dibaals dengan lemparan botol dan proyektil lainnya.
Bentrokan hari Minggu terjadi pada akhir unjuk rasa besar lainnya, di mana kali ini berpusat di Sha Tin, sebuah distrik yang terletak di area pemukiman utama di sekitar pelabuhan Hong Kong dan perbatasan dengan China daratan.
Baca Juga
Advertisement
Kekerasan pecah dalam waktu singkat setelah rapat umum di sore hari, ketika para pengunjuk rasa merebut persimpangan dan membangun barikade, menyebabkan bentrokan selama berjam-jam dengan polisi anti huru hara.
Tetapi bentrokan terburuk justru terjadi pada malam harinya di dalam sebuah pusat perbelanjaan, tempat di mana ratusan demonstran melarikan diri setelah polisi bergerak ke barikade dan kemudian menyerbu mereka, lapor kantor berita AFP.
Begitu masuk, kekacauan meletus ketika polisi mendapati diri mereka dilempari dari atas oleh para demonstran.
Setidaknya satu petugas terlihat pingsan dan ada darah di lantai mal.
Polisi dengan perisai dan pentungan dikerahkan ke lantai yang lebih tinggi dan melakukan beberapa penangkapan di sebuah gedung yang dipenuhi dengan toko-toko fashion mewah.
Tenaga medis sukarelawan juga terlihat memberikan bantuan kepada beberapa demonstran yang pingsan.
Pada pukul 10 malam waktu setempat, sebagian besar pengunjuk rasa telah meninggalkan daerah itu.
Aksi Protes Lebih dari Sebulan Terakhir
Hong Kong telah diguncang oleh protes besar selama lebih dari sebulan, yang sebagian besar berlangsung damai, di mana dipicu oleh RUU Ekstradisi yang kemungkinan akan membawa tersangka untuk diadili secara sepihak di China daratan.
Bulan lalu, gedung Parlemen Hong Kong dihancurkan oleh ratusan pengunjuk rasa yang dipimpin oleh barisan oemuda, dalam adegan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kini, RUU Ekstradisi telah ditangguhkan, tetapi itu tidak banyak membantu memadamkan kemarahan publik yang telah berkembang menjadi gerakan untuk menuntut reformasi demokratis, hak pilih universal, dan penghentian upaya pembungkaman suara di Hong Kong.
Para pengunjuk rasa juga menuntut RUU itu dihapuskan seluruhnya, serta mendesak penyelidikan independen pada polisi atas penggunaan gas air mata dan peluru karet, amnesti bagi mereka yang ditangkap, dan meminta kepala eksekutif Hong Kong Carrie Lam mundur.
Advertisement
Perlawanan Terhadap Beijing
Banyak demonstran memandang aksi unjuk rasa sebagai bagian dari perjuangan eksistensial melawan Beijing yang semakin mengikat.
"Ini adalah saat yang berbahaya. Warga Hong Kong dapat memilih untuk mati atau mereka ingin tetap hidup. Kami berada di ujung tanduk, tetapi untungnya kami belum mati," kata JoJo So, seorang wanita berusia lima puluhan yang terlibat dalam aksi protes terakhir.
Sementara itu, pemerintah pusat di Beijing telah memberikan dukungan penuh di belakang Lam, menyerukan polisi Hong Kong untuk mengejar siapa pun yang terlibat dalam penyerbuan parlemen dan bentrokan lainnya.
Pemerintah Hong Kong pada Minggu malam mengatakan pihaknya "sangat mengutuk tindakan ilegal" oleh para pemrotes, mengatakan jalan-jalan diblokir dan para petugas diserang.
Di bawah kesepakatan pengembalian koloni pada tahun 1997 dengan Inggris, China berjanji untuk mengizinkan Hong Kong mempertahankan kebebasan kunci seperti peradilan independen dan hak bersuara, selama 50 tahun setelahnya.
Tetapi banyak yang mengatakan bahwa kesepakatan itu telah dikecualikan, mengutip hilangnya para penjual buku anti-China, diskualifikasi politikus terkemuka, dan memenjarakan pemimpin protes demokrasi.
Pihak berwenang juga menolak seruan agar pemimpin Hong Kong dipilih langsung oleh rakyat.