Surat Baiq Nuril untuk Presiden Jokowi

Baiq Nuril mengaku tidak ada niatan sama sekali untuk menyebarkan rekaman tersebut.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Jul 2019, 13:45 WIB
Terpidana kasus ITE Baiq Nuril membacakan surat untuk Presiden Joko Widodo, Senin (15/7/2019). (Merdeka.com/ Intan Umbari Prihatin)

Liputan6.com, Jakarta - Terpidana kasus Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Baiq Nuril memberikan surat kepada Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko untuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Dua lembar kertas yang ditandatangani pada Senin 15 Juli 2019 dan bermaterai itu, berisi harapan agar Jokowi mengabulkan amnesti secepatnya. Dalam lembar pertama, dia mengucapkan terima kasih kepada masyarakat atas dukungan kepadanya yang tidak henti mengalir.

"Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih atas dukungan yang terus mengalir, yang sampai saat ini tidak pernah berhenti, dan ini saya bacakan surat, surat seorang anak kepada bapak, Bismillah," kata Baiq membacakan surat di Kantor Staf Presiden, Jalan Merdeka Utara, Senin (15/7/2019).

Baiq Nuril memperkenalkan diri, sebagai rakyat Indonesia yang hanya lulusan SMA. Sebelum dijerat kasus, dia bekerja sebagai honorer di SMA, Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Ibu dari tiga orang anak, dan memiliki seorang suami yang sebelumnya bekerja di Gili Trawangan. Namun saat terjerat kasus, suaminya terpaksa kehilangan pekerjaan. Lantaran harus mengurus tiga orang anak.

"Akhirnya mengalami nasib yang sama, kehilangan pekerjaan," cerita Baiq sambil meneteskan air mata.

Baiq pun menceritakan rentetan mengapa merekam percakapan mesum atasanya atau kepala sekolahnya saat itu H Muslim. Hingga mengalami teror berulang kali. Mulai dari telepon hingga pelakuan langsung.

"Yang Mulia Bapak Presiden, kasus yang menimpa saya terjadi mulai dari tahun 2013. Teror yang dilakukan oleh atasan saya terjadi berulang kali, bukan hanya melalui pembicaraan telepon, tapi juga saat perjumpaan langsung," ungkap Baiq.

Dia mengakui tidak ada niatan sama sekali untuk menyebarkan rekaman tersebut. Percapakan atasannya tersebut hanya diceritakan satu orang temannya untuk diberikan ke DPRD Mataram. Tindakannya semata-mata untuk mempertahankan pekerjaannya. Agar tetap membantu suaminya menghidupi ketiga anaknya.

"Bapak, barangkali, barangkali ada satu kesalahan yang saya lakukan. Karena saya merasa sangat tertekan saat itu, kesalahan saya (jika itu dianggap suatu kesalahan) adalah karena saya menceritakan rekaman tersebut pada satu orang teman saya," ungkap Baiq Nuril.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Pemeriksaan Selama 2 Tahun

Surat terpidana kasus ITE Baiq Nuril kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Senin (15/7/2019). (Merdeka.com/ Intan Umbari Prihatin)

Air mata Baiq menetes kembali ketika menceritakan proses pemeriksaan yang berjalan dua tahun di Polres Mataram. Sampai akhirnya, pada 27 Maret 2017 dia ditahan.

"Saya pikir hanya akan jalani pemeriksaan rutin. Saya membawa anak saya yang berumur lima tahun. Ternyata, saat itu saya langsung ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan. Saya ditahan sebelum saya menjalani proses sidang di PN Mataram," kata Baiq.

Tidak sampai itu, Baiq pun terus meneteskan air mata ketika menceritakan sidang perdananya di PN Mataram pada 4 Mei 2017 di PN Mataram. Dalam surat dakwaan yang disampaikan Jaksa, diduga telah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 ayat (1), dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. .

"Jaksa Penuntut, Ibu Ida Ayu Camuti Dewi, menuntut saya enam tahun penjara dan harus membayar denda sebesar 500 juta rupiah," ujar Baiq sambil terus meneteskan air mata.

Kemudian, dia juga memaparkan saksi ahli yang dihadirkan, pakar ITE, Teguh Afriyadi yang menegaskan bahwa tindakannya tidak bersalah. Tidak hanya itu, dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Republik Indonesia, Sri Nurherwati, menyatakan dan mengungkapkan bahwa Baiq sebenarnya adalah korban kekerasan seksual.

Sampai akhirnya, pada 26 Juli 2017, Majelis Hakim PN Mataram diketuai oleh Bapak Albertus Usada dan Hakim Anggota, Ranto Indra Karta dan Ferdinand M. Leander, memutuskan bahwa Baiq tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Penuntut Umum.

Namun putusan tersebut belum selesai,Majelis Hakim PN Mataram tersebut dibatalkan pada tanggal 26 September 2018 oleh Mahkamah Agung yang menyatakan mengabulkan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Kemudia, pada tanggal 4 Januari 2019, melalui kuasa hukumnya memutuskan untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Tanggal 4 Juli 2019, Mahkamah Agung menyatakan menolak PK yang diajukan.

"Tapi, saya tidak akan pernah menyerah. Sekali lagi bagi saya perjuangan ini adalah perjuangan untuk menegakan harkat martabat kemanusiaan di negara tercinta ini. Saya selalu yakin kebenaran pasti akan terungkap dan keadilan pasti akan terjadi," tegas Baiq.

 


Tak Menyerah

Terpidana kasus pelanggaran UU ITE Baiq Nuril menangis saat berbicara dalam diskusi Dialektika Demokarasi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2019). Baiq mengaku rindu dengan anak-anaknya yang sudah berpisah selama tiga bulan. (Liputan6.com/JohanTallo)

Dengan proses yang dialami selama 6 tahun, Baiq tidak akan pernah menyerah. Dia menjelaskan pengalaman saat ini menjadi pelajaran. Bukan hanya agar terlepas dari jerat korupsi, tapi sebagai perjuangan masyarakat.

Dia yakin Jokowi punya hati nurani. Dan berharap bisa menerima perjuangannya serta memberikan amnesti. Namun dia meminta bukan karena air mata yang dikeluarkan saat ini kemudian Jokowi memberikan amnesti. Tetapi diberikan didasari karena jiwa kepemimpinan dan kepentingan negara dalam melindungi serta menjaga harkat dan martabat.

"Saya sebagai rakyat kecil sangat yakin, niat mulia Bapak memberikan amnesti kepada saya didasari karena jiwa kepemimpinan Bapak yang menyadari keputusan amnesti tersebut merupakan bentuk kepentingan negara dalam melindungi dan menjaga harkat martabat rakyatnya sebagai manusia," kata Baiq.

Dalam surat tersebut, Baiq dan suami pun mengklaim memilih kembali Jokowi sebagai Presiden. Mereka yakin dan percaya mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut bisa memimpin konstitusi dengan adil.

"Bapak Presiden, saya dan suami saya memilih Bapak kembali sebagai Presiden Republik Indonesia, karena kami percaya kepada kepada Bapak. Kami percaya Bapak adalah pemimpin yang selalu berpijak pada konstitusi," kata Baiq.

Keputusan tersebut salah satunya kata dia yaitu berupa amnesti. Bukan karena belas kasihan, tapi sebagai korban dan bukan desakan dari berbagai pihak. Dia pun yakin Jokowi bisa memutuskan yang didasari dengan UUD 1945. Dia pun mengklaim selalu memberikan dukungan penuh kepada Jokowi dan akan berjuang bersama-sama untuk menegakan keadilan.

"Saya sangat yakin, niat mulia Bapak memberi amnesti kepada saya adalah demi kepentingan negara. Kepentingan negara dalam penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan yang lebih besar dan dapat menghadirkan kemaslahatan yang lebih luas bagi rakyatnya," tegas Baiq.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya