Liputan6.com, Jakarta Salah satu anggota Penasihat Hukum (PH) terdakwa Joko Driyono, Mustofa Abidin heran dengan replik yang sudah dipaparkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang di PN Jakarta Selatan, Senin (15/7/2019). Replik ini sebagai jawaban terhadap nota pembelaan terdakwa.
JPU kejaksaan negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Sigit Hendradi dalam repliknya mendalilkan PH terdakwa tidak memuat konstruksi analisa yuridis, berupa pembuktian dari alat-alat bukti yang sah yang telah diajukan di muka persidangan. Demikian inti replik JPU dalam sidang di PN Jakarta Selatan, Senin (15/7/2019) itu.
Baca Juga
Advertisement
Replik delapan halaman itu dibacakan untuk menjawab pledoi setebal 169 halaman yang dibacakan tim PH terdakwa Kamis lalu. Berbeda dengan replik, dalam pledoinya, tim PH menyoroti tidak ada satupun barang bukti yang disita dari terdakwa Joko Driyono maupun dari kantor Liga Indonesia yang terbukti digunakan dalam perkara hukum lain, atau perkara Banjarnegara. Sehingga, pasal yang dituntut oleh JPU sama sekali tidak memenuhi unsur.
Usai pembacaan replik, Mustofa Abidin mengatakan pihaknya siap membacakan duplik sebagai tanggapan atas replik JPU. Dikatakan Mustofa, replik JPU mengada-ada dan aneh. Mengingat dalam tuntutan dan repliknya, semua alat bukti dituliskan dikembalikan kepada pihak yang disita.
"Tidak ada satupun alat bukti yang disebutkan akan disita oleh kejaksaan untuk kepentingan perkara hukum lain. Ini dengan sendirinya mematahkan argumentasi replik JPU sendiri, bahwa ada barang bukti yang akan digunakan oleh penyidik, dengan mendalilkan dengan kalimat “tergantung pada kepentingan penyidikan”, ini kami anggap anomali dan kontradiktif," ujarnya.
Seperti diketahui, Joko Driyono dituntut dengan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara. Mantan plt. Ketum PSSI itu dianggap terbukti melanggar pasal 235 jo 233 jo 55 ayat (1) ke-1, sebagaimana dakwaan alternatif kedua subsider. Ketua Majelis Hakim Kartim Haeruddin menetapkan sidang berikutnya dengan agenda pembacaan duplik dari tim PH terdakwa yang akan digelar pada Selasa, (16/7/2019).
Alasan JPU
Masih dalam repliknya, JPU menyatakan dalam ketentuan Pasal 233 KUHP, tidak mensyaratkan obyek perbuatan harus berupa barang bukti yang disita. Dalam arti apakah barang tersebut dalam status sita atau tidak dalam status sita tidaklah menjadi persoalan.
"Hal ini mengacu kepada yurisprudensi berupa putusan-putusan hakim terdahulu, antara lain Arrest Hoge Raad tanggal 4 April 1921, yang menyatakan pada intinya, meskipun penyitaan itu tidak sah atau tidak dibenarkan, tetapi barang-barang tersebut bisa dipergunakan untuk memperolah keyakinan," kata Sigit
Ditambahkannya, oleh karena itu, barang-barang yang berada di dalam police line dimaksudkan untuk sementara waktu disimpan untuk kepentingan umum. "Frasa kata “untuk” dalam unsur tindak pidana Pasal 233 KHUP berarti barang-barang tersebut dalam kondisi memang belum digunakan atau nantinya akan digunakan oleh tim penyidik Satgas Anti Mafia Bola, yang mana tergantung pada kepentingan penyidikan," ujarnya.
Advertisement