Liputan6.com, Kraków - Warganet terutama mereka yang berdomisili dan beraktivitas di Jakarta dan sekitarnya sempat dikejutkan oleh fakta mengenai kualitas udaranya yang sangat tidak sehat beberapa waktu lalu.
Meski seharusnya fakta ini tidak begitu mengejutkan, mengingat banyaknya kendaraan bermotor yang setiap hari memadati jalanan ibu kota dan minimnya ruang terbuka hijau, tetap saja warganet tampak terheran-heran oleh fakta ini.
Isu ini pertama kali mendapat perhatian warganet ketika mantan jurnalis teknologi Aulia Masna (@amasna) menuliskan twit sekitar akhir Juni lalu dengan nada memancing, "Hai, Jakarta, kalian ngga sesak nafas?"
Baca Juga
Advertisement
Pertanyaan itu kemudian disusul dengan twit lain, yang berbunyi, "Serius nih, guys. Kondisi udara di Jakarta udah buruk banget, harusnya sekolah dan kegiatan non esensial dihentikan sementara demi kesehatan penduduknya, minimal jalanin CFD beberapa hari."
Sejak twit itu viral, screenshot data kualitas udara di Jakarta dan sejumlah kota lainnya makin sering berseliweran di linimasa. Tak hanya di Twitter, di mana isu ini pertama kali mencuat, pengguna Facebook dan Instagram juga ketularan menyebarkan screenshot ini.
Adapun salah satu aplikasi yang digunakan warganet untuk mencari kualitas udara di Jakarta adalah AirVisual. Per Selasa (16/7/2019), Jakarta termasuk pada lima besar kota dengan kualitas udara terburuk. Tepatnya, Jakarta bercokol di posisi ketiga dengan indeks kualitas udara (Air Quality Index, AQI) 158 yang berarti sangat tidak sehat.
Sumber Data AirVisual
Lantas dari mana dan bagaimana indeks kualitas udara tersebut dihitung? Pada laman resmi AirVisual disebutkan data cuaca, data kualitas dari pemerintah dan simpul lokasi setempat dan data satelit merupakan sumber data yang kemudian diolah dengan teknologi kecerdasan buatan.
Proses yang melibatkan teknologi kecerdasan buatan itu termasuk data validasi dan modelisasi. Kemudian keluaran dari proses itu adalah data yang tersedia pada aplikasi AirVisual berikut API-nya, pemodelan data secara real-time dan perangkat pemantau kualitas udara AirVisual Node.
Di laman resminya, AirVisual menyebut data kualitas udara yang dilaporkan berasal dari beberapa sumber, antara lain stasiun pemantauan berbasis darat, yang umumnya merupakan stasiun pemantauan milik pemerintah atau stasiun pemantauan udara Pro AirVisual yang berbasis komunitas.
Stasiun-stasiun itu mengukur dan melaporkan kualitas udara yang ditangkap oleh sensor fisik yang terpasang. Sumber data ini kemudian dicantumkan pada data yang aplikasi dan situs web AirVisual laporkan.
Di Indonesia, beberapa stasiun yang menjadi sumber data AirVisual berlokasi di Jakarta, Ubud, Pekanbaru, Palembang, Samarinda dan lain-lain. Terkhusus Jakarta, stasiun-stasiun itu bertempat antara lain di Kedutaan Amerika Serikat, Pejaten, BSD, Rawamangun, Mangga Dua dan Pegadungan.
Advertisement
Sistem Indeks Kualitas Udara
Indeks kualitas udara AirVisual menerjemahkan ukuran konsentrasi polutan yang kadang membingungkan, menjadi satu skala yang mudah dipahami. Umumnya 6 polutan utama, yakni PM2.5, PM10, karbon monoksida, sulfur dioksida, nitrogen dioksida dan ozon permukaan bumi, dipertimbangkan dalam penghitungan indeks tersebut.
Indeks ini berkisar dari 0 hingga 500. Makin tinggi nilai indeks, makin tinggi pula tingkat polusi udara dan potensi dampak kesehatannya. Nilai indeks lebih besar dari 300, misalnya, dianggap berbahaya, sementara nilai indeks antara 0 hingga 50 menunjukkan kualitas udara baik.
Ada beberapa penghitungan indeks kualitas udara. Penghitungan indeks Tiongkok dan Amerika paling banyak digunakan dan AirVisual menerapkan penghitungan indeks Amerika Serikat. Baik penghitungan indeks Tiongkok maupun Amerika Serikat dihitung dengan mempertimbangkan enam polutan utama tersebut di atas. Hasil dari keduanya hanya berbeda pada skor indeks 200 dan di bawahnya.
Tersebab sistem indeks Amerika menghasilkan skor lebih tinggi untuk indeks di bawah 200, itu dianggap lebih ketat. Oleh sebab itu sistem indeks Amerika banyak digunakan.
(Why/Ysl)