Liputan6.com, Jakarta Pagi itu, Mada (31), pencari suaka asal Sudan, tengah menyisir rambut putrinya yang berusia 3 tahun, Nada. Rambut Nada yang ikal hitam kemerahan berusaha diikat sang Ibunda.
Selain Nada, Mada juga mempunyai dua orang putri lain, Ikhlas (4) dan Hadrah (6). Saat Liputan6.com berkunjung ke tempat Mada di penampungan pencari suaka di eks Gedung Kodim Jakarta Barat, Kalideres, Selasa, 16 Juli 2019, Ikhlas dan Hadara tengah asyik melihat Lili (3) memainkan ponselnya. Lili sengaja meletakan ponselnya di atas lantai supaya temen-temennya bisa ikut melihat.
Advertisement
Anak-anak tersebut seakan lupa bahwa mereka tengah berada jauh dari negeri asalnya yang porak-poranda dikoyak konflik. Tidak tampak raut kesedihan di wajah mereka. Dibandingkan orang tuanya, anak-anak tersebut terlihat cukup pandai berbicara Bahasa Indonesia. Hadrah misalnya, anak ini terhitung cukup fasih memakai bahasa Indonesia.
Kala mereka dibawakan sebungkus cemilan, Hadrah dan kawan-kawan bahkan berkata terimakasih. Wajah mereka terlihat gembira. Saat makanan sudah habis, Hadrah berucap, "masih ada tidak?"
Tidak ada sarapan pagi bagi para pencari suaka di penampungan sementara ini. Makanan hanya diberikan pada siang hari dan malam hari.
Mada sendiri terlihat kurang fasih dalam berbahasa Indonesia dibandingkan sang anak. Pun demikian juga bahasa Inggris. Ia terkadang menanyakan suatu kosakata yang tidak ia mengerti kepada Hadrah atau Ikhlas.
Berbeda dengan Mada, Farhia (21) yang diakui oleh Mada sebagai salah satu anggota keluarganya terdengar cukup lancar berbahasa Inggris. Setidaknya untuk komunikasi dasar.
Farhia sendiri memiliki sorang putri yang kebetulan saat itu sedang bermain di luar. Ia mengaku anaknya serta anak lain di sana belum ada yang mendapatkan pendidikan. Namun katanya, setiap malam sebagian anak-anak di sana diberi pelajaran mengaji.
"Kalau anak saya belum, masih kecil," kata Farhia.
Ia dan Mada berharap supaya anaknya dan anak-anak lain di penampungan sementara pencari suaka bisa mendapatkan pendidikan yang memadai.
"Berharap bisa sekolah," kata Farhia.
Farhia sendiri lulusan setingkat SMA di negaranya. Meskipun sudah mempunyai anak, kata Farhia, dirinya masih menyimpan cita-cita untuk melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi.
"Pengen jadi dokter," ungkap Farhia terkait cita-citanya.
Namun nampaknya di tengah kondisinya seperti itu, ia hanya bisa menyematkan harapan kepada putrinya supaya bisa merealisasikan cita-citanya itu.
Negara yang menurut Farhia bisa kondusif untuk melanjutkan kehidupannya adalah Selandia Baru ataupun Kanada. Menurut Farhia, di sana harapannya bisa kembali disemai.
Kata Farhia, kedua negara tersebut dirasa sudah cukup mapan utuk menampung orang-orang seperti dirinya.
"Berharap bisa menjalani kehidupan di Selandia Baru atau Kanada," ungkap Farhia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Melarikan dari Negeri yang Terkoyak
Bukan tanpa alasan kuat Fahria dan Mada meninggalkan tanah lahirnya. Ia nekat melarikan diri dari Sudan karena negerinya terkoyak konflik berkepanjangan.
Sebagaimana sesama saudara di sana, Fahria disodorkan pilihan yang sulit oleh keadaan. Jiwa bertahan hidupnya ditantang untuk memilih antara bertahan di Afrika atau mencari secercah harapan di negeri seberang.
Akhirnya ia bulat untuk memutuskan pergi ke negeri lain. Fahria mengaku, tujuan awalnya ia ingin tinggal di Australia. Mengingat menurut dirinya, Australia merupakan negara yang kaya dan maju. Ia berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik di sana.
"Awalnya mendarat di Malaysia kemudian ke Medan, terus ke Jakarta," kata Farhia.
Di Jakarta, Farhia melanjutkan, dirinya beserta rombongan berangkat ke Kendari menggunakan pesawat terbang. Ia mengungkapkan bahwa biaya pesawat dari Jakarta ke Kendari ada yang membiayai.
"Ada orang baik yang ngasih," akunya.
Setelah dari Kendari, kata Farhia, ia dan beberapa keluarganya menggunakan kapal kecil untuk menuju Australia.
Namun harapan untuk mencapai tanah impian mesti kandas. Pasalnya, belum sampai dirinya menginjakkan kaki di tanah Benua terkecil itu, kapalnya sudan dicegat oleh tentara Australia.
"Akhirnya kita dikembalikan lagi ke Indonesia," kata Fahria.
Dan seperti yang diketahui, Fahria dan anaknya akhirnya terdampar di eks Gedung Kodim Jakarta Barat.
Sejak meninggalkan tanah airnya sampai saat ini, kata Fahria, sudah ada enam tahun lebih.
"Saya berangkat dari sana bulan Mei tahun 2013," katanya.
Advertisement