Liputan6.com, Washington, D.C - Amerika Serikat pada Selasa, 16 Juli 2019 mengumumkan sanksi terhadap Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing dan para pemimpin militer lainnya atas pembunuhan di luar hukum terhadap muslim Rohingya dengan melarang mereka masuk ke Amerika Serikat.
Langkah-langkah tersebut diambil untuk menanggapi pembantaian minoritas Rohingya di Myanmar, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Raabu (17/7/2019).
Baca Juga
Advertisement
"Kami tetap khawatir bahwa pemerintah Myanmar tidak akan bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang meraka lakukan," ujar Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dalam sebuah pernyataan.
Pompeo mengatakan, pengungkapan baru-baru ini bahwa Min Aung Hlaing memerintahkan pembebasan tentara yang dihukum karena pembunuhan di luar hukum di desa Inn Din selama pembersihan etnis Rohingya pada tahun 2017.
AS menilai jika ini adalah "salah satu contoh mengerikan dari berlanjutnya dan kurangnya pertanggungjawaban militer atas kasus ini."
"Panglima Tertinggi membebaskan para penjahat ini setelah mendekam berbulan-bulan di penjara, sementara wartawan yang memberi tahu dunia tentang pembunuhan di Inn Din dipenjara selama lebih dari 500 hari," kata Pompeo.
Pembantaian di desa itu diselidiki oleh dua wartawan Reuters, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo, yang menghabiskan lebih dari 16 bulan di balik jeruji besi dengan tuduhan membongkar rahasia negara.
Keduanya dibebaskan secara amnesti pada 6 Mei lalu.
Tindakan Genosida
Lembaga swadaya hak asasi manusia, Amnesty International mendukung laporan Tim Pencari Fakta PBB tentang Myanmar (TPF Myanmar) yang baru-baru ini diumumkan, yang mana mengungkapkan bahwa militer negara itu melakukan genosida dan kejahatan kemanusiaan lain terhadap Rohingya dan kelompok etnis minoritas di Myanmar bagian utara.
Dukungan itu, ujar Amnesty International dalam sebuah pernyataan tertulisnya, juga didasari atas penyelidikan independen yang dilakukan organisasi tersebut.
Mengutip penyelidikan mereka, Amnesty International menyebut telah "mendokumentasikan secara ekstensif kampanye pembersihan etnis oleh militer Myanmar, yang mencakup pembakaran yang direncanakan di desa-desa Rohingya, penggunaan ranjau darat dan kejahatan terhadap kemanusiaan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, kelaparan dan deportasi paksa serta pelanggaran hak asasi manusia serius lainnya terhadap Rohingya," demikian seperti dikutip dalam pernyataan pers yang dimuat Liputan6.com.
Menggarisbawahi apa yang telah ditemukan oleh TPF Myanmar, Direktur Penanggulangan Krisis Amnesty International Tirana Hassan menjelaskan, "Ini menambah banyak bukti kejahatan di bawah hukum internasional oleh militer, menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan investigasi kriminal yang independen dan dengan jelas bahwa pihak berwenang Myanmar tidak mampu membawa ke pengadilan mereka yang bertanggung jawab."
Pihak Amnesty International juga merekomendasikan agar komunitas memiliki tanggung jawab untuk bertindak dan menjamin keadilan serta akuntabilitas, terhadap mereka yang bertanggungjawab atas krisis Rohingya.
"Kegagalan untuk melakukan tindakan tersebut mengirim pesan bahwa militer Myanmar tidak hanya akan menikmati impunitas, tetapi bebas melakukan kekejaman seperti itu lagi."
Advertisement