Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai tidak selarasanya kebijakan pusat dan daerah menjadi kendala utama dalam meningkatkan pertumbuhan investasi di dalam negeri.
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani mengatakan, selama ini para investor paling banyak mengeluhkan soal adanya perbedaan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah.
Baca Juga
Advertisement
"Perbedaan kebijakan pusat dan daerah, itu salah satu keluhan utama yang ada di para investor. Misalnya investor asing masuk ke Indonesia, ketemu pemerintah pusat, investasi persyaratannya A, B, C, D. Begitu masuk ke pemda, itu jadi E, F, G, sampai Z," ujar dia di Jakarta, Rabu (17/7/2019).
Pemerintah diakuinya telah menerapkan kebijakan Online Single Submission (OSS) untuk memperbaiki masalah perizinan. Namun hal tersebut dinilai tidak cukup. Sebab, ada juga masalah lain yang menghambat masuknya investasi ke dalam negeri, seperti masalah produktivitas sumber daya manusia yang perlu ditingkatkan.
Rosan mengungkapkan, permasalah lain yang juga membuat pertumbuhan investasi tidak signifikan yaitu soal kepastian hukum dan perizinan. Hal itu juga menjadi sorotan para investor.
"Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan sinkronisasi kebijakan," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Banyak Aturan yang Menghambat Investasi
Sementara itu, Ketua DPRD DKI Edi Prasetyo mengatakan para gubernur harus melepas baju dan warna politik saat menjalankan tugas. Hal itu penting untuk membuat investasi berjalan dengan baik.
"Karena bukan seperti apa-apa, di pemerintah daerah untuk investasi, contohnya Jakarta, itu ketakutan karena aturan-aturan banyak yang masih terhambat," ungkap Prasetyo.
Dia mengaku akan menemui Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk membicarakan apa yang harus dilakukan guna menggaet investasi seperti arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam kasus DKI, salah satu yang mengemuka ialah soal kepastian hukum. Saat ini Pemprov DKI memaksakan untuk melakukan perubahan terhadap kerja sama yang dijalin dengan operator air bersih. Padahal Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan putusan bahwa kerja sama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih tidak melanggar aturan perundangan.
Pemerintah sendiri telah memiliki skema kerja sama antara badan usaha dan pemerintah atau public private partnership (PPP) untuk menggenjot pembangunan infrastruktur dasar.
Advertisement
RI Butuh Investasi Infrastruktur USD 429,7 Miliar pada 2020-2024
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menyatakan, perekonomian pada 2020-2024 akan didorong oleh peningkatan investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang tumbuh 6,88-8,11 persen per tahun.
Dia mengungkapkan, untuk mencapai target tersebut, investasi swasta asing maupun dalam negeri akan didorong melalui deregulasi prosedur investasi, sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perizinan, termasuk peningkatkan EoDB Indonesia dari peringkat 73 pada 2019 menjadi menuju peringkat 40 pada 2024.
Peningkatan investasi, lanjut dia, juga didorong oleh peningkatan investasi pemerintah, termasuk BUMN, terutama untuk pembangunan infrastruktur.
Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan saham infrastruktur menjadi 50 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan belanja modal menjadi 2,3 persen-2,8 persen pada 2024.
"Peningkatan investasi akan ditujukan pada peningkatan produktivitas yang akan mendorong peningkatan efisiensi investasi," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (3/7/2019).
Butuh Upaya Pendalaman Pasar Keuangan
Bambang menjelaskan, untuk membiayai kebutuhan investasi pada 2020-2024, dibutuhkan upaya pendalaman pasar keuangan, terutama nonperbankan, peningkatan akses jasa keuangan atau inklusi keuangan, dan optimalisasi alternatif pembiayaan.
Untuk meningkatkan saham infrastruktur terhadap PDB dari 43 persen pada 2017 menjadi 50 persen PDB pada 2024, Indonesia membutuhkan investasi infrastruktur sebesar USD 429,7 miliar atau sebesar 6,1 persen PDB pada periode 2020-2024.
"Jumlah ini meningkat 20 persen dibandingkan kebutuhan investasi infrastruktur sebesar USD 359,2 miliar pada 2015-2019," kata dia.
Dari total kebutuhan tersebut, pemerintah dan BUMN akan menyumbang masing-masing sebesar 11,6 persen-13,8 persen dan 7,6 persen-7,9 persen. Sementara sisanya akan dipenuhi oleh masyarakat atau swasta.
"Untuk mewujudkan kebutuhan tersebut, pemerintah mendorong peran sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) juga Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA)," tandas dia.
Advertisement