UNHCR: Indonesia Patut Dicontoh Soal Penanganan Pengungsi Internasional

UNHCR mengapresiasi Indonesia perihal penanganan pengungsi internasional.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 17 Jul 2019, 19:20 WIB
ara pencari suaka duduk-duduk di halaman gedung bekas Markas Kodim di kawasan Kalideres, Jakarta, Selasa (16/7/2019). Rata-rata para pencari suaka tersebut berasal dari Afghanistan, Pakistan, Somalia, Sudan, Iraq, dan Iran. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Badan PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) mengapresiasi sikap pemerintah Indonesia dalam melakukan penanganan dan pemenuhan hak-hak mendasar yang paling dibutuhkan kepada pengungsi dan pencari suaka internasional. Terkhusus, mereka yang masuk dalam kategori paling rentan.

Apresiasi itu datang ketika situasi pengungsi internasional di Tanah Air, terkhusus yang di Ibu Kota, menjadi sorotan.

Terjadi sebuah tren gelombang pengungsi global yang mengarus ke Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Mereka berpindah karena dipicu oleh perang, konflik dan persekusi menahun di negara asalnya.

Menurut data UNHCR pada awal 2019, setidaknya 13.900 pengungsi internasional tengah berada di Indonesia, di mana mereka transit sementara. Angka itu relatif menurun jika dibandingkan pada tahun 2017 yang berjumlah 14.300 orang.

Mereka berasal dari berbagai belahan dunia, seperti Afghanistan, Sudan, Suriah, Somalia, Ethiopia, Sri Lanka, Myanmar, dan lain-lain.

Menyikapi situasi itu, pemerintah Indonesia telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri.

Secara garis besar, Perpres 125 mengatur bagaimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa membantu pengungsi di areanya dan berkoordinasi dengan UNHCR untuk menemukan masalah dan mencari solusi bagi pengungsi.

Anak-anak pencari suaka bermain sepak bola di halaman bekas Markas Kodim di Kalideres, Jakarta, Selasa (16/7/2019). Sebelumnya, para pencari suaka dari berbagai negara berkonfilk ini tinggal di pinggir jalan dan trotoar di kawasan Kebon Sirih, Jakarta. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

UNHCR mengapresiasi regulasi tersebut, meskipun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi dan Protokol PBB Mengenai Status Pengungsi.

"Kami senang, itu contoh bahwa pemerintah Indonesia menjadi contoh bagi negara lain yang tak punya regulasi semacam itu," kata Kepala Perwakilan UNHCR Indonesia, Thomas Vargas di Jakarta, Rabu (17/7/2019).

Pengimplementasian hukum itu, kata Vargas, terlihat dalam tindakan Pemprov DKI Jakarta dalam upaya pemenuhan hak-hak mendasar bagi pengungsi yang paling rentan, seperti fasilitas penampungan sementara dan akses pada layanan kesehatan.

"Pemerintah berusaha sebisa mungkin untuk mengimplementasikan dan UNHCR siap membantu itu dengan apa yang kami bisa," jelas Vargas.

"Kami sangat bersyukur aturan hukumnya ada dan pemerintah mengadopsi hukum itu menunjukkan komitmennya membantu pengungsi karena sudah jadi tugas setiap pemerintah di dunia untuk melindungi pengungsi yang membutuhkan bantuan."

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Sekilas Situasi Pengungsi Internasional di Indonesia

Kemah-kemah pengungsi dari Afrika dan Asia Selatan di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat (4/4/2018) (Muhammad Husni Mubarok/Liputan6.com)

Para pengungsi internasional di Indonesia yang terdata oleh UNHCR Jakarta berjumlah setidaknya 13.900 per-awal 2019.

Semua meninggalkan tanah kelahiran masing-masing, demi menyelamatkan diri dari perang, konflik bersenjata dan persekusi menahun.

Para pengungsi itu, yang terdaftar secara resmi di UNHCR, mengajukan permohonan suaka ke negara ketiga (resettlement countries), seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru dan beberapa negara Eropa.

Namun, kebijakan negara resettlement yang mulai membatasi kuota serta memperketat syarat suaka, telah menimbulkan polemik global. Pada akhirnya, para pengungsi itu tertahan hingga bertahun-tahun di negara-negara transit, seperti: Turki, Yordania, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan beberapa lainnya.

Kemah-kemah pengungsi dari Afrika dan Asia Selatan di trotoar depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat (4/4/2018) (Muhammad Husni Mubarok/Liputan6.com)

Australia misalnya, dilaporkan menurunkan kuota penerimaan pencari suaka dari Indonesia menjadi sekitar 85 orang pada rentang tahun 2017-2018. Pada 2010, angka penerimaan itu sempat mencapai sekitar 400 orang -- Al Jazeera melaporkan, mengutip data dari dewan pengungsi Australia yang dirilis untuk publik berdasarkan mandat Freedom of Information.

Indonesia bukan negara resettlement berdasarkan mandat Konvensi dan Protokol PBB Mengenai Status Pengungsi. Namun, sejak 1970-an, Tanah Air telah menjadi negara transit bagi pengungsi serta pencari suaka internasional. Kala itu, Indonesia membuka pintu bagi arus pengungsi dari Indo-China yang terdampak Perang Vietnam.

Pemerintah Indonesia terus mempertahankan tradisinya untuk menghargai prinsip kemanusian dan non-refoulement perihal pengungsi. Hal itu kemudian dipertegas dengan mengesahkan Peraturan Presiden No. 125 tahun 2016.

Berdasarkan data UNHCR, ada sekitar 25,9 juta pengungsi global pada tahun 2018. Setiap harinya, 37.000 orang di penjuru dunia terpaksa mengungsi akibat krisis atau konflik di negara masing-masing.


Contoh Inisiatif Pemerintah Daerah

Petugas penyelamat mengevakuasi dua pria etnis Rohingya yang diselamatkan setelah terdampar di perairan Aceh, Kamis (5/4). Lima imigran Rohingya ditemukan dalam keadaan lemas terombang-ambing dengan menumpangi perahu kayu tanpa mesin. (ILYAS ISMAIL/AFP)

Berbagai contoh positif terkait pengimplementasian Perpres 125 adalah inisiatif pemerintah daerah di Medan, Sumatera Utara untuk memenuhi hak atas pendidikan terhadap pengungsi anak etnis Rohingya dari Rakhine State, Myanmar.

Sejumlah pengungsi anak Rohingya dilaporkan mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah lokal di Medan.

Pemerintah Tangerang, Banten mengikuti jejak inisiatif tersebut sejak Agustus 2018 --menurut informasi terkonfirmasi yang dihimpun oleh Liputan6.com.

Setidaknya 38 anak pengungsi internasional yang ditangani bersama oleh UNHCR dan IOM (Badan PBB Urusan Migran), bersekolah di sebuah SD negeri di Kelurahan Medang, Tangerang.

Lokasi sekolah cukup dekat dengan community housing yang disediakan oleh IOM kepada para pengungsi tersebut.

Sebelas siswa telah mengenyam pendidikan di SDN di Kelurahan Medang sejak tahun ajaran 2018. Sementara tambahan 27 sisanya mulai bersekolah pada Juli tahun ajaran 2019 - 2020.

Pemenuhan hak pendidikan, kata Staf IOM Mia Tri Fitriani, meringankan beban tak hanya bagi anak pengungsi, namun juga orang tua yang ikut mengungsi bersama-sama.

Sekitar 38 anak pengungsi dan pencari suaka internasional saat masuk hari pertama sekolah pada 15 Juli 2019 di sebuah SD negeri di Tangerang (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

"Secara perkembangan, mereka pastinya lebih baik dibanding anak pengungsi lain yang belum bisa bersekolah. Karena, ini salah satu bentuk perkembangan mereka juga, untuk bisa bersekolah, bisa bersosialisasi dengan yang lain," ujat Mia kepada Liputan6.com, Senin (15/7/2019).

"Dari orang tuanya, mereka banyak masalah. Mereka datang dari negaranya yang sedang konflik atau perang. Datang ke sini dengan masa depan yang belum bisa mereka pastikan sendiri. Tingkat stressnya bisa jauh lebih berkurang dengan anak-anaknya bisa bersekolah," lanjutnya.

"Karena, setelah kita berbicara dengan orang tua pengungsi, salah satu faktor pemicu stress yang paling besar selagi mereka menunggu resettlement adalah melihat anak-anaknya tidak bisa bersekolah," tambah perempuan yang berlatar pendidikan sebagai psikolog tersebut.

Untuk konteks di Kelurahan Medang, Tangerang, pengungsi yang tinggal di community housing serta bersekolah di sana "telah dibantu untuk hidup berdampingan secara harmonis dengan warga lokal."

"Alhamdulillah saat ini, hubungan para pengungsi dengan warga lokal sangat baik sekali. Warga lokal sangat menerima kehadiran mereka. Para pengungsi juga sadar dengan tanggung jawab mereka ketika berada di sekitar orang lokal," jelas Mia.

"Beberapa dari pengungsi bahkan mau berkontribusi dengan warga lokal di sini. Beberapa pengungsi sukarela mengajar di PAUD lokal di sini. Mengajar bahasa inggris, kerajinan tangan."

"Alhamdulillah kondisinya baik sekali," tutup Mia.


Kata Pemerintah Pusat

Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri RI. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, pejabat kementerian RI menekankan bahwa Indonesia senantiasa berupaya untuk terus menolong UNHCR dalam menolong para pengungsi dan pencari suaka internasional yang transit di Tanah Air. Faktor kemanusiaan menjadi alasan.

"Prinsip pemerintah adalah mengedepankan rasa kemanusiaan. Kita tidak melihat dari mana mereka berasal, gender, negara mana, pihak mana. Tapi kita melihat mereka semua merupakan manusia yang harus kita tolong," kata Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri RI, Achsanul Habib kepada Liputan6.com, Rabu 10 Juli 2019.

Habib mencontohkan soal penanganan pemerintah daerah di Bireuen, Aceh pada 2018.

"Mereka diselamatkan dari situasi darurat, terombang-ambing di laut dalam kapal. Kita bawa ke pelabuhan terdekat, kemudian Pemda Bireuen mendirikan penampungan sementara, memberikan pelayanan medis dan dipersilakan menetap temporer di tempat yang layak," jelas Habib.

Pengungsi wanita Rohingya beristirahat di tempat penampungan sementara di Bireuen, Aceh, Jumat (20/4). Sejumlah nelayan menyelamatkan 76 muslim Rohingya dari sebuah kapal yang terdampar di perairan Aceh. (AP Photo / Zik Maulana)

Pemerintah Indonesia, lanjut Habib, juga terus berkoordinasi dengan UNHCR guna memastikan agar setidaknya hak paling mendasar bagi pengungsi yang sangat membutuhkan bisa terpenuhi.

Indonesia juga bekerja di tataran multilateral dan bilateral mendorong negara peratifikasi Konvensi dan Protokol PBB Mengenai Status Pengungsi untuk memenuhi mandatnya, terutama, perihal melonggarkan kebijakan mereka bagi para pencari suaka. Termasuk,pencari suaka yang saat ini transit di Indonesia.

"Untuk negara-negara penerima suaka (resettlement countries) ini, Indonesia tidak kenal lelah baik dalam forum multilateral, regional, dan, bilateral, untuk mengingatkan kepada mereka: yuk kita ada tantangan, ada masalah, pengungsinya banyak, ayo kita selesaikan bersama," jelas Habib.

"Kami selalu katakan kepada negara tradisional resettlement, tolong dipikirkan bahwa Anda punya kewajiban dalam konvensi. Indonesia, sebagai negara transit akan membantu dalam kapasitas sementara, selagi mereka menunggu pada penyelesaian resettlement atau akan solusi terbaik lainnya."

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya