Pabrik Rokok Diuntungkan dengan Tarif Cukai Murah

Pabrikan rokok menolak penggabungan batasan produksi SKM dan SPM karena khawatir tidak akan bisa lagi membayar tarif cukai murah.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Jul 2019, 10:45 WIB
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diharapkan tidak ragu menerapkan kebijakan penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang. Meski kebijakan tersebut mendapatkan penolakan dari pabrikan rokok.

Pengamat Ekonomi Abdillah Ahsan mengatakan, penggabungan perlu direalisasikan karena pabrikan rokok selama ini telah menikmati tarif cukai murah.

“Pengusaha rokok yang protes adalah mereka yang diuntungkan dari kebijakan saat ini. Mereka membayar cukai lebih murah padahal sama-sama menjual rokok yang menyakiti dan tidak banyak menyerap tenaga kerja,” ujar dia di Jakarta, Kamis (18/7/2019).

Menurut Abdillah, pabrikan rokok menolak penggabungan batasan produksi SKM dan SPM karena khawatir tidak akan bisa lagi membayar tarif cukai murah. Dengan penggabungan tersebut, pabrikan yang memiliki volume produksi segmen SKM dan SPM di atas tiga miliar batang harus membayar tarif cukai golongan I pada kedua segmen tersebut.

“Tentu saja yang menolak, menikmati keuntungan dari sistem saat ini yang tidak rasional dijalankan. Kebijakan yang tidak efisien ini juga mendorong rokok ilegal karena jumlah layer tarif cukai banyak sehingga peluang rokok ilegal tipe salah personifikasi meningkat,” ucap dia.  

Jika penggabungan batasan produksi SKM dan SPM tidak segera direalisasikan, Abdillah khawatir angka perkokok di Indonesia akan terus meningkat lantaran semakin murah dan mudahnya rokok dijangkau oleh masyarakat.

"Semangat penggabungan SKM dan SPM  untuk mengurangi perbedaan harga rokok sehingga konsumen tidak bisa beralih ke rokok murah, pada saat harga rokok naik. SKM dan SPM sama-sama buruk untuk kesehatan, sepatutnya digabung,” tutup dia.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Penolakan dari Pabrik Rokok

Siswa SMP dari perwakilan delapan sekolah di Jakarta dan Bandung mengikuti kegiatan bertajuk 'Sekolah Tanpa Advertensi Rokok (STAR): Menolak Diam' di Taman Menteng, Jakarta, Sabtu (21/11). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sebelumnya, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rofyanto Kurniawan, mengatakan pemerintah memang mendapatkan tantangan dari para produsen rokok dalam menjalankan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM. Padahal, tujuan dari penggabungan ini untuk memudahkan pemerintah dalam melakukan pengawasan.

Sebab, dengan masih banyaknya layer tarif cukai, besar pula potensi terjadinya penyalahgunaan oleh pabrikan rokok.

"SKM golongan II dan SPM golongan II kita akan gabungkan. Kalau masuk kategori golongan I, bayar cukai golongan I, dan ini masih ada pertentangan dari produsen," tegas dia.

Namun Rofyanto tidak menjelaskan siapa saja pabrikan yang menolak terhadap penggabungan batasan produksi SKM dan SPM.

Penggabungan batasan produksi SKM dan SPM sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 146/2017. Namun pada Desember 2018 lalu, Kemenkeu mengeluarkan PMK 156/2018 yang salah satu isinya menghapus Bab IV pada PMK 146/2017, yang  mengatur tentang penggabungan batas produksi SKM dan SPM.

   


Asosiasi Minta Pemerintah Tak Larang Penggunaan Rokok Elektrik

Ilustrasi Rokok Elektrik atau Vape (iStockphoto)

Pelaku usaha rokok elektrik yang terbangun dalam Asosiasi Vaper Indonesia (AVI) mengapresiasi langkah Badan Narkotika Nasional (BNN) yang mengungkap adanya penyalahgunaan narkoba pada cairan rokok elektrik. 

Namun hal ini diharapkan tidak menjadi ‎alasan bagi pemerintah untuk melarang penggunaan rokok elektrik seperti vape.

Pembina AVI, Dimasz Jeremia, menyatakan asosiasinya akan terus mendukung dan bekerja sama dengan BNN dalam mencegah penyalahgunaan narkoba.

“Setiap barang pasti punya risiko. Kalau ada problem dengan narkotika, BNN harus fokus dengan itu,” ujar dia di Jakarta, Kamis (4/7/2019).

Dengan adanya cair rokok elektrik yang disalahgunakan dengan kandungan narkoba, Dimasz berharap para pemangku kebijakan lainnya tidak mengeluarkan wacana pelarangan produk tembakau alternatif, termasuk rokok elektrik. 

Menurut dia, permasalahan peredaran narkoba seringkali dikaitkan dengan berbagai cara baru untuk menyalahgunakan fungsi dari suatu produk. Oleh karena itu, pemerintah dan pihak terkait diharapkan mencari jalan keluar yang efektif untuk mencegah hal tersebut.

"Permasalahan narkoba harus diselesaikan bersama-sama. AVI beserta jajaran anggotanya memiliki komitmen yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan ini bersama BNN," jelas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya