Liputan6.com, Muaro jambi - Anak itik bertali rumbai. Sudah rumbai raut-an pula. Aek setitik menjadi sungai. Sudah sungai menjadi lautan.
Itulah sebait pantun yang kekrap diucapkan Saifudin saat memulai proses menyadap nira dari batang pohon enau.
Advertisement
Sekilas pantun permohonan itu punya makna keberkahan supaya nira yang disadap hasilnya melimpah. Itu terlihat dari ungkapan Aek (air) yang mengalir seperti sungai hingga lautan.
Sore itu panas matahari mulai susut, Saifudin, pria paruh baya itu kembali ke aktivitasnya. Ia pergi ke kebunnya yang masih terdapat sebatang pohon enau. Setibanya di kebun, Saifudin dengan cekatan mulai memanjat pohon enau setinggi 10 meter hanya dibantu tangga dari sebatang bambu yang telah dimodifikasi.
Saifudin adalah satu dari lima generasi yang masih setia meneruskan profesi orang tuanya sebagai penderes nira di Desa Jambi Tulo, Kecamatan Marosebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.
Menyadap nira butuh ketelatenan dan perjuangan yang tidak mudah. Jika tak ada ketelatenan dari tangan dingin Saifudin, air nira tidak bakal menetes keluar. Bahkan sebelum memulai penyadapan itu lebih dulu harus dilakukan semacam ritual dengan mengucapkan pantun.
"Pantun permohonan itu intinya adalah kita berdoa meminta keberkahan agar hasil nira melimpah," kata Saifudin kepada Liputan6.com di Sanggar Seni dan Budaya Gerakan Muaro Jambi Bersakat (GMB) di Desa Jambi Tulo, akhir pekan lalu.
Saat menyadap nira yang pertama Saifudin, harus melakukan proses ngual atau memukul manggar (pangkal pelepah buah nira) secara keliling sebanyak tiga kali. Setelah proses ngualkemudian dilanjutkan proses mengayun manggar sampai 50 kali supaya air nira masak. Proses mengayun ini seperti menimang bayi yang menandakan bukti kasih sayang.
Saat proses mengayun manggar enau itu Saifudin mulai berpantun. Setelah manggar enau diayun, dilanjutkan proses memotong pangkal manggar. Hasilnya nira yang menetes keluar harus diwadahi dengan tabang (tempat air nira) yang berasal dari bambu jenis mayan berdiameter 5 centimeter.
"Ada wadahnya dari bambu yang diikat di pangkal manggar, dan ngambil air niranyo tu rutin, pagi sama sore," kata Saifudin yang akrab disapa Pak Te itu.
Dari Nira Muncul Kopi Tuak
Sekelumit cerita susah payahnya dari seorang penderes nira yang masih bertahan itu,
Dari sekelumit kisah penderes itu, ternyata nira bisa menjadi sajian kopi. Masyarakat di Desa Jambi Tulo menyebutnya kopi tuak, dalam bahasa Melayu, tuak berarti nira.
Nira hasil sadapan Saifudin itu dibawa ke sebuah sanggar seni dan budaya Gerakan Muaro Jambi Bersakat. Selain konsen pada pelestarian seni budaya dan tanaman anggrek alam, di sanggar ini juga dirinya meracik kopi tuak.
Meracik kopi tuak cukup mudah, pertama nira direbus di dalam ceret atau panci sampai mendidih, dan harus menggunakan tungku kayu bakar.
Saat nira mulai mendidih kemudian dimasukan varian bubuk kopi robusta secukupnya dan diaduk hingga merata. Setelah proses ini selesai, kemudian rebusan nira yang telah dicampur bubuk itu dituangkan ke dalam gelas kaca. Jadilah kopi tuak.
Kopi tuak pun lebih nikmat disajikan saat masih panas dengan kudapan singkong rebus.
"Rasanya kopinya masih terasa dan rasa manisnya lebih alami, tidak kelat dan manisnya juga lebih segar," kata Dedy Nurdin, seorang warga Kota Jambi yang sengaja datang ke Jambi Tulo untuk menikmati kopi tuak.
Pengelola sanggar seni dan budaya GMB Desa Jambi Tulo, Adi Ismanto mengatakan minuman kopi tuak ini tidak memabukkan, karena nira yang digunakan untuk meracik bubuk kopi tidak melalui proses fermentasi.
Adi ingat betul penuturan tetua di Jambi Tulo, kopi tuak ini muncul pada zaman penjajahan Belanda. Saat itu masyarakat desa tidak mampu membeli gula untuk menyeduh kopi. Bahkan kala itu masyarakat pun harus berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk mendapatkan gula.
Atas kondisi tersebut, masyarakat zaman dulu di Desa Jambi Tulo berinisiatif menyeduh kopi dengan air nira sebagai pengganti gula untuk mendapatkan rasa kopi yang manis dan nikmat.
"Zaman dulu beda dengan zaman sekarang. Zaman dulu gulo mahal dan payah nyarinyo. Sehingga orang dulu hanya bisa mengandalkan dari alam (air nira) baru biso menikmati kopi enak," kata Adi.
Advertisement
Tergerus Zaman
Dulu masyarakat setempat, kata Adi Ismanto, punya tradisi minum kopi tuak ersama kudapan singkong rebus. Namun sejak tiga dekade lalu atau sejak mulai masuknya kelapa sawit di Desa Jambi Tulo, tradisi minum kopi tuak bersama kudapan singkong rebus telah ditinggalkan.
Bukan tanpa sebab, pohon enau yang dulu masih banyak ditemukan kini berubah menjadi lahan kepala sawit. Profesi penderas nira pun kini mulai langka.
Kondisi itu memaksa masyarakat berangsur-angsur meninggalkan tradisi minum kopi tuak.
"Semenjak ada sawit, nilai ekonomis nira dianggap kurang. Kalau dulu belum ada sawit masyarakat rajin menyadap nira, dan bahkan dulu ada istilah kalau lelaki yang mau meminang anak gadis dari Jambi Tulo ini syaratnya harus bisa menyadap nira," kata Adi.
Kini lewat sebuah sanggar seni budaya dari GMB, Adi bersama anggotanya ingin kembali mengenalkan tradisi kopi tuak yang dimulai dari lingkungan sanggar seni budaya tersebut.
Adi berharap, upaya yang dilakukannya semakin berdampak pada generasi milenial saat ini, sehingga mereka mengenal proses penyadapan nira hingga disajikan menjadi minuman tradisi kopi tuak.
"Sekarang memang belum komersil atau baru sebatas di lingkungan sanggar ini. Kalau ada tamu yang datang di sanggar kita sajikan kopi tuak, dari situ kita mulai mengenalkan," kata Adi.
Simak juga video pilihan berikut ini: