Liputan6.com, Palembang - Tumbangnya DE (14) dan WK (14), siswa baru yang mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS) di SMA Taruna Indonesia Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), awalnya diduga panitia hanya mengalami kesurupan makhluk halus.
Dari informasi yang diperoleh, saat kejadian pada Sabtu, 13 Juli 2019 dini hari, saat kegiatan longmars, kedua korban meronta kesakitan dan akhirnya tak sadarkan diri.
Kepala SMA Taruna Indonesia Palembang Tarmizi Endrianto mengatakan, panitia MOS mengira para korban mengalami kesurupan.
Baca Juga
Advertisement
"(Korban) sempat dapat terapi kesurupan dan diobati. Setelah satu jam kemudian, baru dibawa ke rumah sakit," ujarnya, Kamis (18/7/2019).
Dalam pelaksanaan MOS hari terakhir, ditutup dengan longmars dari Pondok Pesantren (Ponpes) Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang menuju ke sekolah sejauh 14 kilometer.
Panitia yang hadir saat itu di antaranya Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) bidang kesiswaan SMA Taruna Indonesia Palembang sebagai Ketua Pelaksana MOS dan Wakasek bidang kurikulum sebagai wakil pelaksana MOS.
"Pada saat itu, mereka hadir dan saat korban tumbang juga. Karena (selama longmarch), ada beberapa pos untuk tempat siswa beristirahat," katanya.
Sebelum mengikuti MOS di SMA Taruna Indonesia Palembang, para orangtua dan siswa sudah menandatangani blanko kesediaan mengikuti aktivitas sekolah.
Kegiatan ini juga diakui Tarmizi, didampingi oleh koordinator lapangan (korlap) yang merupakan personel TNI.
Keikutsertaan OB (24), tersangka kekerasan siswa, yang merupakan guru Bimbingan Konseling (BK) di SMA Taruna Indonesia Palembang, hanya ditugaskan membantu saja.
"Saya bilang ke OB agar ikut membantu saja kegiatan ini, karena korlapnya juga dari TNI. Secara latar belakang pendidikan, dia berasal dari ilmu psikolog makanya diterima di sini. Anaknya baik dan pola pikirnya juga baik," ujarnya.
Klarifikasi Orangtua Korban
Namun, pernyataan berbeda disampaikan orangtua WK kepada Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti, saat menjenguk korban yang sedang mengalami koma di Rumah Sakit (RS) Charitas Palembang.
Suwardi dan Nurwanah mengungkapkan bahwa mereka tidak pernah menandatangani blanko kesediaan anaknya untuk mengikuti kegiatan sekolah.
"Saya ke rumah sakit dan bertemu orangtua WK. Mereka bilang tidak pernah mendapatkan blanko itu. Ini juga butuh diklarifikasi lagi," ujarnya.
Mendengar informasi tersebut, Kepala SMA Taruna Indonesia Palembang terlihat syok dan tidak mengklarifikasikan langsung.
Retno Listyarti melihat sendiri beberapa bagian tubuh WK yang lebam akibat benturan benda keras. Dia berjanji dalam satu minggu ke depan akan menginformasikan apa hasil evaluasi dari kasus kekerasan, yang sudah menewaskan satu orang siswa ini.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement