Liputan6.com, Palembang - Banyaknya stigma para orangtua murid yang beranggapan alumnus SMA Taruna Indonesia Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), bisa dengan mudah lulus di seleksi Akademisi Kepolisian (Akpol).
Terlebih dengan kasus dugaan kekerasan yang dialami dua orang siswa baru SMA Taruna Indonesia Palembang. Saat mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS), satu orang meninggal dunia.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Sumsel Widodo menegaskan bahwa lulusan sekolah berbasis semi militer ini bukan menjadi jaminan mudah lolos di seleksi masuk Akpol.
Baca Juga
Advertisement
"Ini tidak bisa menjamin, meskipun menerapkan sistem semi militer. Kalau dulu persentasenya bisa 30 persen lulus, sekarang sudah menurun hingga 10 persen," ujarnya kepada Liputan6.com, Kamis (19/7/2019).
Perkiraan persentase itu juga kebanyakan lolos di seleksi calon bintara (scaba) kepolisian. Karena untuk masuk Akpol, ada banyak kualifikasi yang harus dipenuhi.
Widodo pun menyayangkan kasus kekerasan ini memakan korban jiwa. Bahkan, salah satu korban lainnya yaitu WK (14), didiagnosis dokter sudah terganggu fungsi organ tubuhnya.
"Ada fungsi-fungsi organ tubuh yang tidak bekerja, seperti ginjal, jantung, dan pankreas. Kita harus evaluasi ini, akan ada tim. Namun, tetap menelusurinya jangan tidak boleh emosional," katanya.
Dia juga tidak mau berspekulasi berlebihan, terkait indikasi keterlibatan pihak sekolah lainnya selain OB, yang ditetapkan sebagai tersangka.
Sebagai alumnus pendidikan ilmu psikologi, tersangka OB seharusnya bertindak sebagai penengah jika terjadi bentrok antar siswa ataupun panitia.
Namun, tindakan guru BK di SMA Taruna Indonesia Palembang yang diduga menganiaya siswa, diakuinya berbanding terbalik dengan status OB sebagai guru Bimbingan Konseling.
"Saya juga ingin memastikan, dengan adanya blanko dari sekolah yang ditandatangani orangtua dan siswa, itu bukan membenarkan melakukan kekerasan dari pihak sekolah," katanya.
Bentuk Tim Investigasi
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti juga membenarkan hal tersebut. Dilihat berdasarkan kelulusan, alumnus SMA Taruna Indonesia tidak semuanya bisa lolos Akpol.
"Banyak yag masuk scaba polri, bukan Akpol atau Akademi Militer (Akmil). Apakah kegiatan fisik seperti ini masih penting?" ucapnya.
Pengurus Dewan Pendidikan Palembang Yeni Rosalini mengatakan, setelah kasus kekerasan di SMA Taruna Indonesia Palembang ini, dinas terkait harus segera membentuk tim khusus.
"Harus bisa mendapatkan informasi yang banyak, klarifikasi pertemuan dari KPAI juga. Bisa memberikan sanksi diberikan pihak sekolah," ujarnya.
Ketua WCC Palembang ini juga meminta Disdik Sumsel dan KPAI meninjau sekolah lain yang menerapkan sistem semimiliter.
Apakah menerapkan pola kekerasan yang sama atau tidak. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar korban jiwa akibat kekerasan di dalam sekolah tidak terjadi lagi.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement