Ekonomi Indonesia Melambat, Jokowi-Ma'ruf Harus Tancap Gas

Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Ma'ruf amin diminta langsung kerja keras dalam masa awal kepemimpinannya

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 21 Jul 2019, 10:30 WIB
Pasangan Presiden dan Wapres terpilih, Joko Widodo atau Jokowi dan Ma'ruf Amin berbincang pada Rapat Pleno Terbuka Penetapan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Pemilu 2019 di Gedung KPU, Jakarta, Minggu (30/6/2019). (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Pertumbuhan ekonomi Indonesia melaju kurang mulus di paruh pertama tahun ini. Jika dibanding tahun lalu, perekonomian Indonesia dinilai masih terbilang tumbuh, namun melambat.

Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAc) Ronny P Sasmita menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Terpilih Ma'ruf Amin harus segera gerak cepat di masa kepemimpinannya nanti.

Dia menjelaskan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 5,1 persen sepanjang semester I, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,17 persen.

"Pun Bank Dunia belum lama ini juga memberikan proyeksi yang sama, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini diperkirakan hanya mampu bertengger di angka 5,1, turun dibanding proyeksi Bank Dunia sebelumnya yang sempat memprediksi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sekira 5,2 persen," kata dia kepada Liputan6.com, Minggu (21/7/2019).

Dia membuktikan, beberapa indikator perlambatan ekonomi memang mulai terlihat, salah satunya stagnasi tingkat konsumsi rumah tangga. Berdasarkan data dari BPS, ekonomi Indonesia kuartal I 2019 hanya tumbuh 5,07 persen dibandingkan periode sama tahun lalu atau tumbuh negatif 0,52 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.

Salah satu penyebab petumbuhan ekonomi tumbuh tidak maksimal adalah melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Pada kuartal I 2019, pertumbuhan konsumsi tercatat sebesar 5,01 persen secara tahunan. Meski lebih baik dibanding periode yang sama tahun lalu, angka tersebut sedikit melambat dari kuartal IV 2018 yang mencapai 5,08 persen.

"Sebagai kontributor terbesar, konsumsi rumah tangga menjadi salah satu acuan untuk mengukur ekonomi secara keseluruhan," tambahnya.

 

Pekerja menyelesaikan konstruksi baja untuk bangunan bertingkat di Jakarta, Jumat (5/4). Kementerian Perindustrian menargetkan produksi baja nasional mencapai 17 juta ton pada 2019. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Saksikan Video Terkait Berikut Ini:


Kontribusi Konsumsi Rumah Tangga Turun

Ronny melanjutkan, tren pertumbuhan konsumsi selalu sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi. Saat konsumsi melambat, hampir dipastikan akan berefek pada agregat pertumbuhan ekonomi.

Dicontohkannya data PDB triwulan IV-2017, kontribusi konsumsi sektor rumah tangga dalam perhitungan PDB masih dominan, yaitu 56,13 persen terhadap PDB. Namun kontribusi tersebut menurun dari Triwulan IV-2016 (56,56 persen).

Penurunan tersebut terjadi akibat imbas dari konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh sebesar 4,97 persen (yoy) atau menurun dibanding Triwulan IV-2016 (4,99 persen).

"Pendeknya, bagi Jokowi dan Maaruf Amin, saat ini bukan lagi saat untuk bermain-main dengan istilah-istilah untuk memeriahkan pangung, tapi saat untuk mengisi lima tahun terakhir dengan pekerjaan nyata yang memiliki imbas fundamental terhadap perekonomian nasional," jelasnya.


BI Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II Stagnan

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menggelar konferensi pers di Jakarta, Kamis (17/1). Bank Indonesia ( BI) memutuskan menahan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI-7RRR) pada level 6 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2019 relatif sama dengan pertumbuhan ekonomi pada triwulan sebelumnya. Dengan konsumsi swasta tetap baik dan didukung keyakinan konsumen yang tetap terjaga.

Gubernur BI, Perry Warjiyo menyebutkan sektor investasi bangunan juga tetap tumbuh stabil. Sementara itu, ekspor Indonesia diprakirakan tumbuh negatif dipengaruhi terbatasnya permintaan dunia dan turunnya harga komoditas akibat berlanjutnya ketegangan hubungan dagang, meskipun ekspor baja naik pada Juni 2019.

"Dampak ketegangan hubungan dagang terhadap perlambatan ekspor juga terjadi di sejumlah negara," kata dia, di kantornya, Kamis (18/7/2019).

Selanjutnya, Perry mengungkapkan ekspor yang kontraksi mendorong penurunan impor dan investasi nonbangunan yang tumbuh terbatas.

"Ke depan, upaya untuk mendorong permintaan domestik, termasuk investasi, perlu ditingkatkan untuk memitigasi dampak negatif perlambatan ekonomi dunia," ujarnya.

Kendati demikian, secara keseluruhan, BI memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 berada di bawah titik tengah kisaran 5,0-5,4 persen.

"Bank Indonesia akan menempuh bauran kebijakan dengan Pemerintah, dan otoritas terkait untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi," ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya