Protes Anti-Pemerintah Hong Kong Kembali Digelar dan Berujung Rusuh

Aksi unjuk rasa anti-pemerintah Hong Kong kembali digelar pada hari Minggu, dan berakhir rusuh pada malam harinya.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 22 Jul 2019, 06:16 WIB
Bentrok polisi dan demonstran anti pemerintah Hong Kong (AP/Lo Kwanho)

Liputan6.com, Hong Kong - Unjuk rasa anti-pemerintah di Hong Kong kembali berujung rusuh pada hari Minggu malam, ketika lusinan orang-orang bertopeng yang tidak dikenal menyerang para komuter yang kembali dari demonstrasi.

Di sebuah stasiun kereta api di distrik Yuen Long yang berada di perbatasan Hong Kong, puluhan pria --beberapa bertopeng-- memukuli penumpang dengan tongkat kayu.

Dikutip dari The Guardian pada Senin (22/7/2019), sebagian penumpang kereta itu adalah mereka yang baru pulang dari aksi demonstrasi anti-pemerintah di Pulau Hong Kong.

Menurut beberapa saksi, alasan di balik serangan tersebut adalah karena banyak pengunjuk rasa yang pulang sebelum mendapat tanggapan dari pemerintah Hong Kong. 

Foto-foto anggota parlemen pro-demokrasi Lam Cheuk-ting, salah satu yang diserang, memperlihatkan wajahnya berdarah. Seorang jurnalis wanita yang merekam serangan itu juga tampaknya telah dipukuli.

Lembaga penyiaran publik Hong Kong, RTHK melaporkan bahwa genangan darah tersisa di lobi stasiun.

Para pengunjuk rasa menyuarakan kemarahan atas tanggapan yang ditunda oleh pihak berwenang terhadap situasi di Yuen Long, dengan 10 polisi dikerahkan ke daerah itu setelah para penyerang pergi.

Pemerintah Hong Kong mengutuk kekerasan dalam sebuah pernyataan, membenarkan bahwa "beberapa orang" telah menyerang penumpang di peron stasiun dan di dalam kompartemen kereta.

"Itu menyebabkan konfrontasi dan cedera. (Pemerintah) mengutuk keras setiap kekerasan dan akan secara serius mengambil tindakan penegakan hukum," kata perwakilan pemerintah Hong Kong dalam sebuah pernyataan resmi.

"Tindakan-tindakan keji dan kejam ini termasuk melemparkan bom bensin, membakar dan melemparkan batu bata ... Ini benar-benar tidak dapat diterima di Hong Kong," kata pernyataan itu.

Polisi kini masih menyelidiki insiden tersebut dan telah menangkap beberapa orang yang diduga terlibat dalam penyerangan terkait.

 

 


Lebih dari 400 RIbu Orang Berunjuk Rasa

Demo Hong Kong 12 Juni 2019 (Anthony Wallace / AFP Photo)

Lebih dari 400 ribu orang turun ke jalan dalam aksi unjuk rasa pada Minggu sore, sebagai bentuk kemarahan terakhir kepada pemerintah setempat atas RUU ekstradisi yang kontroversial, taktik kekerasan polisi terhadap para pengunjuk rasa, dan keluhan lainnya.

Para pengunjuk rasa lanjut usia memegang bunga sebagai tanda perdamaian berjanji untuk tinggal sampai pengunjuk rasa yang lebih muda pergi.

Tujuan mereka adalah untuk memberikan bunga kepada polisi, dengan harapan meyakinkan mereka untuk tidak melakukan kekerasan terhadap massa.

Di sepanjang rute, para pemrotes menempelkan kertas Post-It yang penuh warna dengan pesan-pesan yang mengutuk kekerasan polisi di barikade.

"Polisi jahat, memalukan!" Banyak yang berteriak. "Polisi Hong Kong tahu hukum tetapi melanggar hukum." Kerumunan orang mencemooh dan memberi isyarat ketika petugas polisi muncul.

Unjuk rasa ribuan demonstran itu berakhir di sebuah distrik bisnis di pusat Hong Kong, lalu berubah arah menuju barat ke kantor perwakilan Beijing, sementara yang lain menduduki daerah-daerah di pusat kotas bekas koloni Inggris tersebut.

Menghadapi polisi, pengunjuk rasa memukul rambu-rambu jalan dan helm mereka. Penghalang jalan plastik, kerucut lalu lintas, dan tangga dibakar di dekatnya, sementara grafiti anti-polisi tertulis di underpass.

Polisi menembakkan gas air mata berturut-turut dan maju ke arah demonstran yang membalas dengan melemparkan kembali tabung gas dan botol kaca.

Setelah polisi menembakkan peluru karet, barulah kerumunan pengunjuk rasa bisa dibubarkan.


Unjuk Rasa Kemungkinan Terus Berlanjut

Bendera Hong Kong dan China berkibar berdampingan (AFP)

Demonstrasi pada hari Minggu adalah pekan ketujuh berturut-turut ketika warga negara menentang pemerintah.

Protes, yang dimulai atas RUU yang sekarang ditangguhkan, telah tumbuh menjadi gerakan demokrasi yang lebih luas di wilayah otonomi khusus China itu.

Aksi protes menimbulkan tantangan langsung kepada otoritas Beijing atas bekas jajahan Inggris, sejak sekembalinya ke kontrol China pada 1997.

Sebagai bagian dari kesepakatan, Hong Kong dimaksudkan untuk mempertahankan otonomi tingkat tinggi, dengan peradilan independen dan pers bebas, di bawah kerangka yang dikenal sebagai satu negara, dua sistem.

Tetapi selama bertahun-tahun, penduduk telah menyaksikan aktivis dipenjara oleh pemerintah mereka, mendiskualifikasi anggota parlemen pro-demokrasi terpilih, dan membangun infrastruktur mahal yang secara fisik menghubungkan Hong Kong lebih dekat ke China daratan.

Menanggapi demonstrasi massa dan bentrokan yang dimulai pada awal Juni, pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, mengatakan RUU ekstradisi sudah mati.

Namun, para pengunjuk rasa tidak puas dengan bahasa yang dilontarkan oleh Lam. Mereka menyerukan penarikan resmi RUU tersebut, serta penyelidikan atas dugaan kebrutalan polisi terhadap pengunjuk rasa yang tidak bersenjata dalam demonstrasi sebelumnya.

"Pemerintah belum merespons, jadi kami hanya perlu terus keluar," kata Catherine Sin (21), seorang lulusan baru yang mengatakan ini adalah protes keempat yang ia hadiri dalam sebulan terakhir.

Menurut para pengamat, putaran kekerasan terbaru kemungkinan akan memicu kerusuhan lebih lanjut di Hong Kong, di mana kemarahan publik atas RUU ekstradisi telah berkembang menjadi gerakan protes yang lebih luas terhadap otonomi kota yang hilang di bawah kendali China.

"Situasinya semakin buruk karena setiap kali ada protes, ada juga bentrokan dengan polisi, dan setiap kali terjadi bentrokan itu memberi orang lebih banyak alasan untuk kembali," kata Victoria Hui, profesor ilmu politik di Notre Dame University di AS, yang mengikuti perkembangan politik Hong Kong.

 

Simak video pilihan berikut: 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya