Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla membuka Indonesia Development Forum (IDF 2019). Dalam pembukannya, Wapres membahas pentingnya teknologi, perencanaan untuk masa depan, dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Dalam merencanakan pembangunan, Wapres JK membahas pentingnya teknologi. Ia bekata teknologi merupakan suatu berkah tetapi juga memberi tantangan baru. SDM yang berkualitas pun dibutuhkan untuk mengatasi tantangan itu.
"Teknologi merubah banyak kehidupan, mengubah banyak perilaku," ujar Jusuf Kalla di JCC, Senin (22/7/2019).
"Semuanya merubah kehidupan dan merupakan tantangan, karena itulah tantangan ini harus dipenuhi sumber daya manusia," ucapnya.
Baca Juga
Advertisement
Jusuf Kalla turut berharap Indonesia tak hanya menjadi konsumen di dunia digital dan teknologi, melainkan turut aktif dalam perkembangannya.
Duta Besar Australia Gary Quinlan yang turut hadir juga memberi dukungan negaranya bagi Indonesia dalam teknologi dan pendidikan. Ia menyebut smartphone sudah lebih canggih ketimbang komputer yang membawa manusia ke bulan dan pendidikan adalah unsur penting bagi generasi masa depan.
"Pendidikan tentunya akan menentukan masa depan para anak-anak muda. Mereka butuh skill yang tepat dan kemampuan yang tepat. Pada dasarnya pendidikan itu vital untuk menyiapkan anak-anak Indonesia pada pekerjaan Industri 4.0," ujar Quinlan yang turut menyebut Australia mendukung IDF sejak tiga tahun yang lalu
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegero berkata teknologi merupakan bagian penting dari masa depan negara. Ia pun menekankan pentingnya tenaga kerja yang bisa beradaptasi dengan teknologi agar memiliki kesinambungan terhadap tenaga kerja yang dibutuhkan investor.
"Teknologi, digitalisasi, jadi warna masa depan kita. Tenaga kerja masa depan haruslah yang adaptif terhadap perkembangan teknologi tersebut," jelas Menteri Bambang.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kisah Bank dan Pekerja Melakukan Transformasi Digital
Rasa cemas sempat melanda pikiran Fajar Adityo Ismantoro, salah satu Customer Service Officer (CSO) Bank Mandiri di kantor cabang Plaza Mandiri.
Akhir 2018, ia dan rekan-rekannya mendapat informasi dari kepala cabang tentang proyek awal Digital Banking yang akan berlokasi di tempat yang sama.
"Saya khawatir, apakah nanti saya akan dipindahkan ke unit atau divisi lain kalau nanti ada pengurangan staf di kantor cabang? Jika saya dipindahkan ke divisi legal, saya takut tak bisa menguasai bidang itu," ungkap Fajar yang mengawali profesinya sebagai teller pada 2009 di bank terbesar secara aset itu.
Sejak Bank Mandiri meluncurkan aplikasi mobile pertama di platform Blackberry pada 2011 silam, Fajar merasakan adanya perubahan sistem perekrutan karyawan di bank pelat merah itu.
"Dulu setelah saya bekerja satu tahun menjadi teller, saya langsung diangkat sebagai pegawai tetap. Akan tetapi, tahun berikutnya hingga sekarang, makin sulit bagi teller menjadi karyawan tetap," sebutnya.
Namun, kegelisahan Fajar tak berangsur lama setelah ia berkonsultasi dengan kepala cabang. Ia yakin jika posisinya cukup aman saat ini.
"Memang saat ini kami mulai mengalihkan nasabah alihkan ke digital, namun ada hal-hal yang tak bisa dipenuhi melalui digital. Banyak nasabah yang masih butuh konsultasi secara langsung dengan petugas bank, baik itu mengenai produk perbankan. Saya rasa perampingan (karyawan) itu ada tapi pegawai seperti teller dan CSO masih akan tetap dibutuhkan," ujar Fajar.
Sementara, Dandy Permana, salah satu teller BCA di kantor cabang Thamrin tak merasa terancam karena yakin jika bank akan membekali ilmu bagi para karyawannya agar lebih sigap beradaptasi dengan digitalisasi perbankan.
Selain melayani nasabah bertransaksi, Dandy yang masih kuliah dan menjadi karyawan magang di bank swasta ini, mengaku jika ia dan rekan kerjanya juga harus bisa menawarkan produk perbankan.
"Jadi teller dan CSO juga ditargetkan cross-selling (berjualan) produk-produk seperti KPR, KKB, dan sebagainya," ujar dia.
Kecemasan Fajar dan pengalaman Dandy untukberjualan merupakan segelintir contoh yang tengah dialami para karyawan perbankan tanah air sebagai dampak disrupsi teknologi digital yang terjadi di industri perbankan.
Berdasarkan survei Digital Banking in Indonesia 2018 yang oleh PricewaterhouseCoopers (PwC), para pekerja di sektor perbankan sedang mengalami proses bisnis dan tim yang tidak fleksibel akibat minimnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian di bidang digital.
Manajemen perbankan tak menyangkal jika perbankan mulai mengurangi biaya operasional perbankan, terutama dalam pembukaan kantor cabang seiring dengan tuntutan bagi perbankan untuk dapat bertransformasi menjadi digital banking.
Direktur Operasional dan Bisnis Bank Mandiri Hery Gunardi mengakui, jika perampingan kantor cabang telah terjadi sejak tahun lalu.
Dibandingkan beberapa tahun lalu yang umumnya membuka 100-200 cabang, tahun lalu Bank Mandiri hanya membuka 50 kantor cabang. Adapun tahun ini, bank pelat merah itu hanya membuka 10 cabang.
Penyusutan ekspansi kantor cabang sejalan dengan transformasi perbankan digital, di mana Bank Mandiri telah mengurangi interaksi nasabah pada bank secara fisik dengan mengembangkan Mobile Apps atau Digital Channel.
Saat ini, Hery menuturkan, transaksi digital di Bank Mandiri telah mencapai 92 persen, sementara transaksi konvensional atau di kantor cabang sekitar 8 persen.
"Kami ingin menaikkan produktivitas,baik dari penghimpunan Dana PihakKetiga maupun kredit. Penghematan modal kerja dari sisi pembukaan cabang saja bisa berarti lebih dari Rp 100 miliar," ungkap Herry.
Berbeda dengan BCA yang masih ingin membuka kantor konvensional dan merekrut para teller. Presiden Direktur BCA, JahjaSetiaatmadja mengatakan, BCA masih akan tetap ekspansi membuka kantor cabang baru dan karyawan baru meski transaksi digital di BCA telah mencapai 98 persen saat ini
"Bank akan tetap membutuhkan teller danCSO, terutama transaksi besar di atas limit tertentu masih dilakukan di kantor cabang. Hal ini untuk melindungi nasabah dari kelalaian atau pihak-pihak yang mempunyai niat jahat," ungkap Jahja.
Advertisement
Berebut SDM di Era Digital
Meski bank-bank besar berlomba dalam meluncurkan produk digital perbankan, bukan berarti industri keuangan ini akan segera merampingkan tenaga kerja.
Justru,mencari sumber daya manusia (SDM) yang berketerampilan di bidang digital menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perbankan Indonesia dalam transformasi digital layanan perbankan.
Survei Digital Banking in Indonesia 2018 yang dirilis PricewaterhouseCoopers (PwC), sebesar 52 persen responden dariperbankan Indonesia menyatakan ketidakfleksibelnya proses bisnis dan tim, serta kurangnya SDM yang memiliki keahlian digital menjadi tantangan ketiga terbesar dalam mengimplementasi strategi digital. Hal ini akan menjadi risiko bagi perbankan dalam 2-3 tahun ke depan.
Pemerintah Dorong Pengembangan SDM Digital
Saat ini, Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia berupaya untuk terus mendorong pengembangan SDM digital.
Salah satunya dengan memberikan 25.000 beasiswa digital bagi para siswa pada 2019.Jumlah ini akan terus meningkat 100 persen menjadi 50.000 beasiswa pada 2020.
Menteri Kominfo, Rudiantara mengatakan, jumlah ini masih terbilang kecil dibandingkan kebutuhan tenaga digital di pasar yang diprediksi oleh Bank Dunia, mencapai 600.000 per tahun.
Presiden Direktur Commonwealth Bank Indonesia, Lauren Sulistiawati mengapresiasi langkah yang dilakukan Kominfo maupun regulator dalam mengembangkan tenaga kerja yang siap beradaptasi di era digital. Namun, hal itu, kata Lauren, masih belum mewadahi kebutuhan SDM digital yang diperlukan perusahaan saat ini.
"Kita tak hanya bersaing dengan sesama perbankan, tapi juga dengan teknologi finansial (tekfin), e-commercedan startup lainnya. Semua memerlukan talenta yang hampir sama, yakni harus memahami digital dan memiliki daya inovasi tinggi," ujar Lauren.
Menurut konsultan Informasi Teknologi (IT) Independen sekaligus Founder Baba Studio, Zeembry Neo, kurangnya digital talent tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.
"SDM IT masih belum mencukupi untuk menghadapi tuntutan perkembangan zaman. Kalau menunggu SDM menjadi ahli, bank bisa ketinggalan. Maka, hal yang paling cepat itu adalah menggunakan tenaga outsource atau ‘membajak’," kata Zeembry.
Bank-bank besar sebenarnya secara rutin membekali para karyawan dengan pelatihan ulang(retraining). Salah satunya, bank BCA yang memiliki program e-learning untuk membekali ilmu bagi seluruh karyawan BCA.
Armand Wahyudi Hartono, Wakil Direktur BCA menuturkan program e-learning ini merupakan aplikasi yang dapat diunduh di ponsel pintar,sehingga para karyawan bisa belajardi mana pun dan kapan pun.
"Module-learning ini wajib bagi seluruh karyawan BCA. Modul ini dilengkapi tes dan permainan. Seluruh karyawan mendapat kesempatan latihan yang sama, dan tak bisa untuk dilewatkan,” ungkap Armand yang juga mengajar di e-learningapps BCA.
Para bankir mengakui, menerapkan pelatihan ulang bagi karyawan bukan suatu hal yang mudah. Lantaran, taksemua karyawan mau mengubah polapikir (digital mindset) para pekerja danmenyesuaikan (agile) budaya kerjad engan kondisi perubahan digital saat ini.
Advertisement