Liputan6.com, Jakarta - Empat tahun lalu, setengah juta orang terjangkit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera. Insiden itu terjadi sejak Juli hingga Oktober 2015.
Pada 29 Oktober 2015, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sebanyak 529.527 orang di enam provinsi terjangkit ISPA. Rinciannya, di Kalimantan Tengah mencapai 60.225 orang dan di Riau 79.888 orang.
Advertisement
Kemudian, di Jambi 129.229 orang, Sumatera Selatan 115.484 orang, Kalimantan Barat 46.672 orang, dan Kalimantan Selatan 98.029 orang.
Sementara, BNPB juga mencatat ada 24 orang, termasuk bayi meninggal dunia karena terpapar asap kebakaran hutan. Muhammad Husin Sahputra (28 hari), Arika Patina Ramadhani, dan Latifa Ramadani (1 tahun 3 bulan) meninggal dunia akibat ISPA.
Latifa menderita sesak napas dan muntaber parah, sementara bayi Arika terinfeksi penyakit paru-paru.
Hal inilah yang mendorong sekelompok masyarakat menggugat negara. Mereka adalah Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin dan Mariaty.
Ari Rompas, penggugat sekaligus aktivis dari Greenpeace Indonesia, bahkan mengatakan, bukan hanya menderita sakit, warga yang terjangkit ISPA harus mengeluarkan biaya kesehatan yang tak sedikit untuk pengobatan.
"Ini warga sangat dirugikan, bukan hanya dampak kesehatan tetapi juga materi karena mereka harus berobat dengan uang sendiri," kata Ari kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (22/7/2019).
Bahkan, menurut Ari, berdasarkan penelitian yang dilakukan Universitas Harvard dan Universitas Columbia, Amerika Serikat, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan menyebabkan 100.300 kasus kematian dini di Asia Tenggara.
Dalam laporan berjudul Public Health Impacts of the Severe Haze in Equatorial Asia in September-Oktober 2015: Demonstration of New Framework for Informing Fire Management Strategies to Reduce Downwind Smoke Exposure, mengungkap pada tahun 2006 (dengan periode yang sama), angka kematian dini yang disebabkan paparan asap karhutla mencapai 37 ribu kasus.
"Sebenarnya, orang itu masih bisa berumur panjang tapi karena kebakaran hutan, mereka meninggal di usia muda," kata Ari.
Mereka menggugat Presiden RI (Tergugat I), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (Tergugat II), Menteri Pertanian RI (Tergugat III), Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional RI (Tergugat IV), Menteri Kesehatan RI (Tergugat V), Gubernur Kalimantan Tengah (Tergugat VI), dan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah (Tergugat VII). Mereka dinyatakan menang.
Sidang digelar hingga majelis hakim memutuskan perkara yang digugat kelompok masyarakat pada 22 Maret 2017 itu. Dari hasil pemeriksaan saksi dan ahli, sampailah pada keputusan Pengadilan Negeri Palangka Raya, yang mengeluarkan putusan berikut ini:
1. Melakukan peninjauan ulang dan merevisi izin-izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan yang telah terbakar maupun belum terbakar berdasarkan pemenuhan kriteria penerbitan izin serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;
2. Melakukan penegakan hukum lingkungan perdata, pidana maupun administrasi atas perusahan-perusahaan yang lahannya terjadi kebakaran;
3. Membuat roadmap (peta jalan) pencegahan dini, penanggulangan dan pemulihan korban kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan lingkungan;
Menghukum Presiden RI, Menteri LHK, Menteri Kesehatan dan Gubernur Kalimantan Tengah untuk:
1. Mendirikan rumah sakit khusus paru dan penyakit lain akibat pencemaran udara asap di Provinsi Kalimantan Tengah yang dapat diakses gratis bagi korban asap;
2. Memerintahkan seluruh rumah sakit daerah yang berada di wilayah provinsi Kalimantan Tengah membebaskan biaya pengobatan bagi masyarakat yang terkena dampak kabut asap di Provinsi Kalimantan Tengah;
3. Membuat tempat evakuasi ruang bebas pencemaran guna antisipasi potensi kebakaran hutan dan lahan yang berakibat pencemaran udara asap;
4. Menyiapkan petunjuk teknis evakuasi dan bekerjasama dengan lembaga lain untuk memastikan evakuasi berjalan lancar;
Menghukum Presiden RI, Menteri LHK, Gubernur Kalimantan Tengah untuk membuat:
1. Peta kerawanan kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;
2. Kebijakan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;
3. Menghukum Menteri KLHK untuk segera melakukan revisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 41 Tahun 2011 tentang Standar Fasilitasi Sarana dan Prasarana Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model;
Menghukum Menteri KLHK dan Gubernur Kalimantan Tengah untuk:
1. Mengumumkan kepada publik lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang izinnya;
2. Mengembangkan sistem keterbukaan informasi kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah;
3. Mengumumkan dana jaminan lingkungan hidup dan dana penanggulangan yang berasal perusahaan – perusahaan yang lahannya terbakar;
4. Mengumumkan dana investasi pelestarian hutan dari perusahaan-perusahaan pemegang izin kehutanan;
Menghukum Gubernur Kalimantan Tengah untuk:
1. Membuat tim khusus pencegahan dini kebakaran hutan, lahan dan perkebunan di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang berbasis pada wilayah desa yang beranggotakan masyarakat lokal,
2. Mengalokasikan dana untuk operasional dan program tim;
3. Melakukan pelatihan dan koordinasi secara berkala minimal setiap 4 bulan dalam satu tahun;
4. Menyediakan peralatan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan;
5. Menjadikan tim tersebut sebagai sumber informasi pencegahan dini dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah;
6. Segera menyusun dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) bersama DPRD Kalimantan Tengah yang mengatur tentang Perlindungan Kawasan Lindung seperti diamanatkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Atas putusan itu, pemerintah tidak terima dan mengajukan banding. Namun Pengadilan Tinggi Palangkaraya menolak gugatan banding itu dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya pada 19 September 2017.
Pemerintah kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) yang kemudian ditolak pada Selasa 16 Juli 2019 lalu.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pengajuan PK
Tak berhenti di situ, pemerintah juga berencana mengajukan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko, mengatakan pemerintah mengajukan PK karena tak mau dianggap tak becus mengatasi masalah kebakaran hutan ini.
"Berkaitan dengan obligation, berkaitan dengan responsibility, jangan sampai nanti dilihat oleh negara luar, 'wah negara Indonesia masih lemah dalam menangani ini'," kata Moeldoko kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (22/7/2019).
Moeldoko mengaku telah melakukan evaluasi bersama dengan Menteri Kehutanan Siti Nurbaya. Kesimpulan mereka, selama ini pemerintah telah berupaya maksimal dalam mengatasi kebakaran hutan.
"Pemerintah ini bukan diam, pemerintah ini bekerja keras untuk melakukan itu, baik melakukan evaluasi maupun mengambil langkah-langkah baru dalam mengatasi kebakaran hutan. Kami tidak diam, pemerintah bekerja keras untuk itu," ujar Moeldoko.
"Kalau masih ada pandangan atau keputusan hukum seperti itu, maka pemerintah punya upaya lain, upaya baru untuk melakukan peninjauan kembali," lanjutnya.
Pemerintah, kata dia, sudah melakukan berbagai upaya misalnya restorasi gambut. Pemerintah juga telah melakukan upaya hukum pembinaan lingkungan bagi pelaku pembakaran hutan.
Sementara, untuk tuntutan pembangunan rumah sakit khusus paru-paru, kata Moeldoko, pemerintah tak keberatan.
"Banyak rumah sakit di daerah. Enggak perlu ada satu rumah sakit sendiri (khusus), kan bagaimana mengoptimalisasi, nanti dilihat lagi. Menurut saya sih hal yang biasa itu, kalau merupakan tanggung jawab pemerintah, enggak ada masalah," tandas Moeldoko.
Sementara, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Jaksa Agung HM Prasetyo selaku pengacara negara. Sebagai Tergugat II, Menteri LHK akan menunggu salinan putusan kasasi dari MA.
"Kita akan melakukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Dan saya akan koordinasi kepada Jaksa Agung sebagai pengacara negara, jadi kita akan lakukan," kata Siti Nurbaya di Jakarta.
Siti mengatakan, ia akan mempelajari dokumen tersebut bersama beberapa pihak yang digugat. Dia juga mengklaim sudah mempunyai analisis tentang apa saja yang digugat.
"Ya saya harus lihat dulu dokumennya. Tapi walaupun seperti itu, kita punya analisis tentang apa-apa yang digugat, sebab tahun lalu kan ketika mereka menang di pengadilan tinggi kan, juga kita tahu juga," kata Siti.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono menilai, putusan kasasi MA itu lebih untuk mengingatkan pemerintah bahwa ada hal lain yang harus dilakukan selain menangani kebakaran hutan. Karena, kata dia, apa yang digugat tersebut ada dalam bagian turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang belum kelar.
"Karena saya tahu bahwa sebagian dari turunan itu sudah digarap sejak dari awal hadirnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Lambat terbitnya turunan undang-undang itu karena memang tidak mudah untuk menerjemahkan bahasa ke dalam bahasa perundang-undangan. Kalay salah tulis maka akan timbul multitafsir yang justru malah berakibat tidak baik," kata Bambang kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (22/7/2019).
Meski begitu, kata Bambang, dirinya tidak mengetahui apa yang akan dijadikan novum pemerintah untuk mengajukan PK. Sebab, ia mengaku dirinya tak dilibatkan dalam merumuskan PK tersebut.
"Kalaupun mau PK mungkin karena punya novum bahwa apa yang diminta itu sebenarnya sedang dibuat namun belum tuntas. Tetapi saya tidak tahu novum baru yang akan digunakan pemerintah," tandas Bambang.
Tunggu Surat Kuasa
Sementara, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, pihaknya kini masih menunggu surat kuasa dari pemerintah untuk mengajukan PK.
"Ya memang jaksa itu pengacara negara, kita tunggu nanti di sini kan ada surat kuasa khusus sebagai dasar kita punya legal standing untuk mewakili pemerintah dalam proses persidangan di pengadilan, baik di tingkat negeri tinggi maupun mahkamah agung," ujar dia di Jakarta, Senin (22/7/2019).
Prasetyo juga mengaku akan mencari bukti baru untuk diajukan ke Mahkamah Agung.
"Kita akan cari novum hal-hal yang baru yang bisa kita sampaikan. Sehingga nanti dicerna dengan baik oleh pihak pemutus, MA diharapkan putusannya akan berbeda," kata Prasetyo.
Dalam pengajuan PK, Jaksa Agung akan berkoordinasi dengan beberapa pihak terkait. Termasuk juga dengan kejaksaan-kejaksaan di bawahnya.
"Karena jaksa adalah pengacara negara dan kita tentunya akan mewakili negara di dalam," ujarnya.
Prasetyo menegaskan, apa yang ia lakukan bukan untuk membantu Jokowi secara pribadi. Tapi yang ia bela yakni Jokowi sebagai pemimpin negara.
"Pak Jokowi kan digugat bukan sebagai pribadi, tapi sebagai pemimpin negara. Nah kita harus tampil sebagai pengacara kepala negara dan pemerintahan," ucapnya.
Prasetyo berpendapat, saat ini pemerintah tak pernah berdiam diri dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan.
Buktinya, kata Prasetyo, saat ini statistik peristiwa kebakaran hutan terus menurun. Bahkan, kata dia, baik pelaku perorangan maupun korporasi sudah menerima hukuman.
Advertisement
Tak Seharusnya Ajukan PK?
Sebagai penggungat, Ari Rompas mengaku kecewa dengan rencana pemerintah untuk mengajukan PK. Sebab, kata Ari, dirinya dan kawan-kawan mengajukan gugatan hanya agar pemerintah menjalankan fungsinya dengan benar.
"Sebagai pemerintah seharusnya hanya melakukan eksekusi putusan-putusan itu, sehingga kami sebagai pengugat memiliki rasa aman dari kebakaran hutan," ujar Ari kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (22/7/2019).
Ari pun yakin PK yang diajukan pemerintah tak akan berhasil, sebab dia memiliki bukti yang cukup kuat bahwa pemerintah harus bertanggungjawab atas dampak kebakaran hutan 2015 lalu.
"Mereka mau PK pakai apa? Kalau pakai novum bahwa kebakaran hutan itu sudah teratasi, tapi kerugian negara dan dampaknya sangat besar sekali. Kalau mereka mau menunjukkan fakta-fakta setelah (peristiwa 2015) itu tidak akan berpengaruh," kata dia.
Ari pun yakin MA akan menolak PK yang diajukan pemerintah. Untuk itu, dia berharap pemerintah segera menjalankan keputusan pengadilan.
"Kami hanya akan meminta eksekusi segera dijalankan," ujar Ari.
Sementara, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati menilai, aneh jika pemerintah justru mengajukan PK. Padahal, kata dia, putusan hukum MA itu isinya hanya meminta pemerintah melaksanakan kewajibannya.
"Kalau PK maksudnya apa? Apakah pemerintah menolak melindungi warga negara?," ujar Nur kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (22/7/2019).
Nur meminta pemerintah agar putusan tersebut tidak hanya dilihat soal kalah atau menang.
"Ini peringatan warga negara kepada pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya dan melindungi warga yang menjadi korban," kata dia.
Untuk itu, kata Nur, Walhi berharap pemerintah tidak mengajukan PK dan konsisten melaksanakan putusan pengadilan.
"Karena putusan yang dikeluarkan merupakan tuntutan penggugat, bukan hal yang luar biasa, tapi hanya permintaan warga negara," ujar Nur.
Seperti diketahui, kata Nur, di Kalimantan Tengah, Barat dan Selatan kebakaran hutan terjadi setiap tahun selama puluhan tahun. Sementara warga yang menjadi korban dampak kebakaran tidak pernah mendapat perlindungan.
Mereka, kata Nur, harus menanggung gangguan kesehatan dalam jangka panjang.
"Bagaimana balita menjadi korban asap, gangguan kesehatan sehingga berpengaruh pada kecerdasan, jadi ini bukan bicara soal generasi saat ini, tetapi generasi yang akan datang," ujarnya.
Ditambah lagi, mereka berobat dengan biaya sendiri.
"Mereka berobat dengan dana sendiri. Kalau tidak ada kebakaran hutan, mereka tidak akan mengeluarkan uang untuk berobat," ucap Nur.
Sementara, Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan seharusnya pemerintah tak perlu mengajukan PK. Sebab, apa yang menjadi tuntutan warga itu adalah hal sederhana, yaitu melakukan fungsi pemerintahan.
"Kalah pun tidak berakibat apapun kepada pemerintah, tidak mengurangi wibawa, tidak ada urgensinya bagi pemerintah mengajukan PK. Justru yang urgen adalah melaksanakan fungsi-fungsinya," ujar Margarito kepada Liputan6.com, Senin (22/7/2019).
Margarito mengatakan, syarat mengajukan PK setidaknya ada dua, yaitu adanya bukti baru atau menemukan adanya kekeliruan dalam putusan hakim. "Kalau pemerintah bisa buktikan itu, bisa ajukan PK. Kalau tidak, bisa kalah lagi," ujar dia.
Jika PK yang diajukan pemerintah ditolak, kata Margarito, justru bisa menurunkan citranya.
"Jadi, menurut saya, patuhi saja putusan ini, tunjukkan dengan memperbaiki masalah ini dengan performa yang baik, itu jawaban paling hebat daripada mengajukan PK," tandas Margarito.
Sementara, Pengamat Hukum Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai putusan MA seharusnya menjadi kritik membangun bagi pemerintah. Di mana, kata dia, selama ini kinerja jajaran Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup belum melaksanakan tugasnya dengan baik.
"Jadi jika Presiden mencari cari alasan PK adalah sikap yang tidak bijaksana," kata Fickar kepada Liputan6.com.
Demikian juga, kata dia, sikap Jaksa Agung yang seolah ingin membela Presiden Jokowi tanpa melihat substansi isi putusan.