Liputan6.com, Jakarta Pendidikan seks sejak dini boleh saja diperkenalkan orangtua pada anak dan remaja. Hal ini dilakukan para generasi muda yang tengah bertumbuh tersebut memahami kesehatan reproduksi.
"(Pengenalan) Seks sejak dini tidak harus belajar tentang masalah seks. Menurut saya, contoh pendidkan seks pada anak itu sekadar paham bahwa mereka itu laki-laki dan perempuan," ujar Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam sebuah peringatan Hari Anak Nasional 2019 di Jakarta baru-baru ini, ditulis Selasa (23/7/2019).
Baca Juga
Advertisement
Artinya, anak SD cukup mengenal perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pengenalan pendidikan seks seputar reproduksi tidak hanya dilakukan orangtua saja. Pihak sekolah, seperti pelibatan guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan Olahraga ikut mendukung.
"Misalnya, anak kelas 1 SD, guru Penjaskesnya membimbing anak mengenali soal testis. Lihat testisnya (anak), apakah ada dua testis atau tidak. Kalau cuma satu testis itu berbahaya. Berarti ada satu testis yang tidak turun. Saat anak beranjak usia belasan tahun, kondisi itu bisa menjadi kanker," tambah Hasto.
Oleh karena itu, para orangtua, saran Hasto, mengenali anaknya sendiri dari segi pendidikan seks. Kalau testis anak hanya satu, harus dilakukan pemeriksaan rontgen untuk mengecek, testis satunya turun atau tidak.
Simak Video Menarik Berikut Ini:
Virus Merusak Sperma
Lalu, hati-hati bila anak laki-laki mengalami gondongan. Gondongan atau yang dikenal dengan penyakit Parotitis epidemica disebabkan virus. Kehadiran antigen dan antibodi virus ini bisa merusak testis.
"Kalau anak SD (yang laki-laki) kena gondongan, virusnya bisa merusak testis. Jadi, saat (virus) masuk ke tubuh kita, dia (gondongan) ternyata antigen antibodinya menghancurkan sel-sel testis sehingga saat dewasa tidak bisa menghasilkan sperma," tegas Hasto.
Kesehatan reproduksi pun bisa dikemas mengasyikan sesuai kapasitas usia anak. Hasto pun mengungkapkan, dirinya ingin melahirkan modul untuk kesehatan reproduksi. Namanya bukan 'pendidikan seks' melainkan soal kesehatan reproduksi, terutama berbagai risiko kesehatan terkait pendidikan dini.
Advertisement