HEADLINE: 50 Tahun Lalu Manusia Menjejakkan Kaki di Bulan, Kapan Bisa ke Mars?

Negara-negara di dunia sedang berlomba mencari cara untuk mengirim manusia ke Mars. Belum berhasil, meski 50 tahun lalu NASA sudah mengirim orang ke Bulan.

oleh Afra Augesti diperbarui 24 Jul 2019, 00:02 WIB
Banner Infografis Apollo dan Jejak Manusia di Bulan. (Sumber Foto: AFP)

Liputan6.com, Washington DC - Pagi itu, 50 tahun yang lalu, Neil Armstrong, Edwin 'Buzz' Aldrin, dan Michael Collins menyantap banyak makanan. Bukan tanpa alasan, ketiganya butuh asupan cukup untuk langsung menerbangkan roket menuju Bulan.

Mereka pun sukses menjalani misi pendaratan manusia pertama di Bulan. Keberhasilan misi Apollo 11 setengah abad silam itu, kini diperingati besar-besaran di Amerika Serikat. 

Apollo 11 diluncurkan pada 16 Juli 1969 pukul 13.32 waktu setempat dari Kennedy Space Center (dikenal sebagai Pusat Operasi Peluncuran NASA), Florida, Amerika Serikat, menggunakan roket Saturn V SA-506.

Pesawat ruang angkasa tersebut membawa tiga kru utama, yakni Neil Armstrong sebagai komandan (commander), Edwin 'Buzz' Aldrin sebagai pilot Modul Bulan (Lunar Module) Eagle, dan Michael Collins sebagai pilot Modul Komando (Command Module Pilot) Columbia.

Ketiganya berhasil mencapai jarak terdekat dengan Bulan pada 19 Juli pukul 17.21 waktu setempat. Aldrin dan Armstrong lalu melepaskan diri bersama Eagle dari Apollo 11, meninggalkan Collins sendirian, melayang bersama Columbia di orbit Bulan.

Infografis Apollo dan Jejak Manusia di Bulan. (Liputan6.com/Triyasni)

Armstrong dan Aldrin sampai di permukaan Bulan pada 20 Juli pukul 20.17 waktu setempat, mendaratkan Eagle dengan mulus di sana. Sedangkan Collins memantau keduanya dan menjaga Columbia agar tetap berada di orbitnya. Berjaga-jaga semisal modul tersebut terhempas benda asing.

Setelah enam jam melakukan persiapan, tepat pada 21 Juli pukul 02.56 waktu setempat, orang pertama akhirnya keluar dari modul Bulan. Ia adalah Neil Armstrong, sosok yang sekarang kita kenal sebagai manusia pertama yang melakukan moonwalk.

Disusul oleh Buzz Aldrin, 19 menit setelahnya. Mereka menghabiskan waktu selama sekitar 2 jam 15 menit untuk moonwalk dan mengumpulkan 21,5 kg materi-materi Bulan yang akan dibawa pulang ke Bumi.

Total keseluruhan, Armstrong dan Aldrin menghabiskan 21 jam 31 menit di permukaan Bulan, di sebuah situs yang mereka beri nama Tranquility Base, sebelum kembali ke Columbia menemui Collins.

Ketiganya balik ke Bumi pada 22 Juli dan sampai di planet ini pada 24 Juli. Menghempaskan diri ke Samudra Pasifik setelah 8 hari berada di angkasa luar.

Sambutan kala itu amat meriah, tak hanya dari Presiden Richard Nixon, tapi juga warga dunia yang menyaksikan langsung detik-detik ketiga astronaut terbang dari Bumi, berada di Bulan, dan kembali dengan selamat ke Bumi. 

Setelah Bulan, misi ambisius selanjutnya adalah membuat jejak manusia di Mars. Mungkinkah terwujud?

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Bulan Bukan Lagi Tujuan

Bagian panorama dari kamera IMP yang dipasang di tiang lander "Mars Pathfinder" NASA, mencakup "Puncak Kembar" di cakrawala, dan penjelajah Sojourner di sebelah batu yang disebut "Yogi". Gambar diambil pada 1997. (NASA / JPL)

Delapan tahun setelah Presiden John F. Kennedy mengumumkan ambisinya untuk mengirim manusia ke Bulan, keinginan tersebut akhirnya terwujud, melalui Apollo 11.

Namun pil pahit harus ditelan penduduk AS, setelah pembunuhan tragis Kennedy pada 1963 dan tak sempat melihat cita-citanya terkabul. Di bawah kepemimpinan Richard Nixon, AS terus berupaya untuk menjadi 'Negara Nomor Satu' di antariksa. AS mati-matian membalas kekalahan dari Uni Soviet yang berhasil mengirim manusia pertama ke angkasa luar, Yuri Gagarin. 

Setelah misi Apollo 11 berakhir, negara adikuasa itu masih bertahan dengan program-program pengiriman manusia ke Bulan lainnya, antara lain Apollo 12, Apollo 14, Apollo 15, Apollo 16, dan Apollo 17. Kelimanya pun sukses mengantarkan orang ke Bulan. Semuanya menjajaki tanah Bulan.

Namun misi Apollo hanya bisa bertahan sampai angka 17 saja. Setelahnya, NASA seolah memilih rehat dari perjalanan panjang pencapaian terbesar umat manusia tersebut.

Sejak saat itu, belum pernah ada antariksawan yang kembali ke satelit Bumi, meskipun banyak wahana dan robot yang dikirim ke Bulan untuk meneliti atau sekedar menjelajah, berharap menemukan sesuatu yang baru. Namun mesin-mesin ini tak berawak.

Sesungguhnya, NASA telah membangun beberapa proyek berawak sejak Apollo berakhir, termasuk Constellation Program, pada pertengahan 2000-an. Sayangnya, tidak satupun dari program-program tersebut yang mampu menempuh jarak terjauh di antariksa.

Jadi, mengapa NASA bisa cepat memproses seluruh misi Apollo pada zaman dahulu, sedangkan sekarang tidak? Apa yang membedakan Apollo dengan misi sekarang? 

Sedangkan fokus NASA juga telah berubah. Badan ruang angkasa milik pemerintah AS ini justru seolah merubah 'sasarannya': mengirim manusia ke Mars. 

Ya, NASA berencana untuk mengirim astronaut terbaiknya ke Mars dalam waktu yang tidak lama lagi. Menurut keterangan resmi di situs mereka, NASA hendak membawa orang ke Planet Merah pada tahun 2033.

Meski belum pernah ada satu pun orang yang berhasil menapaki Mars, namun sejumlah wahana penjelajah telah berhasil mendarat di sana, guna meneliti tanah dan unsur-unsur lain yang kemungkinan bisa menunjang makhluk hidup.

Walupun menarik untuk memikirkan tentang manusia yang bisa hidup di Mars, namun kenyataannya adalah mereka akan menghadapi banyak masalah selama penjelajahan mereka.

Mulai dari badai debu yang bertahan lama, tingkat radiasi matahari yang sangat tinggi, hingga kelangkaan pasokan makanan dan pendukung kesehatan secara keseluruhan.

Apakah Kita Bisa Kirim Orang ke Mars dalam 10 Tahun ke Depan?

Para astronaut harus menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk tiba di Mars. Sebelum penerbangan dilakukan, mereka harus mempertimbangkan letak-letak planet-planet di Tata Surya secara detail, karena jarak di antara planet-planet tersebut selalu berubah saat mereka mengelilingi matahari.

Sementara jarak rata-rata antara Mars dan Bumi adalah 140 juta mil, jarak keduanya kian dekat satu sama lain, tergantung pada posisi mereka di sekitar matahari. Bumi dan Mars berada di posisi terdekat satu sama lain ketika Mars berada pada posisi terdekatnya dengan matahari -- dan Bumi berada di posisi terjauh dari Matahari.

Pada saat itu, kedua planet akan berjarak 33,9 juta mil satu sama lain. Ketika planet-planet terletak di sisi berlawanan dari matahari, mereka berada pada jarak 250 juta mil satu sama lain.

Menurut NASA, peluncuran ideal ke Mars akan memakan waktu sekitar sembilan bulan. Demikian pula dengan waktu tempuh kembali ke Bumi. Ini belum ditambah dengan lama waktu saat mereka tinggal di Mars.

"Kalau untuk sepuluh tahun ke depan, pesimistis. Artinya begini...Bulan itu jaraknya hanya 384.400 kilometer, sementara Mars jaraknya bisa variatif. Bisa sampai 210 juta kilometer atau lebih, tergantung pada periode orbitnya pada saat itu. Satu perjalanan ke Bulan bisa dicapai hanya dalam waktu tiga hari, sementara ke Mars minimal enam bulan, maksimal dua tahun," jelas pengamat astronom Ma'rufin Sudibyo kepada Liputan6.com pada Selasa (23/7/2019). 

Banyak kendala yang harus dihadapi oleh astronaut ingin menuju Mars. Susah, tak gampang, dan para antariksawan pasti paham soal ini. Manusia yang pergi ke Bulan akan mengalami kondisi tanpa gravitasi, tapi itu terjadi hanya tiga hari dan relatif mudah untuk diatasi.

Sementara ketika seseorang ada di Mars, dia akan mengalami kondisi tanpa gravitasi selama enam hari berturut-turut, ini juga paling minimal, sehingga bisa sangat mempengaruhi tubuhnya.

"Massa tubuh kita sebagian besar dikendalikan oleh gravitasi Bumi, seperti peredaran darah, kepadatan tulang, dan sistem pencernaan. Ketika gravitasi tidak ada, semua itu akan terganggu. Ada satu studi yang menyatakan, selama astronaut berada di antariksa, dia kehilangan massa tulang sebanyak 1% per bulan," jelas Ma'rufin.

Selain terkendala pada gravitasi, ada lagi rintangan yang harus diatasi oleh ilmuwan, yaitu menemukan cara untuk memasok bahan makanan bagi astronaut. Bila dua hal vital tersebut berhasil diatasi, menurut Ma'rufin, mungkin manusia bisa mendarat di Mars dengan aman.

"Artinya mendarat sebagai orang normal, mengeksplorasi Mars sebagai orang normal, lalu kembali lagi ke Bumi sebagai orang normal. Namun bila kita tidak memperhatikan poin-poin penting tadi, cukup tinggal terbang saja, dan berpikir bahwa apapun yang terjadi 'terserah lah', ya tidak mungkin," jelas Ma'rufin yang juga ahli falak di Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama RI.


Tantangan yang Dihadapi Astronaut untuk Menjelajah Mars

Curiosity menemukan dugaan jejak fosil di Planet Mars. (NASA)

Faktanya, gravitasi di Planet Merah 62% lebih rendah daripada di planet kita. Untuk lebih memahami: jika seseorang memiliki berat 220 pound atau 99 kilogram di Bumi, maka bobotnya akan berubah jadi 84 pound atau 38 kg di Mars.

Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya gravitasi di Mars, seperti kepadatan, massa, dan jari-jari planet. Meskipun Bumi dan Mars memiliki permukaan tanah yang hampir sama, namun Mars hanya punya 15% dari volume planet kita dan hanya 11% dari massa Bumi.

Meskipun masih belum ada temuan pasti terkait pengaruh jangka panjang dari perubahan gravitasi pada kesehatan astronaut, namun penelitian menunjukkan bahwa efek dari gayaberat mikro akan menyebabkan hilangnya kepadatan tulang, massa otot, fungsi organ, dan penglihatan.

Selain itu, para astronaut juga harus memikirkan dengan matang tentang masalah kesehatan mental dan fisik mereka. Proses perpindahan dari dua medan gravitasi yang sangat berbeda, Bumi ke Mars, akan memengaruhi orientasi spasial, keseimbangan, mobilitas, mabuk perjalanan, koordinasi mata-tangan dan kepala-mata.

Berada di ruang gelap, sepi dan tak berpenghuni, jauh dari keluarga dan teman selama beberapa bulan atau tahun, adalah sesuatu yang sulit dilalui bagi astronaut secara mental.

Suasana hati (mood), moral, kognisi, atau interaksi sehari-hari mereka (kesalahpahaman dan gangguan komunikasi) dapat menurun drastis. Selain itu, mereka juga bisa terkena gangguan tidur, kelelahan, atau bahkan depresi.

Di samping itu, kuman dan bakteri penyebab penyakit, alergi atau sakit juga dapat menyebar dengan mudah saat astronaut berada di area tertutup atau ruang hampa, seperti di Mars.

Faktor risiko kesehatan terbesar lainnya ialah tingginya tingkat radiasi matahari di Mars, yang dapat meningkatkan peluang para astronaut terkena kanker. Radiasi dapat merusak sistem saraf pusat mereka, menyebabkan perubahan pada fungsi kognitif, perilaku, dan mengurangi fungsi motorik.

Pancaran gelombang tersebut juga bisa menyebabkan mual, muntah, kelelahan, dan anoreksia. Penyakit jantung dan peredaran darah, serta katarak, juga dapat berkembang.

"Secara teknologi, kita sudah bisa mengirimkan barang atau peralatan ke Mars dengan aman. Itu sudah terjamin. Yang belum aman adalah kita mengirimkan manusia ke sana, karena lingkungannya sangat berbeda dengan Bumi," Ma'rufin menjabarkan lagi.

Memang, kita sudah menempatkan orang di stasiun antariksa selama lebih dari dua tahun, yaitu kosmonaut Rusia Yury Romanenko, pada 1986. Total, ia menghabiskan waktu selama 430 hari 20 jam 21 menit 30 detik di ruang angkasa dan 18 jam spacewalk.

Namun sekembalinya ke Bumi, ia mengalami banyak gangguan kesehatan, mulai dari peredaran darah dan yang paling vital adalah penyusutan massa tulang. Banyak astronaut yang dikirim ke antariksa, tapi pulang ke Bumi dalam kondisi osteoporosis.

Ilustrasi satelit mengorbit di Planet Mars. (NASA)

Atmosfer Mengerikan di Mars

Karena Mars memiliki atmosfer yang jauh lebih tipis daripada Bumi, maka dari itu planet ini tidak punya pelindung yang cukup kuat untuk siapa pun atau apa pun yang ada di atasnya. Terlebih terhadap radiasi matahari.

Bahkan, bila ada astronaut yang benar-benar tiba di sana, maka mereka harus memperhitungkan tentang dua sumber radiasi berbahaya.

Pertama adalah semburan api matahari yang berasal dari matahari kita. Kedua yaitu partikel dari sinar kosmik galaksi yang melewati Tata Surya hampir dengan kecepatan cahaya dan dapat merusak apa pun yang disenggolnya, seperti pesawat ruang angkasa atau bahkan tubuh astronaut itu sendiri.

Kostum astronaut, serta wahana antariksa, perlu dibuat dari bahan yang mampu melindungi mereka dari radiasi tingkat tinggi.

"Udara di Mars tipis, planet ini tidak punya medan magnet seperti Bumi. Setiap benda di permukaan Mars, selalu terkena radiasi dari antariksa, baik itu dalam bentuk kosmik atau radiasi-radiasi dari matahari," tutur Ma'rufin.

"Kalau di Bumi, setiap radiasi yang menerpa Bumi akan dibelokkan oleh medan magnet Bumi. Nah, Mars tidak punya keistimewaan seperti ini. Jadi kalau diibaratkan, kita seperti berada di puncak Gunung Everest. Napas jadi tersengal-sengal." 

Sedangkan suhu rata-rata di Mars adalah -80 derajat Fahrenheit dan dapat mencapai -207 derajat Fahrenheit selama musim dingin.

 

 


Persaingan di Angkasa Luar

Stasiun angkasa luar Salyut 7 milik Uni Soviet (Wikimedia Commons/Public Domain)

Kepala Bidang Diseminasi Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Emmanuel Sungging mengatakan, sebetulnya bagi AS sebagai negara yang maju, misi untuk mengirim manusia ke Mars sah-sah saja dan bisa saja tercapai. 

"Tergantung pada perencanaan dan teknologi. Kalau itu memang visi dari negara besar seperti Amerika Serikat, yang memang siap untuk melaksanakannya, jadi mau ke mana pun, mereka pasti sudah punya perhitungannya," kata Sungging kepada Liputan6.com.

Meski sudah banyak riset yang dijalankan melalui berbagai rover kiriman NASA, namun ada satu hal yang belum dapat direalisasikan oleh badan antariksa AS tersebut untuk saat ini, yakni roket pendorong.

"Jarak ke Mars dibanding ke Bulan, lebih jauh ke Mars. Makanya, kita butuh roket yang bisa melontarkan kita sejauh jarak ke Mars. Roket mungkin sedang dikembangkan, seperti milik Elon Musk. Namun upaya untuk menciptakan roket yang mampu menempuh perjalanan teramat jauh, belum ada," Sungging menuturkan.

"Perhitungannya pun banyak, semisal soal waktu peluncuran, kecepatannya berapa, arahnya ke mana, masalah orbitnya, fasilitas yang memadai atau mendukung kehidupan manusia selama perjalanan, ini semua sangat kompleks," pungkasnya.

Lalu apa yang membedakan dengan 50 tahun lalu, ketika NASA dengan mudahnya membangun roket peluncur dan misi-misi bergengsi?

Alasannya sederhana, sebab waktu itu Amerika Serikat sedang berlomba-lomba dengan Uni Soviet untuk merajai ruang angkasa, biasa disebut "Cold War Space Race."

"Itu adalah pertempuran dengan cara lain, memang seperti itu kenyataannya, benar-benar demikian," ujar Roger Launius, yang menjabat sebagai kepala sejarawan NASA dari 1990 hingga 2002 dan menulis buku "Apollo's Legacy" (Smithsonian Books, 2019).

Kosmonot Rusia Sergei Volkov sedang melakukan spacewalk diluar badan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), (7/2). Sergei Volkov merupakan anggota dari 46/47 NASA yang melakukan pekerjaan di ISS. (REUTERS/Roscosmos)

"Kita belum memilikinya lagi sejak itu (Apollo)," lanjutnya, seperti dikutip dari Space.com pada Senin, 22 Juli 2019.

Uni Soviet menembakkan beberapa salvo pertama dalam perang proksi ini. Negara yang telah pecah tersebut meluncurkan satelit pertamanya, Sputnik 1, pada Oktober 1957 dan menempatkan manusia pertama di angkasa luar, Yuri Gagarin, pada April 1961. Namun tidak sampai ke Bulan.

Pertunjukan itu mungkin membuat para pejabat Amerika Serikat khawatir, yang menginginkan kemenangan besar mereka sendiri. Putar otak, akhirnya mereka memutuskan untuk mengirim orang ke Bulan, dengan maksud menggeser posisi Soviet sebagai idola dunia di bidang antariksa.

AS ingin menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa masa depan terletak pada sistem politik dan ekonominya, bukan pada saingan komunisnya. Program ini lalu dinamakan "Apollo."

"Misi Apollo pada dasarnya bukan tentang pergi ke Bulan," ujar John Logsdon, seorang profesor emeritus ilmu politik dan hubungan internasional di Elliott School of International Affairs di The George Washington University.

"Mereka berniat untuk menunjukkan kepemimpinan global Amerika dalam kompetisi Perang Dingin dengan Uni Soviet," lanjutnya.

NASA kemudian diberikan segala sesuatunya, sumber daya vital yang diperlukan untuk melakukan peluncuran ke Bulan. Suntikan dana dalam jumlah besar juga digelontorkan oleh administrasi pusat, yakni sekitar US$ 25,8 miliar untuk Apollo, terhitung dari tahun 1960 hingga 1973 --atau hampir US$ 264 miliar dalam dolar saat ini.

Selama pertengahan 1960-an, NASA mendapat sekitar 4,5% pemasukan dari anggaran federal. Namun di satu sisi, NASA juga menderita sejumlah sentimen yang telah dijalankan pada masa lalu.

Misalnya, Constellation Program yang terbentuk di bawah Presiden George W. Bush, dibatalkan pada tahun 2010 oleh Presiden Barack Obama.

Obama mengarahkan NASA untuk mengirim astronaut ke asteroid dekat Bumi. Namun sekarang, Presiden Donald Trump mematahkan rencana itu pada tahun 2017, membuat agensi ini kembali ke jalur awalnya: fokus ke Bulan.

NASA pada mulanya menargetkan pengiriman manusia ke satelit alami Bumi pada tahun 2028, perdana sejak misi Apollo berakhir, tetapi pada Maret lalu, Wakil Presiden Mike Pence menginstruksikan NASA untuk menyelesaikan targetnya pada tahun 2024.

"Mahal dan kondisi ekonomi sekarang berbeda dengan zaman dulu. Waktu itu, AS dan Uni Soviet masih menjadi penguasa dunia, persaingan belum begitu ketat. Hanya dua negara tersebut saja yang dianggap sebagai adikuasa. Kalau sekarang, kondisi ekonomi global sudah berganti. Ada, contohnya, perang dagang dengan China, merembet ke Uni Eropa, dan lain-lain. Fokus ekonominya juga lebih pada ke domestik," Sungging menerangkan.

 


Mencari Kehidupan di Mars

Cekungan Eridania di Mars bagian selatan diyakini telah memiliki laut sekitar 3,7 miliar tahun yang lalu, dengan deposit dasar laut yang mungkin diakibatkan oleh aktivitas hidrotermal bawah air. Grafik ini, yang meliputi area seluas 850 km (NASA)

Suatu ketika kepada kantor berita BBC, salah satu orang pertama yang mengorbit Bulan mengatakan bahwa merencanakan misi pendaratan manusia ke Mars adalah "hal bodoh".

Bill Anders, pilot Misi Apollo 8 --pesawat angkasa luar berpenumpang pertama yang meninggalkan orbit Bumi-- mengatakan pengiriman kru ke Mars hampir terdengar seperti lelucon.

"Apa yang penting? Apa yang mendorong kita untuk pergi ke Mars?" katanya, sambil menambahkan, "Saya kira masyarakat tidak tertarik."

Anders juga mengatakan bahwa ia adalah pendukung utama dari "program tak berawak", terutama karena harganya jauh lebih murah.

Menurut sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature Astronomy, Mars telah kehilangan begitu banyak gas rumah kaca selama miliaran tahun, sehingga sekarang tidak ada kemungkinan untuk mengubah atmosfer yang tersisa, dengan teknologi yang tersedia, menjadi layak untuk bernapas. 

Studi ini didasarkan pada pengukuran laju pelepasan gas ke angkasa luar, yang diukur selama 15 tahun terakhir oleh Mars Express dan empat tahun terakhir oleh Mars Atmosphere and Volatile Evolution (MAVEN) NASA. Ini dapat memberi tahu kita seberapa banyak gas rumah kaca, karbon dioksida, dan air yang efektif tersedia di Mars.

Pengukuran, dikombinasikan dengan pengetahuan tentang inventarisasi karbon dioksida dan air di Mars dari misi antariksa baru-baru ini, menunjukkan bahwa gas rumah kaca yang terkunci di tutup es tidak cukup untuk menyediakan pemanasan yang diperlukan.

Kepala LAPAN, Thomas Djamaluddin, menuturkan pengembangan teknologi untuk ke Mars dimanfaatkan pula untuk misi yang lain, seperti mencari asal usul alam semesta, tata surya, dan termasuk indikasi adanya kehidupan di luar Bumi yang memungkinan manusia bisa hidup di planet lain.

"Bulan dipilih karena jaraknya paling dekat dari Bumi, komposisi tanahnya berasal dari kulit Bumi yang tertabrak oleh objek Tata Surya yang padat. Saat pembentukan, ini masih berseliweran di ruang antarplanet," papar Thomas kepada Liputan6.com

"Kalau di Mars berbeda. Di sana kandungan oksida besinya lebih banyak, ini yang menyebabkan warna merah Mars. Komposisi batuan pun jelas berbeda. Nah, yang menarik juga, dulunya di sana ada air, tetapi dalam hitungan miliar tahun lalu."

"Karena medan magnet yang lemah, maka angin matahari kemudian secara perlahan menerpa atmosfer Mars dan menguapkan air. Seperti diketahui oleh para ilmuwan, air merupakan syarat kehidupan. Berarti, dulu di sana ada kehidupan."

Selain itu, atmosfer Mars juga tidak stabil karena kurangnya medan magnet, sehingga perlu --entah bagaimana caranya-- diperlambat untuk mempertahankan setiap perubahan yang dicapai dalam terraforming, atau pembentuk struktur padat pada planet.

Ini berarti bahwa penjelajah potensial perlu menggunakan dinding, atap, atau bangunan yang berat dan kedap udara, guna memberikan suasana yang tepat dan penyaringan yang diperlukan dari radiasi kosmik.

Sementara itu, menurut situs resmi NASA, eksplorasi Bulan dan Mars saling terkait. Bulan memberikan kesempatan untuk menguji alat, instrumen, dan peralatan baru yang dapat digunakan di Mars, termasuk habitat manusia, sistem pendukung kehidupan, dan teknologi dan praktik yang dapat membantu kita membangun pos mandiri yang jauh dari Bumi.

Hidup di Gateway --tempat simulasi resmi astronaut-- selama berbulan-bulan juga akan memungkinkan para peneliti untuk memahami bagaimana tubuh manusia merespons kondisi lingkungan angkasa luar, sebelum terlibat dalam perjalanan bertahun-tahun ke Mars.

"Kalaupun hidup di Mars, mungkin tidak akan lama. Mungkin hanya dalam rentang waktu ekspedisi. Kita harus punya cara untuk recycle oksigen dan mempertahankan kehidupan koloni manusia. Sedangkan kalau ada air di Mars, langsung hilang, segera menguap karena atmosfernya tidak bisa menahan air cair, yang disebabkan oleh tidak adanya medan magnet di sana," tutup Thomas.


Kendala Politik

Donald Trump saat mengesahkan RUU untuk menaikkan anggaran NASA dan mengarahkan agar badan antariksa itu berfokus pada ekplorasi Mars. (AP/Evan Vucci)

Pada Desember 1968, Anders bersama dengan dua rekannya, Frank Borman dan Jim Lovell, berangkat dari Cape Canaveral di Florida menggunakan roket Saturn V, sebelum menyelesaikan 10 orbit di sekitar Bulan.

Awak Apollo 8 menghabiskan 20 jam di orbit, sebelum kembali ke Bumi.

Mereka jatuh di Pasifik pada tanggal 27 Desember di tahun yang sama, mendarat sejauh 5.000 yard (sekitar 4.500 meter) dari titik target mereka. Mereka dijemput oleh kapal induk USS Yorktown.

Ekspedisi yang dilakoni oleh Anders adalah yang terjauh yang pernah dilakukan dari Bumi, dan juga menjadi batu loncatan penting menuju pendaratan bersejarah Apollo 11 di Bulan, tujuh bulan kemudian.

Namun mantan astronaut itu mengkhawatirkan bagaimana NASA telah berevolusi sejak masa-masa sulit untuk mewujudkan janji Presiden John F Kennedy untuk mendaratkan manusia di Bulan pada akhir 1960-an.

"NASA tidak bisa lagi (mendaratkan manusia) ke Bulan, karena itu semakin sulit. NASA kini tak ubahnya sebuah program kerja, banyak kesibukan yang membuat mereka hanya berfokus mendapat gaji. Sementara anggota konggres (sibuk) agar mereka terpilih kembali," kritik Anders.

Dia juga kritis terhadap keputusan untuk fokus pada eksplorasi orbit dekat Bumi setelah selesainya program Apollo pada 1970-an.

Pemerintah Donald Trump Menekan

Tekanan untuk mengirim kembali manusia ke Bulan datang dari Donald Trump sendiri, yang menyetarakan misi ke Bulan sebanding dengan peluncuran berbagai rover ke Mars.

Dengan pengalaman yang mumpuni, lima kali mendaratkan manusia di Bulan, mungkin bukan sebuah hal yang mustahil bagi NASA untuk membuat AS berjaya lagi.

Ivanka Trump mendengarkan penjelasan astronot Nicole Mann di kantor NASA di Johnson Space Center, AS (20/9). Ivanka juga berkesempatan berbincang dengan para awak stasiun ruang angkasa melalui sambungan telepon. (Brett Coomer/Houston Chronicle via AP)

Akan tetapi, administrator NASA Jim Bridenstine mengatakan ada "risiko politik" yang menghancurkan Constellation Program dan program lainnya.

"Risiko politik muncul lantaran prioritas berubah, anggaran berubah, administrasi berubah, Kongres berubah," Bridenstine menyampaikan pidato di hadapan seluruh staf NASA di balai kota, 14 Mei.

"Jadi, bagaimana kita menghindari risiko politik sebanyak mungkin? Kami mempercepat program. Pada dasarnya, semakin pendek program itu, semakin sedikit waktu yang dibutuhkan, dan semakin sedikit risiko politik yang kami tanggung. Dengan kata lain, kami dapat mencapai kondisi akhir," lanjutnya.

Rencana pendaratan yang ditargetkan bisa dicapai pada 2024 adalah bagian dari program Artemis, yang bertujuan untuk membangun fasilitas penunjang manusia jangka panjang dan berkelanjutan di dan di sekitar Bulan.

Namun, tujuan utamanya hanya satu, adalah sebagai batu loncatan bagi perjalanan kru ke lokasi di mana ambisi terbesar NASA berada: Mars. NASA sesungguhnya ingin sekali 'mencetak' jejak sepatu boot manusia pertama di Planet Merah sekitar tahun 2030-an.

Untuk bersiap-siap mengirim manusia ke Mars, NASA kini sedang mempelajari jenis-jenis rumah baru yang suatu ketika bisa dihuni oleh astronaut saat di Mars.

Para ilmuwan mempelajari bagaimana cara bercocok tanam untuk produksi makanan. Dengan mengamati apa yang terjadi pada para astronaut di Stasiun Angkasa Luar Internasional, para peneliti mencari tahu bagaimana kehidupan di ruang angkasa memengaruhi manusia.

Lingkungan yang keras di Mars membuat prospek untuk bercocok tanam menjadi gagasan yang sulit. Padahal, ide untuk mampu menanam tumbuhan di sana bisa menjadi salah satu solusi bagi misi eksplorasi jangka panjang di planet urutan ke-4 dalam Tata Surya kita.

Para periset NASA mungkin telah menemukan jawaban atas permasalahan itu. Mereka tengah mengkaji pemanfaatan selembar material yang mampu mengubah tanah Mars laik untuk ditanami tumbuhan Bumi.

Material itu disebut "lembar aerogel" (aerogel sheets), yang dapat bekerja dengan meniru efek rumah kaca Bumi, di mana energi dari matahari terperangkap di planet oleh karbon dioksida dan gas lainnya.

Tersebar di tempat-tempat yang tepat di Mars, lembaran-lembaran itu akan menghangatkan tanah dan mencairkan es bawah permukaan yang cukup untuk menjaga tanaman tetap hidup.

Aerogel yang digunakan untuk membuat lembaran terdiri dari 97% udara, dengan sisanya terdiri dari jaringan silika ringan.

Para peneliti, termasuk para ilmuwan di NASA dan University of Edinburgh, menunjukkan bahwa lembaran silika aerogel setebal 2 cm hingga 3 cm menghalangi sinar UV yang berbahaya, memungkinkan cahaya menyinari untuk berfotosintesis dan memerangkap panas yang cukup untuk melelehkan air beku yang terkunci di tanah Mars.

Akan tetapi, tampaknya rencana besar itu harus ditahan untuk sementara waktu dan menitikberatkan pada permintaan dari pemerintah pusat: kembali ke Bulan.  

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya