Liputan6.com, Jakarta - Sidang permohonan praperadilan yang dilayangkan pengamen Cipulir korban salah tangkap kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (23/7/2019). Sidang digelar dengan agenda tanggapan dari para termohon.
Dua termohon yakni Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta serta turut termohon yakni Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengirimkan utusannya untuk menghadiri persidangan.
Advertisement
Bidang Hukum Polda Metro Jaya diwakili AKP Budi Novianto menilai, dalil yang diajukan para pengamen Cipulir dalam permohonan praperadilan tidak jelas dan kabur.
"Kami menolak tegas dalil permohonan para pemohon," kata Budi dalam persidangan.
Budi mengatakan, penanganan kasus yang menjerat para pengamen Cipulir itu sudah sesuai prosedur. Dia menjelaskan, penanganan kasus diawali dengan serangkaian penyelidikan dan penyidikan atas kasus penemuan mayat seorang laki-laki bernama Diky Maulana di kolong jembatan kali Cipulir, Jakarta Selatan.
Setelah mencari dan mengumpulkan bukti antara lain dengan melakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli dan tersangka, polisi kemudian melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan serta tindakan-tindakan lain sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya, polisi mengirim berkas perkara kepada jaksa penuntut umum (JPU) pada 23 Juli 2013. Setelah dipelajari dan diteliti oleh JPU, berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21). Polisi pun melimpahkan tersangka dan barang buktinya ke kejaksaan.
"Demikian tanggung jawab secara hukum terhadap berkas perkara, tersangka dan barang bukti atau benda sitaan telah beralih dari penyidik kepada penuntut umum," kata Budi.
Lebih lanjut, Budi menyatakan, kepolisian menolak ganti rugi materiel yang dimohonkan oleh para pemohon keseluruhan sebesar Rp 662.400.000 dan kerugian imateriel keseluruhan sebesar Rp 88.500.000. Budi menilai permohonan ganti rugi mengada-ada dan tidak berdasar hukum.
Menurut dia, dalam permohonan tidak menjelaskan dan tidak dapat membuktikan jika dalam proses hukum yang dijalani pengamen Cipulir mengalami luka berat atau cacat. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut maka jelas besaran ganti kerugian yang dimohonkan seharusnya didasarkan pada pasal 9 ayat (1) PP 22/2015 yaitu paling banyak Rp 100 juta, bukan didasarkan pada Pasal 9 ayat (2) PP 92/2015 yaitu paling banyak Rp 300 juta.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Sikap Kejaksaan dan Kemenkeu
Di tempat yang sama, perwakilan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Hadiyanto menyatakan pihaknya tidak melawan hukum. Ia mengutip pasal 1 ayat (1) ke-2 UU Nomor 16 Tahun 2004 jo pasal 1 ayat (6) huruf b KUHAP.
"Dikatakan, penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim," ujar dia.
Hadiyanto juga menerangkan isi pasal 1 ayat (1) ke-1 UU Nomor 16 Tahun 2004 jo pasal 1 ayat (6) huruf a KUHAP.
"Disebutkan jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang," kata dia.
Karenanya, Hadiyanto berpendapat semua tindakan terhadap tindak pidana pembunuhan 1131 Pid An/2013/ PN.Jkt.Sel tertanggal 1 Oktober 2013 atas nama terdakwa pihak pemohon dibenarkan oleh ketentuan hukum yang berlaku, maka tidak dapat dikualifikasikan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
"Bedasarkan uraian di atas kami berkesimpulan bahwasanya apa yang didalilkan oleh Pemohon sama sekali tidak benar, sebab semua yang dilakukan Termohon II (Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta) semata-mata merupakan bagian dari pelaksanaan tugas sebagaimana telah diperintahkan oleh Undang-Undang, karena itu gugatan Pemohon harus ditolak," ucapnya.
Senada, perwakilan Kementerian Keuangan, Tio Serepina Siahaan juga menolak dalil permohonan para pemohon.
Dia mengatakan, pekerjaan para pemohon bertentangan dengan Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta nomor 8 tahun 2017 tentang ketertiban umum. Selain itu jumlah tuntutan ganti rugi tidak berdasar hukum serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 9 PP 92/2015.
"Bahwa putusan bebas dalam perkara pidana para pemohon sebelumnya tidak berarti secara serta merta para pemohon berhak untuk mengajukan ganti kerugian, terlebih lagi kepada turut termohon yang tidak memiliki keterkaitan serta tidak memiliki diajukan kewenangan untuk melakukan pembayaran ganti rugi sebagaimana yang dimintakan para pemohon," ujar Tio.
Kasus ini bermula saat anak-anak pengamen Cipulir yakni Fikri, Fatahillah, Ucok, dan Pau ditangkap oleh Unit Jatanras Polda Metro Jaya pada Juli 2013 dengan tuduhan membunuh sesama pengamen anak bermotif berebut lapak mengamen.
Tanpa bukti yang sah secara hukum, mereka kemudian ditangkap dan dipaksa mengaku dengan cara disiksa selama berada di dalam tahanan kepolisian. Belakangan terbukti bahwa korban bukanlah pengamen, dan mereka bukanlah pembunuh korban.
Setelah melalui persidangan berliku dan diwarnai salah putusan, mereka kemudian dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016. Total, mereka sudah mendekam di penjara selama tiga tahun atas perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan.
Advertisement