Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi dunia sedang mengalami disrupsi akibat adanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Perang dagang yang belum kunjung usai memberikan efek domino ke berbagai negara.
Bagi wilayah ASEAN, perang dagang memberikan tantangan dan peluang. Tantangan muncul karena ekonomi dunia yang melambat, sementara peluang hadir untuk meningkatkan sektor manufaktur karena ASEAN dinilai sebagai alternatif bisnis selain China.
Baca Juga
Advertisement
Menurut laporan The Economist, pertumbuhan ekonomi di ASEAN melambat tetapi masih dalam taraf baik. Pertumbuhan Indonesia pun diprediksi tetap di kisaran 5,2 persen tahun ini.
Berikut daftar selengkapnya:
1. Myanmar: 7,1 persen
2. Vietnam: 6,9 persen
3. Laos: 6,8 persen
4. Kamboja: 6,5 persen
5. Filipina: 5,7 persen
6. Indonesia: 5,2 persen
7. Thailand: 3,5 persen
8. Malaysia: 4,5 persen
9. Singapura: 1,6 persen
10. Brunei: 0,5 persen
Myanmar, meski sedang disorot karena kasus Rohingya, memiliki pertumbuhan tertinggi di ASEAN. Bank Dunia menyebut ekonomi Myanmar tumbuh berkat kuatnya manufaktur (garmen), pengeluaran infrastruktur, dan liberalisasi sektor ritel, asuransi, dan perbankan.
Pertumbuhan Indonesia tercatat lebih tinggi daripada Malaysia yang ekonominya terpantau lesu di era Mahathir. Namun, tak ada perubahan dari ekonomi Indonesia tahun ini dan tahun lalu.
Singapura dan Brunei memiliki pertumbuhan ekonomi terendah, tetapi sebetulnya pertumbuhan Brunei naik 0,4 persen. Pertumbuhan 0,4 persen adalah yang tertinggi di ASEAN.
Ekonomi Thailand juga tercatat minus 0,6 persen dibandingkan tahun lalu yang sebesar 4,1 persen, dan terakhir pertumbuhan Filipina juga menurun 0,5 persen dari tahun lalu yang sebesar 6,2 persen.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Indonesia Jangan Bergantung ke Sektor Komoditas
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyorot kondisi perekomian Indonesia yang terus merosot selama beberapa dekade terakhir.
Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia memang stabil di kisaran 5 persen, tetapi secara historis rata-rata pertumbuhan Indonesia menurun.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah melewati angka 7 persen, tetapi kini 5,3 persen saja. Menteri Bambang menyadari bahwa permasalahan ada di ketergantungan Indonesia pada sektor komoditas.
"Kita harus waspada karena rata-rata pertumbuhan ekonomi kita terus menurun dari angka sekitar 7,5 persen pada zaman Indonesia mengalami booming minyak, kemudian menurun menjadi 6,4 persen per tahun ketika Indonesia mengalami booming di sektor manufaktur, khususnya sektor padat karya, di tahun 1990-an," ujar Menteri Bambang dalam Indonesia Development Forum 2019 (IDF 2019) di JCC, Senin, 22 Juli 2019.
Menteri Bambang pun menyayangkan hingga kini pun ekspor masih didominasi mineral (batu bara) dan agrikultur (sawit).
Sementara, Malaysia mengunggulkan ekspor barang elektronik, Vietnam mengekspor tekstil, dan Thailand mengandalkan ekspor mesin, elektronik, kimia, dan jasa.
"Ketika pertumbuhan ekonomi bertumpu pada komoditas, apakah itu batu bara atau kelapa sawit, maka yang kita alami sekarang pertumbuhan ekonomi kita hanya 5,3 persen. Jadi kesimpulannya adalah kalau mau pertumbuhan ekonomi kita tinggi, kita harus kembali ke sektor yang produktivitasnya tinggi, yakni manufaktur dan sektor jasa modern," jelas Bambang.
Menteri Bambang yakin pertumbuhan ekonomi bisa menembus 6 persen jika sektor manufaktur Indonesia meningkat. Edukasi dan peningkatan skill pun dibutuhkan demi mencapai hal itu, selain itu Menteri Bambang berharap regulasi yang tak ramah investor dan birokrasi tak efisien bisa segera dipangkas demi menunjang ekspor.
Advertisement
Target Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Dipangkas
Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dan pemerintah sepakat prognosis semester II-2019 dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya akan berada di angka 5,2 persen. Pertumbuhan ekonomi ini pun melesat dari target awal sebesar 5,3 persen.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan penyesuian angka pertumbuhan ekonomi tersebut dilihat dari sisi permintaan dan produksi. Di mana dari sisi permintaan investasi dan konsumsi masih belum menunjukan hal positif.
"Sementara itu untuk ekspor selain dorong competitiveness ,suasana lingkungan global pasti akan terpengaruh," katanya saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin, 22 Juli 2019.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, jika dilihat dari sisi permintaan tantangan masih cukup besar dari sisi eksternal. Sedangkan dari sisi produksi, kebijkan fiskal sektor produksi juga sudah mencapai output gap mendekati 0.
"Dan kita harus meningkatkan kapasitasnya semua berujung ada persoalan bagaimana meningkatkan investasi di Indonesia," katanya.
Oleh karena itu, Sri Mulyani berharap ke depan pemerintah secara bersama-sama dapat memperbaiki iklim investasi agar lebih baik. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia pun akan terdongkrak.
"Kita bekerja memperbaiki iklim investasi jadi baik dan sisi kualitas pertumbugan secara makro growth ciptakan employment. Sehingga tingkat pengangguran akan turun dan kemiskinan menurun. Ini equality," pungkasnya