Hikayat Hutan Bakau Selamatkan Satu Desa dari Terjangan Tsunami

Jika saat itu tidak ada hutan mangrove, 30 persen Desa Ayah, Kebumen yang berada di tepi pantai dan sungai ini bakal terdampak lebih parah.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 25 Jul 2019, 13:00 WIB
Ilustrasi - Hutan bakau di Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Kebumen - Masyarakat di pesisir selatan Pulau Jawa, termasuk di Kebumen, sempat resah dengan pernyataan pakar tsunami yang menyebut potensi gempa megathrust yang sanggup membangunkan tsunami.

Terjangan tsunami yang disebut setinggi 20 meter itu mampu menjangkau daratan hingga empat kilometer lebih. Prakiraan mengenai gempa dan tsunami itu lantas viral di berbagai lini massa.

Masyarakat panik. Sebagian kecil di antaranya, bahkan sempat mengungsi, misalnya warga Kutawaru, Cilacap. Rupanya, kepanikan yang sama juga terjadi di Kebumen, meski tak semasif di Cilacap.

Sukamsi, Komandan Taruna Tanggap Bencana (Tagana) Kabumen, mengaku kerap mendapat pertanyaan dari masyarakat baik secara langsung maupun pesan WhatsApp terkait kebenaran informasi tsunami itu.

Kepanikan mengenai isu bencana tsunami bukan hanya kali ini saja. Saat gempa bumi berkekuatan magnitudo 5,7 mengguncang wilayah Kabupaten Cilacap, Juni 2019 lalu, sebagian warga di pesisir selatan Kebumen bahkan sempat mengungsi ke tempat yang tinggi.

"Warga khawatir tsunami," ucapnya, Senin, 22 Juli 2019.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kebumen, telah membentuk 32 desa tangguh bencana (destana) di sepanjang pesisir selatan. Namun, tentu saja, tak semuanya paham dengan tsunami.

Di lain sisi, Sukamsi berharap, merebaknya informasi potensi bencana tsunami di selatan Jawa ini justru bisa membangkitkan kesadaran masyarakat. Dengan begitu, mereka bisa ikut terlibat dalam upaya pengurangan risiko bencana alam.

 


Hutan Pantai untuk Menangkal Tsunami

Wisata pantai laguna mangrove di Pantai Lembupurwo, Kebumen. (Foto: Liputan6.com/Marzuki untuk Muhamad Ridlo)

Salah satu yang bisa dilakukan misalnya dengan aksi penghijauan pantai untuk mengurangi dampak tsunami di wilayahnya. Keberadaan hutan pantai ini penting untuk mengadang laju gelombang tinggi dan tsunami sehingga tak menyapu permukiman.

Masyarakat pesisir selatan Kebumen bahkan sudah membuktikan keampuhan hutan bakau di pantai untuk menangkal tsunami. Peristiwa tsunami tahun 2006 lalu juga berdampak di pesisir Kebumen.

Beruntung, saat itu di Desa Ayah Kecamatan Ayah, Kebumen masih ada sisa tanaman mangrove yang sempat dijarah pada akhir 1990-an. Tanaman rimbun di tepi pantai dan sungai itu menyelamatkan Desa Ayah dari dampak tsunami lebih parah.

Hutan bakau itu seakan menjadi benteng alami sehingga gelombang tsunami tak sampai menerjang permukiman. Bahkan, bukti keampuhan hutan bakau untuk menangkal tsunami juga masih terlihat hingga saat ini.

Saat itu, di tepian dan muara Pantai Ayah masih terdapat hutan mangrove. Hutan mangrove ini relatif menahan laju tsunami sehingga tak berdampak fatal.

Dia memperkirakan jika saat itu tidak ada hutan mangrove, 30 persen Desa Ayah, Kebumen yang berada di tepi pantai dan sungai ini bakal terdampak lebih parah.

"Itu bekasnya kan masih dulu itu, pohon-pohon yang kena gelombang tsunami. Sehingga permukiman selamat," dia mengungkapkan.

 


Penanaman Mangrove di Desa Pesisir Kebumen

Ilustrasi – sejumlah nelayan tengah mencari ikan dan kepiting di sekitar hutan mangrove, Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Di beberapa desa tangguh bencana (destana), masyarakat sudah menanam mangrove di tepian pantau atau muara sungai. Mereka memanfaatkan hutan mengrove sebagai destinasi wisata sekaligus sebagai penangkal jika terjadi tsunami.

"Tegalretono itu sudah, Jladri sudah, Ayah sudah, Karangnduwur sudah bagus, kemudian kalau ke timur Wiromartan, Lembupurwo," ujarnya.

Ia juga mencegah agar warga tak tak lagi merusak atau mengubah fungsi hutan pantai. Boleh saja hutan mangrove dijadikan destinasi wisata, tetapi dengan tetap melindungi ekosistemnya.

"Boleh lah membuka usaha di tepian pantai. Tetapi, tidak boleh mengubah fungsi hutan pantai. Terus ada kegiatan menanam. Minimal perwujudannya hutan pengurangan itu dampak tsunami," dia mengungkapkan.

Menurut dia, masyarakat perlu menyadari, mereka tinggal di daerah rawan bencana alam. Berawal dari kesadaran itu, masyarakat akan tergerak untuk membekali diri dengan pengetahuan soal mitigasi bencana.

Dengan begitu, saat medengar isu soal ancaman bencana alam, mereka bisa menyikapinya lebih tenang dan arif. Mereka juga sudah tahu apa yang akan dilakukan jika bencana sewaktu-waktu menerjang.

Dia pun mengakui, selama ini Taruna Siaga Bencana (Tagana) bersama BPBD kerap menyosialisasikan dan melakukan pelatihan kepada masyarakat di daerah rawan bencana. Mereka diharapkan bisa meneruskan pengetahuan itu ke masyarakat lebih luas.

Simak video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya