Menakar Startup Pariwisata Indonesia di Tengah Persaingan Pasar Milenial

Jika tak bergerak berinovasi, pada 2030 Indonesia terancam jadi penonton di negerinya sendiri.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 29 Jul 2019, 12:32 WIB
Ilustrasi Startup (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Mengunjungi pameran wisata kini bukan sekadar berburu tiket murah. Ada banyak hal yang semestinya didapat selain kaki pegal, yaitu pengalaman semi wisata. Penyelenggara pameran biasanya punya booth khusus yang menyediakan teknologi Virtual Reality (VR), dari situ calon traveler bisa melihat seindah apa destinasi wisata yang akan mereka kunjungi.

Itu yang dilakukan Mita saat berkunjung ke salah satu pameran pariwisata di Jakarta. Tanpa takut-takut, dia langsung memakai alat peraga VR, dan meminta diputarkan destinasi wisata hits.

"Biar ada gambaran," kata dara cantik 21 tahun itu.

Mita salah satu dari begitu banyak milenial yang mulai mengubah kebiasaan umum. Bukan lagi melihat brosur dan gambar destinasi wisata yang dibuat menawan pada pamflet iklan, tapi benar-benar merasakan sensasi berada di destinasi tersebut menggunakan teknologi VR.

Milenial adalah kunci. Kalimat itu perlu diresapi banyak orang yang bernaung dalam wadah besar bernama pariwisata Indonesia. Mulai dari penyedia jasa open trip kecil-kecilan hingga penentu kebijakan, yaitu pemerintah.

Data Kementerian Pariwisata (Kemenpar) mengungkap, wisatawan milenial jumlahnya mencapai 50 persen dari jumlah wisatawan secara global. Persentase itu diproyeksikan bakal tumbuh berkali lipat.

Pertumbuhan itu ditandai dengan berubahnya gejala budaya di lapangan, Mita tadi contoh paling simpel. Go digital yang membuat semuanya semakin mudah juga mendorong perubahan perilaku traveler saat ini, mereka cenderung mandiri dan individual.

Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam satu pertemuan pernah mengatakan, wisman Tiongkok yang dahulu dikenal sebagai group tourism, kini berubah menjadi individual tourism

"Sekarang 70 persen wisman Tiongkok itu individual, 23 persen di antaranya usia 15-23 tahun," kata Menteri Pariwisata Arief Yahya. 

Itu baru jumlah wisman milenial dari Tiongkok, yang notabene menjadi angka wisman terbesar di Indonesia. Bagaimana di Indonesia sendiri?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, setidaknya ada sekitar 23,95 persen anak milenial dari total 265 juta jiwa penduduk Indonesia pada 2018. Kelompok anak milenial itu mengacu pada rentang usia antara 20-34 tahun. Itu artinya, ada sekitar 60 juta penduduk Indonesia yang masuk dalam kelompok milenial, dan jumlahnya akan terus bertambah.

Diproyeksikan antara tahun 2020 hingga 2030, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Pada saat itu, jumlah milenial akan sangat banyak, presentasenya menembus angka 40 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.

Namun yang perlu dicermati adalah, anak muda Indonesia punya interaksi digital yang sangat unik dan berbeda. Meski paparan internet dan media sosial merasuk ke anak muda Indonesia sampai ke pelosok, nyatanya itu tidak lantas membuat mereka menjadi anti-sosial dan individualis.

Muhammad Faisal, pendiri Youth Laboratory Indonesia dalam bukunya Generasi Phi mendukung premis itu. Keunikan itu terjadi karena banyak faktor, salah satunya adalah latar belakang kehidupan sosial politik anak muda Indonesia.

"Ini sangat berbeda dengan tren anak muda di Cina, Jepang, dan India, sebagaimana dilaporkan ‘partner research’ Youthlab. Penetrasi yang semakin tinggi dari mobilephone dan media sosial membuat anak muda di Cina, Singapura, India, dan Jepang kian individualis," katanya.

Yang terjadi pada anak muda Indonesia justru sebaliknya, paparan internet dan peranti media sosial malah menjadikan mereka semakin berinisiatif untuk offline, melakukan pertemuan tatap muka langsung. Tidak heran jika komunitas traveler yang awalnya dari blog dan milis, kini berkembang menjadi pertemuan rutin, jalan bareng, dan berwisata bertemu orang baru.

 


Butuh Banyak Inovasi

Sejumlah orang melakukan aktifitas di sebuah ruangan di Menara Kibar di Jakarta, Selasa (29/8). Menara Kibar ini memiliki lima lantai yang bisa dijadikan wadah bagi para startup digital untuk menciptakan inovasi. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Gejala itu yang terbaca Tiketdotcom, salah satu stratup perjalanan milik Indonesia, dengan melebarkan jangkauannya. Tidak hanya menjual tiket transportasi (pesawat dan kereta) dan akomodasi (sewa hotel), tapi juga membuka menu baru, yaitu entertainment dengan salah satu submenunya activity (open trip).

Di situ, traveler bisa memilih beragam paket wisata dalam dan luar negeri yang dilakukan secara berkelompok.

Gaery Unardi, CEO Tiketdotcom saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (25/7/2019) mengaku, gerbongnya tengah berada di jalur yang tepat untuk menghadapi persaingan merebut pasar milenial, baik di dalam maupun luar negeri.

"Kami terus mengembangkan inovasi fitur dan produk berbasis riset dan data," katanya.

Menurut riset, kata Gaery, anak muda termasuk di Indonesia, tidak bisa setia pada satu brand. Mereka cenderung berpindah-pindah sesuai kebutuhan saat menggunakan startup marketplace pariwisata. Saat mencari tiket misalnya, mereka akan mencari di dua atau tiga brand marketplace dalam waktu yang sama untuk mencari harga terbaik.

"Ini yang menjadi tantangan ke depan," katanya.

Tantangan tersebut telah dijawab anak-anak muda Indonesia, baik di kota maupun di desa, di kantung-kantung inkubator, di tiap jaringan co-working space mereka berpacu mengembangkan startup dengan beragam tipe. Mulai dari tipe pemberdayaan masyarakat, trip planner, penyedia layanan akomodasi dan transportasi, sampai ke tipe media travel dengan berbagai konten kreasi di dalamnya.

Itu juga yang dikatakan Jefri Pratama, pegiat Startup Tourism Indonesia yang tergabung dalam Indonesia Startup Founder (IDSF). Kepada Liputan6.com Jefry mengatakan, indikator perkembangan startup pariwisata sangat cepat terlihat dari banyaknya jumlah model startup garapan anak muda yang muncul belakangan ini.

IDSF, sebuah komunitas startup dari berbagai daerah yang berkedudukan di Solo itu mencatat, dari ribuan startup garapan anak muda Indonesia, puluhan di antaranya adalah startup pariwisata dengan beragam model.

"Mulai dari yang marketplace sampai yang konten kreator ada," katanya.

Dirinya juga mengatakan, selain ide-ide kreatif yang muncul dari anak muda, perkembangan startup pariwisata di Indonesia sangat pesat lantaran adanya dukungan penuh dari pemerintah.

"Sekarang enak banget, pemerintah memfasilitasi. Ada Genpi, wonderful startup academy, ITX. Regulasi juga mendukung. Tinggal startup-startup aja nih yang menyesuaikan," ungkap Jerfy.

Meski demikian, keterbatasan dana dan inkonsistensi menjadi hambatan klasik bagi pegiat startup untuk bisa berkembang. Apalagi, kata Jefry, pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pariwisata) sampai saat ini belum mau menggandeng marketplace lokal dalam berbagai program mereka.

Namun Jefry meyakini anak-anak muda Indonesia, khususnya yang bergerak dalam bidang startup pariwisata, mampu bersaing secara global. Apalagi Indonesia sendiri punya pangsa pasar yang potensial dengan jumlah anak muda mencapai 40 persen dari jumlah penduduk.

"Saya sih optimis banget, Indonesia bisa menghadapi bonus demografi. Makanya open trip-open trip sekarang harusnya sudah mulai bikin diferensiasi nih. Jadi bener-bener personal touch-nya ke milenials. Biar mereka nyaman," katanya.

 


Jangan Jadi Penonton di Negeri Sendiri

Ilustraasi foto Liputan 6

Iklim startup pariwisata Indonesia yang baik apalagi dengan dukungan masif dari pemerintah, seharusnya menjadi kesempatan bagi anak-anak muda Indonesia untuk menghasikan sesuatu yang berbeda. Indonesia memang kaya akan keindahan alam, itu fakta yang tak bisa dipungkiri. Potensi pemanfaatan beragam destinasi wisata lainnya, ini yang perlu menjadi perhatian. Artinya tidak melulu bicara keindahan alam, mengingat Indonesia juga kaya budaya.

Jangan menutup kemungkinan suatu saat Indonesia bisa menjadi tujuan wisata musik di Asia dengan Bandung sebagai destinasinya, tujuan wisata kopi yang dilengkapi jalur kopi Nusantara, tujuan wisata bangunan art-deco, tujuan wisata teater tradisional, hingga tujuan wisata horor.

Ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Gaery, Indonesia perlu pemerataan pariwisata domestik, karena itu akan mencerminkan keunikan yang ada di Indonesia, sehingga menggoda pasar milenial, baik dalam maupun luar negeri.

Ibarat lomba memancing ikan, semua peserta telah melempar joran. Umpan siapa yang bakal banyak disambar, itu tergantung perencanaan, strategi, dan kepintaran kita membaca situasi. Pesannya, jangan sampai Indonesia hanya jadi penonton di negerinya sendiri.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya