Ada Blockchain, Bisnis E-Commerce Bakal Hilang?

Blockchain bakal memangkas ongkos logistik antara konsumen dengan penjual.

oleh Bawono Yadika diperbarui 29 Jul 2019, 15:00 WIB
Ilustrasi e-Commerce (tumblr.com)

Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan Blockchain dinilai akan tetap tumbuh di tahun-tahun mendatang meski pemerintah sampai saat ini belum meregulasi keberadaan penyimpanan data terdistribusi untuk transaksi digital tersebut.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik dan Pengelolaan Rantai Pasokan, Rico Rustombi mengatakan, eksistensi blockchain di masa depan ialah untuk menciptakan efisiensi.

Mengapa demikian? Menurutnya, blockchain bakal memangkas ongkos logistik antara konsumen dengan penjual. Sebab itu, peran e-commerce sebagai orang tengah (middle man) diprediksi akan menghilang dengan adanya Blockchain.

"Media platform-nya ini at the end hanya men-drive saja, mempertemukan penjual dengan pembeli. Dengan ini tingkat kecurangan bisa diidentifikasi," tuturnya di Jakarta, Senin (29/7/2019).

Kendati tidak menyebutkan secara spesifik seperti apa perubahan hilangnya peran e-commerce lewat blockchain, Rico menegaskan, e-commerce kedepannya perlu menyesuaikan fenomena munculnya blockchain nanti.

Kata dia, penyesuaian tersebut penting guna memastikan keberlangsungan usaha pasar e-commerce kelak.

"Kembali lagi sesiap apa business platform menyesuaikan dengan pasar blockchain. Karena blockchain ini tinggal collect data saja, memudahkan UMKM untuk go global," terangnya.

"Karena yang gabung dengan blockchain ini biasanya komunitas-komunitas yang sudah advanced," tambah dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Chatib Basri Kembangkan Blockchain buat Petani

Chatib Basri (Liputan6.com/Johan Tallo)

Perbedaan data pada sektor pertanian serta data yang tumpang tindih antar kementerian membuat informasi pada sektor ini sulit menyajikan data yang transparan.

Hal itu mungkin yang dorong Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri bergabung dengan HARA, startup berbasis blockhain yang fokus pada sektor pertanian.

Chatib menegaskan, keberadaan blockchain di sektor pertanian berdampak besar pada kehidupan petani di Indonesia ke depan. Indonesia dinilai harus berani memulai dengan blockchain mengingat data pada sektor pertanian tidak simetris (asimetris).

Ekonom ini juga mengatakan, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sulit memberikan informasi secara terintegrasi. Misalnya saja, ia menggambarkan, data ketersediaan beras yang sejak dulu tak pernah jelas secara angka.

"Dengan blockchain ini, petani kita akan sangat terbantu, karena ini akan meningkatkan produktivitas mereka. Tak hanya itu, ini juga akan memotong biaya transaksi dan meningkatkan pendapatan mereka," tutur dia di Jakarta, Jumat (27/7/2018).

Oleh karena itu, Chatib menekankan, blockchain ini akan hadir sebagai penyederhanaan birokrasi yang selama ini dianggap sulit dan tak terintegrasi di sektor pertanian RI.

"Proses transaksi akan lebih cepat. Persoalannya adalah bagaimana kedepan kita bisa beri sosialisasi dan edukasi atau literasi terhadap blockchain ini. Dan tak lupa bagaimana kita bisa mengkomunikasinya dengan bahasa yang baik," kata dia.

Blockchain dinilai seperti aplikasi. Blockchain pakai sistem terdesentralisasi yang dapat buat efisiensi. Sistem ini juga memanfaatkan konsensus.  


Startup Ini Tawarkan Teknologi Energi Ramah Lingkungan Berbasis Blockchain

Ilustrasi Blockchain. Dok: catalysts.cc

Blockchain memang menjadi salah satu tren teknologi yang disoroti pada tahun ini. Tak heran, banyak startup baru bermunculan mengusung teknologi tersebut.

Pada Juli 2018, ada sekitar lebih dari 100 startup blockchain dari seluruh dunia berkumpul di Seoul, Korea Selatan dalam ajang Korea Blockchain Week.  

Dalam ajang tersebut,  teknologi blockchain baru dan variatif diperkenalkan, termasuk sebuah sistem di mana data dikelola dalam bentuk mata uang block dan sebuah aplikasi blockchainyang dapat mengumpulkan mata uang digital dengan cara olahraga.

Dari banyaknya tim yang bertandang, sebuah startup blockchain bernama SEED (Sino Eco Energy Development) menuai perhatian para pengunjung.

Berkantor pusat di Singapura, SEED adalah sebuah bisnis ECO yang ramah lingkungan berdasarkan teknologi blockchain.

SEED sendiri didirikan oleh grup-grup yang turut ikut dalam bisnis CDM dengan mendapatkan sertifikasi pengurangan emisi.

Startup ini bergerak di produksi energi ramah lingkungan seperti tenaga solar, tenaga angin, generator tenaga hydro kecil, penghijauan, pengembangan sumber makan, dan proyek Waste to Energy (WTE) atau pengelolaan tenaga sampah.

Meski menghasilkan banyak laba atas investasi, bisnis-bisnis ini sulit untuk diikuti oleh masyarakat umum karena mereka membutuhkan pengetahuan terspesialisasi, izin yang rumit, dan investasi berskala besar.

Namun, dengan menggunakan teknologi blockchain, SEED mampu mengembangkan platform crowdfunding mereka sendiri di ​www.seedfoundation.io/​ yang dapat digunakan para individu dan institusi dari seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam investasi tersebut.

Selangkah lebih jauh dari konsep mata uang digital, SEED juga telah membuat sebuah platformyang menggabungkan ekonomi riil dengan sebuah model pendapatan yang matang.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya