Asosiasi Keluhkan Hambatan Bangun PLTS

Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengeluhkan beberapa regulasi yang dibuat pemerintah, khususnya tentang PLTS.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 30 Jul 2019, 17:01 WIB
LDII mengembangkan PLTS dengan instalasi berukuran 40 meter x 41 meter di pondok pesantren Wali Barokah di Kediri, Jawa Timur.

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mengeluhkan beberapa regulasi yang dibuat pemerintah, khususnya tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Pasalnya, membuat perkembangan energi surya di Indonesia menjadi terhambat.

Ketua AESI Andika Prastawa mengatakan, ‎terdapat tiga masalah dalam pengembangan energi surya khususnya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap.

Pertama tentang formula harga listrik PLTS yang ditetapkan sebesar 85 persen dari Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik. Kondisi ini membuat pengembang berhitung ulang untuk membangun PLTS.

"Yang Peraturan Menteri Nomor 50 Tahun 2017 itu tentang harga yang 85 persen BPP dan tentang skema BOOT. Itu anggota kami agak kerepotan," kata Andika, di Jakarta, Selasa (30/7/2019).

Andika melanjutkan, permasalahan berikutnya adalah pengembang harus memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN)‎ sebesar 60 persen untuk mengikuti proyek pembangkit listrik yang di tenderkan pemerintah.

Kondisi ini membuat pengembangan EBT terhambat, sebab barang dan jasa di dalam negeri belum bisa memenuhi seluruh komponen hingga 60 persen.

"Soal yang TKDN itu minimal 60 persen, produk dalam negeri belum sampai. Ini merepotkan kita seperti tadi saya sebutkan residensial costumer kok termajinalisasi," tuturnya.

‎"Kedua tentang pelanggan industri pabrik-pabrik, kalau mau pasang kena paralel charge. Ini semua kami sampaikan," pungkasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pengembangan Listrik Tenaga Surya RI Jauh Tertinggal dari Vietnam

LDII mengembangkan PLTS dengan instalasi berukuran 40 meter x 41 meter di pondok pesantren Wali Barokah di Kediri, Jawa Timur. (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Institute For Essential Services Reform (IESR) memandang, perkembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia relatif lebih lambat, dibandingkan negara Asia lainnya.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, hingga akhir 2018 total kapasitas terpasang pembangkit listrik surya baru mencapai 95 Mega Watt (MW), sedangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tega Listrik (RUPTL) PLN 2019 – 2028 hanya menargetkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 2 Giga Watt (GW) hingga 2028.

“Lambatnya pengembangan listrik tenaga surya di Indonesia tidak sesuai dengan tren global, di mana listrik tenaga surya menjadi energi terbarukan dengan tingkat pertumbuhan tertinggi selama beberapa tahun terakhir,” kata Fabby, di Jakarta, Selasa (30/7/2019).

Fabby menyebutkan, kapasitas PLTS di Indonesia sudah mencapai 60 Mega Watt peak (MWp) ditargetkan meningkat menjadi 85 MW, sedangkan Singapura sudah mencapai 150 MWp akan meningkat menjadi 250 MWp.

"Dibandingkan dengan Vietnam yang baru mengembangkan surya kita jauh tertinggal. Padahal kita kembangkan sejak 1980," tuturnya.

Indonesia memiliki potensi listrik dari energi surya yang cukup besar, dapat memenuhi kebutuhan listrik di masa depan dalam bentuk (PLTS) di atas tanah maupun PLTS atap. Terdapat potensipasar pengguna listrik surya yang cukup besar pada rumah tangga, bangunan komersial, bangunan pemerintah danindustri.

“Kajian kami menunjukan potensi teknis listrik surya atap (rooftop solar) pada bangunan rumah di 34 provinsi Indonesia mencapai 194 - 655 Gigawatt-peak (GWp),” kata Hapsari Damayanti, salah satu peneliti IESR yangmenghitung potensi tersebut.

 


17,8 Persen Rumah Tangga Sudah Mampu

PLTS Cirata, Purwakarta, Jawa Barat. (Foto: Pebrianto Eko/Liputan6.com)

Dari jumlah total rumah tangga di Indonesia, terdapat 17,8 persen rumah tangga yang memiliki kemampuan finansial untuk memasang perangkat listrik surya atap, yang diperkirakan dapat mencapai kapasitas 34 - 116 GWp. Jumlah ini merupakan potensi pasar listrik tenaga surya yang dapat dijangkau dalam beberapa tahun ke depan.

“Hasil ini menjadi informasi penting bagi pengambil kebijakan di bidang energi, PLN dan pelaku bisnis di bidang energi surya lain bahwa potensi listrik energi surya yang sangat besar sesungguhnya dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai solusi penyediaan energi yang berkelanjutan, sekaligus solusi dan sumbangan Indonesia terhadap upaya mengatasi krisis perubahan iklim yang mengancam dunia. Ini baru potensi listrik surya atap rumah, tidaktermasuk bangunan lain dan PLTS di atas tanah (ground mounted). Dengan potensi energi surya yang sedemikian besar Indonesia sesungguhnya dapat memenuhi 100 persen listrik di masa depan dari energi terbarukan,” tandasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya