Liputan6.com, Jakarta - Adanya diskon harga rokok, terutama di tingkat ritel tradisional, masih terus berlanjut di tengah-tengah upaya pemerintah menekan konsumsi produk tembakau. Ironisnya, para penikmat diskon rokok di pedagang eceran tersebut umumnya masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah.
Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan mengatakan, murahnya harga rokok di tingkat pedagang eceran, yang sebagian besar diakses masyarakat menengah ke bawah, berpotensi turut meningkatkan angka kemiskinan.
“Perokok di kelompok miskin lebih banyak dibandingkan kelompok kaya. Pengeluaran rokok di kelompok miskin itu 6,5 kali konsumsi daging di keluarganya,” ujar dia di Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Baca Juga
Advertisement
Dia pun merekomendasikan agar HTP rokok bisa dinaikkan minimal menjadi 95 persen dari harga banderol. Bahkan idealnya hingga 100 persen.
Saat ini, ketentuan diskon harga rokok terdapat dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Ini adalah turunan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Saat PMK Nomor 146/2017 direvisi menjadi PMK 156/2018, ketentuan mengenai diskon rokok tidak diubah.
Dalam aturan tersebut, harga transaksi pasar boleh dipatok 85 persen dari harga banderol. Bahkan, produsen dapat menjual di bawah 85 persen dari banderol asalkan dilakukan tidak lebih dari 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.
Dengan demikian, konsumen mendapatkan diskon rokok sampai 15 persen dari harga banderol. Aturan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang melarang potongan harga produk tembakau.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Penghasilan Rp 1,9 Juta Per Bulan Masuk Kategori Warga Miskin
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan Indonesia pada Maret 2019 mencapai 25,14 juta orang atau sebesar 9,41 persen. Angka ini turun sebesar 0,53 juta orang dibandingkan September 2018 seiring dengan naiknya garis kemiskinan indonesia.
Kepala BPS Suhariyanto merincikan, pada Maret 2019 garis kemiskinan Indonesia menjadi sebesar Rp 425.250 per kapita per bulan.
Posisi itu mengalami peningkatan 3,55 persen dari garis kemiskinan September 2018 yang sebesar Rp 410.670, juga naik sebesar 5,99 persen dibanding Maret 2018 yang sebesar Rp 401.220.
Dia mengatakan, jika rata-rata satu rumah tangga di Indonesia memiliki 4 hingga 5 anggota keluarga, maka garis kemiskikanan rata-rata secara nasional menjadi sebesar Rp 1.990.170 per rumah tangga per bulan.
Artinya, apabila ada satu rumah tangga yang memiliki pendapatan di bawah itu masuk ke dalam kategori miskin.
"Jadi orang akan dikategorikan miskin kalau pendapatannya di bawah Rp1,99 juta. Untuk mencari uang sebesar hampir Rp 2 juta bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi garis kemiskinan di tiap daerah berbeda," ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (15/7/2019).
Adapun, garis kemiskinan tertinggi terdapat di daerah DKI Jakarta, yakni sebesar Rp 637.260 per kapita per bulan. Atau setara dengan pendapatan per rumah tangganya sebesar Rp3.358.360 per bulan, dengan jumlah anggota keluarga sebanyak 4 sampai 5 orang.
Sementara garis kemiskinan terendah terdapat di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB), yakni sebesar Rp 384.880 per kapita per bulan. Jika satu keluarga di NTB terdapat 4 hingga 5 anggota keluarga, maka garis kemiskinan per rumah tangganya adalah sebesar Rp1.578.008.
"Salah satu pekerjaan rumah yang perlu kita pikirkan ke depan adalah adanya disparitas yang tinggi antar provinsi. Jadi kita perlu membuat kebijakan yang lebih spesifik dengan mempertimbangkan karakteristik di daerah masing-masing," pungkanya.
Advertisement
Menko Darmin Ungkap Sulitnya Turunkan Kesenjangan Kaya dan Miskin
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh gini ratio sebesar 0,382 pada Maret 2019. Angka ini turun sebesar 0,002 poin jika dibandingkan dengan gini ratio September 2018 yang sebesar 0,384.
Penurunan ini juga diikuti oleh tingkat kemiskinan Indonesia pada Maret 2019 mencapai 25,14 juta orang atau sebesar 9,41 persen. Angka ini turun sebesar 0,53 juta orang dibandingkan September 2018 seiring dengan naiknya garis kemiskinan indonesia.
Menanggapi itu, Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution mengaku bahwa tidak mudah dalam menurunkan tingkat ketimpangan atau gini ratio. Kondisi ini berbalik dengan menurunkan tingkat kemiskinan penduduk di Indonesia.
Menurut Menko Darmin, upaya pemerintah dalam menekan angka kemiskinan bisa dilakukan dengan mendongkrak pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat, otomatis angka kemiskinan bisa menurun.
"Kalau pertumbuhan terjadi biasanya tingkat kemiskinan itu turun tidak susah. Atau pengangguran turun juga tidak susah. Tapi kalau gini ratio turun, nah susah itu," kata Menko Darmin saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (15/7/2019).
Kendati begitu, capaian pemerintah selama ini pun sudah cukup baik sekalipun tingkat ketimpangan hanya turun tipis. "Jadi apa yang sudah dicapai beberapa tahun ini di mana pertumbuhan diiringi dengan penurunan gini rasio itu adalah satu prestasi yang tidak semua bisa melakukannya," jelasnya.