Liputan6.com, Jakarta - Terletak di antara dua jalan protokol Ibu Kota, Jalan Sudirman dan Jalan MH Thamrin, Hotel Indonesia sudah menjadi landmark atau ikon Jakarta. Bahkan, bundaran Patung Selamat Datang yang ada di depannya lebih dikenal dengan sebutan Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Sama halnya dengan Monumen Nasional (Monas), berfoto di Bundaran HI menjadi syarat wajib bagi seseorang yang mengaku sudah menginjakkan kaki di Jakarta. Unjuk rasa pun belum akan dianggap keren kalau tak digelar di kawasan jantung Ibu Kota ini.
Advertisement
Bahkan, potongan gambar yang menampilkan Bundaran HI kerap bersileweran di banyak film atau sinetron layar kaca, walaupun cerita yang diangkat tak ada hubungannya dengan lokasi tersebut. Ringkasnya, monumen di bundaran itu serta Hotel Indonesia di latar belakangnya sudah menjadi identitas Jakarta.
Berdasarkan catatan Sejarah Hari Ini (Sahrini) Liputan6.com, Hotel Indonesia adalah hotel berbintang pertama yang dibangun di Jakarta. Gagasan membangun hotel ini tidak datang secara tiba-tiba, melainkan berdasarkan perencanaan matang dari Presiden Sukarno.
Sukarno pula yang menggunting pita sebagai tanda peresmian hotel ini pada 5 Agustus 1962. Hanya butuh waktu dua tahun bagi sang presiden untuk mewujudkan mimpinya.
Cerita berawal pada September 1960, ketika Sukarno berkunjung ke Amerika Serikat untuk berbicara di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Saat tiba di New York, Sukarno terkagum-kagum melihat Markas PBB yang megah itu.
Ketika itu Sukarno teringat kalau dua tahun lagi (1962) Indonesia akan menjadi tuan rumah perhelatan Asian Games IV, sementara Ibu Kota belum memiliki bangunan yang layak untuk dibanggakan di hadapan para atlet se-Asia.
Seketika itu juga Sukarno terpikir untuk membangun sebuah hotel yang bisa menjadi kebanggaan Indonesia nantinya. Dia pun mencari tahu arsitek yang membangun Markas PBB, Abel Sorensen. Tak menunggu lama, Sorensen bertemu dengan Sukarno dan bersedia memenuhi keinginan Presiden RI pertama itu untuk membangun hotel berstandar dunia pertama di Indonesia.
Tahun itu juga, bersama istrinya Wendy, Sorensen mulai bekerja membuat sebuah hotel dengan luas 25.085 meter persegi. Lantai 15 Ramayana Wing dan lantai 8 Ganesha Wing adalah bagian pertama dari hotel yang dibangun.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Banyak Menyimpan Sejarah
Hotel Indonesia pada masanya merupakan hotel termegah di Asia Tenggara. Selain berfungsi sebagai hotel pada umumnya, hotel ini juga menjadi pusat berbagai kegiatan budaya. Mulai dari acara musikal dan pertunjukan teater secara rutin dipentaskan di tempat ini.
Acara kebudayaan yang rutin digelar telah melambungkan beberapa seniman ternama Indonesia. Di antaranya Teguh Karya yang dulu merupakan manajer panggung Hotel Indonesia. Selain itu, Hotel Indonesia juga menjadi titik acuan gaya hidup perkotaan. Orang kaya yang sukses dan pejabat pemerintah kerap mengatur pertemuan di hotel ini.
Hotel ini juga sarat dengan sejarah. Banyak peristiwa penting terjadi di Hotel Indonesia, antara lain saat menyambut Asian Games IV yang berlangsung pada 1962.
Presiden Sukarno juga pernah menggelar makan malam di hotel ini untuk menjamu Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja yang mengunjungi Indonesia di akhir 1962.
Pada Februari 1964, Sukarno juga menggelar makan malam bersama Presiden Filipina Diosdado Macapagal. Kini tak terhitung kepala negara dan pejabat dunia yang pernah tinggal dan menikmati makan malam kenegaraan di Hotel Indonesia.
Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan yang juga mantan Gubernur Akabri Magelang Sarwo Edhi Wibowo menikahkan dua putrinya dan mengadakan resepsi di ballroom Hotel Indonesia. Salah satu putrinya Kristiani Herawati disunting Susilo Bambang Yudhoyono dalam pernikahan yang berlangsung pada 30 Juli 1976.
Kelak di kemudian hari, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden RI. Uniknya, Presiden SBY juga yang meresmikan kembali Hotel Indonesia pada 20 Mei 2009 usai dilakukan pemugaran.
Dengan warisan sejarah seperti itu, Hotel Indonesia akhirnya dinobatkan sebagai situs warisan budaya dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 475 tanggal 29 Maret 1993. Keputusan itu memerintahkan agar bangunan dan seluruh aset sejarah harus dijaga dan dipelihara dengan baik.
Setelah berdiri tegak lebih dari empat dasawarsa, Hotel Indonesia akhirnya dipugar. Setelah perbaikan total yang dimulai pada 2004, Hotel Indonesia kembali beroperasi dan diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rabu 20 Mei 2009.
Pemugaran ini tak berlangsung mulus. Liputan6.com mencatat, sejumlah unjuk rasa sempat terjadi menolak pemugaran yang diikuti pengalihan kepemilikan hotel. Pada Senin 18 Mei 2009, misalnya, sedikitnya 500 pengunjuk rasa yang terdiri dari mantan karyawan Hotel Indonesia dan Masyarakat Peduli Aset Negara berdemonstrasi di depan HI.
Mereka menolak penjualan HI kepada pihak swasta dan menolak keras rencana peresmian Hotel Indonesia Kempinski oleh Presiden SBY pada 20 Mei 2009. Para pengunjuk rasa beralasan, hotel yang telah berusia hampir setengah abad itu termasuk bagian dari cagar budaya yang harus dilindungi.
Advertisement
Pertahankan Ciri Khas
Sekarang, Hotel Indonesia dikelola group Kempinski dan namanya disesuaikan menjadi Hotel Indonesia-Kempinski. Kini, penampilannya semakin mewah. Kawasan sekitar Hotel Indonesia dikembangkan menjadi sebuah superblok yang mampu mewadahi kebutuhan utama masyarakat perkotaan.
Areal sekeliling Hotel Indonesia sekarang menjadi kompleks multi-guna dengan nama Grand Indonesia, yang terdiri gedung perkantoran (Menara BCA dan Grand Indonesia Office Tower), apartemen (Kempinski Residence), dan pusat perbelanjaan.
Meski telah dipugar, Hotel Indonesia Kempinski tetap mempertahankan ciri khas, seperti bentuk dan warna bangunan dari Hotel Indonesia. Sebab, Hotel Indonesia sudah terdaftar sebagai cagar budaya.
Demikian pula benda-benda bersejarah yang hingga kini masih disimpan, seperti gunting yang digunakan Presiden Sukarno pada saat pemotongan pita acara peresmian Hotel Indonesia tanggal 5 Agustus 1962, berikut peralatan makan yang digunakan pada saat acara peresmian.
Sementara, relief atau seni pahat batu yang bertemakan "Balinese" atau aktivitas masyarakat Bali saat ini juga tetap dipasang di lobi utama Hotel Indonesia Kempinski serta lukisan Lee Man Fong yang bertemakan Flora and Fauna Indonesia, ditempatkan di lobi Bali Room Hotel Indonesia Kempinski.
Tak ada yang menyangkal besarnya sumbangan sejarah Hotel Indonesia, dengan semua cerita dan apa yang ditinggalkannya saat ini. Nilai penting sejarah Hotel Indonesia itu digambarkan dengan utuh oleh sejarahwan JJ Rizal.
"Hotel Indonesia mungkin satu-satunya hotel di Indonesia yang dibangun Presiden langsung, dan tidak ada hotel yang dibuat sengaja untuk menyambut modernisme sekaligus mempertahankan tradisi, tetapi keduanya bertemu dan itu dilakukan sangat indah sebagai kerja bersama, kerja bersama dari seluruh seniman Indonesia dari semua unsur. Momen ini yang tidak dimiliki oleh hotel apa pun di seluruh Indonesia maupun dunia," ujar dia. (Dari berbagai sumber)