Liputan6.com, Jakarta - Persoalan mengenai perlindungan data pribadi harus diakui tidak lepas dari kesadaran masyarakat sebagai pemilik data.
Mengenai hal ini, menurut Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, memang tidak lepas dari peran pemerintah sebagai regulator.
Menurut Djafar, proses membangun kesadaran publik mengenai perlindungan data pribadi masih terbilang sulit sebab regulasi saat ini memang belum mengaturnya, terutama dari sisi pemerintah dan korporasi.
"Regulasinya tidak mengatur kewajiban dari pemerintah dan korporasi sebagai pengendali data untuk turut serta secara aktif memberikan penyadaran publik pada masyarakat (mengenai perlindungan data pribadi)," tuturnya ditemui usai konferensi pers di Jakarta, Jumat (2/8/2019).
Baca Juga
Advertisement
Djafar menuturkan edukasi publik memang menjadi salah satu hal yang diatur dalam UU Perlindungan Data Pribadi di banyak negara. Karenanya, hal tersebut dapat pula diterapkan di Indonesia.
"Jadi, di berbagai negara, dalam UU Perlindungan Data Pribadi, salah satu hal penting yang diatur adalah cara peningkatan kesadaran publik terkait data pribadi itu dilakukan," ujarnya.
Oleh sebab itu, di masa transisi atau sebelum UU Perlidungan Data Pribadi keluar, diperlukan aturan teknis atau regulasi yang mendorong penyelenggara platform atau penyedia jasa ikut mencerdaskan konsumennya.
"Dalam artian, mereka mengajak pengguna untuk membaca regulasi privasi yang digunakan, seperti membaca syarat dan ketentuannya. Nanti kalau sudah UU, tentu akan lebih mudah, karena UU turut memberikan beban melakukan penyadaran pada masyarakat," ujarnya mengakhiri pembicaraan.
Koalisi Advokasi Minta UU Perlindungan Data Pribadi Dipertegas
Sebelumnya, Deputi Direktur Riset ELSAM, Wahyudi Djafar, menuturkan pemerintah saat ini diminta untuk tegas mengatur perannya termasuk definisi perlindungan data pribadi.
Terlebih, Kementerian Dalam Negeri melalui Dirjen Dukcapil diketahui memberikan akses sejumlah item data ke lembaga swasta.
"Dalam landscape besar, pemberian akses semacam ini dari satu database Dukcapil dapat dikatakan sebagai upaya pemprofilan yang sempurna. Apalagi akses itu diberikan pada pihak sesuai dengan kepentingannya," tuturnya saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (2/8/2019).
Hal ini, menurut Djafar, berpotensi melanggar privasi masyarakat mengingat belum ada regulasi yang secara komprehensif mengatur persoalan perlindungan data pribadi.
Sementara regulasi soal perlindungan data pribadi masih terbatas di bidang-bidang terkait, seperti perbankan, kesehatan, maupun e-commerce.
"Hari ini peraturan perundangan yang ada, termasuk UU kependudukan tidak cukup untuk melindungi data pribadi warga negara. Uu ini termasuk keseluruhan aturan yang ada sekarang belum secara jelas memberikan definisi apa itu data pribadi," ujarnya menjelaskan.
Advertisement
Belum Ada Kejelasan Tentang Hak Pemilik Data
Selain itu, belum ada pula kejelasan mengenai jenis-jenis data pribadi termasuk juga kewajiban dari pengolah (processor) data. Dalam hal ini, setelah pengolah data memperoleh akses dari pengendali data.
"Nah lebih parahnya, hari ini belum ada kejelasan mengenai hak pemilik data. Apa saja list hak pemilik data atau yang dikenal right of subject data. Right of subject data yang harus ditegaskan dijamin dalam satu Undang-Undang," tutur Djafar melanjutkan.
Oleh sebab itu, dibutuhkan UU baru yang dirangkum sebagai UU Perlindungan Data Pribadi. Sebab, aturan yang ada sekarang masih belum memberikan kepastian hukum.
Saat ini, RUU Perlindungan Data Pribadi sendiri masih berada di pihak pemerintah. Dafar pun berharap agar pemerintah mau mengesampingkan ego sektoral agar RUU ini dapat dikirimkan dan dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
(Dam/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: