Liputan6.com, Jakarta Serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan menggelar aksi unjuk rasa, untuk menolak rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang merugikan hak-hak buruh.
Sebagaimana diketahui, pemerintah menginginkan ada perbaikan iklim investasi, dengan merubah Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dianggap terlalu kaku serta tidak ramah investasi.
Presiden KSPI yang juga Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal mengatakan, alih-alih melakukan perbaikan investasi, arah revisi adalah untuk menekan kesejahteraan buruh.
"Undang-undang ini bunyinya tentang ketenagakerjaan, bukan tentang investasi. Kalau mau revisi ya yang diubah Undang-undang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Perindustrian, Undang-undang Perdagangan, atau Undang-undang Perekonomian Nasional," kata Iqbal, di Jakarta, Sabtu (3/8/2019).
Baca Juga
Advertisement
Untuk menyuarakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, serikat buruh akan melakukan aksi bergelombang di kota-kota industri di seluruh Indonesia.
Menurut Iqbal, FSPMI sudah mengeluarkan surat instruksi agar buruh di setiap kabupaten kota melakukan unjuk rasa ke Pemerintah Daerah, dengan target meminta dukungan untuk menolak revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Berbeda dengan sikapnya yang menolak rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, buruh justru mendesak agar Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan segera direvisi.
“Jangan sampai ada kesan, ketika buruh yang meminta revisi tidak kunjung direalisasi. Tetapi giliran pengusaha yang meminta cepat sekali dituruti,” ujar Presiden KSPI itu.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Usul Pencabutan PP 78 Tahun 2015
Menurutnya, PP 78 Tahun 2015 lebih mendesak untuk direvisi, sebab keberadaan beleid ini membatasi kenaikan upah buruh hanya sebatas pada inflansi dan pertumbuhan ekonomo.
Padahal apabila pemerintah ingin fokus mendongkrak investasi, maka pemerintah juga perlu menjaga pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di atas rata-rata regional dengan mendorong konsumsi rumah tangga.
Caranya adalah dengan menaikkan daya beli masyarakat (purchasing power). Dengan adanya daya beli, maka barang-barang produksi akan ada yang membeli, sehingga roda ekonomi berputar.
Salah satu instrumen paling mendasar untuk menaikkan daya beli adalah upah minimum yang berfungsi sebagai jaring pengaman (safety net).
“Supaya upah menjadi layak, maka PP 78 Tahun 2015 yang membatasi kenaikan upah minimum harus dicabut. Kembalikan kenaikan upah minimum berdasarkan perundingan tripartit dan berbasis pada kebutuhan hidup layak dengan melakukan survey pasar,” ujar Iqbal.
Iqbal mencontohkan, pertumbuhan PDB di atas 6 persen yang terjadi pada periode 2010-2012 disumbang oleh konsumsi rumah tangga di atas 56 persen. Sementara saat ini pertumbuhan ekonomi kita stagnan di kisaran 5 persen karena porsi konsumsi rumah tangga juga menurun.
"Karena itu, agar pertumbuhan ekonomi meningkat maka daya beli masyarakat (purchasing power) harus dinaikkan," tandasnya.
Advertisement